Tidak banyak yang mengetahui jika KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang tokoh pendidikan yang sangat komplit. Kebanyakan masyarakat Indonesia,
baik warga Nahdatul Ulama (NU) lebih-lebih di luar NU hanya tau jika
KH. Hasyim Asy’ari hanyalah seorang ulama sekaligus aktivis. Pendiri NU
ini adalah sosok pendidik yang sumbangsihnya dalam dunia pendidikan
tidak bisa disepelekan.
Di tengah kurang berhasilnya –untuk tidak mengatakan gagal—sistem
pendidikan di Indonesia, ada baiknya jika para pengambil kebijakan di
negeri ini untuk kembali mengkaji dan menelaah pokok-pokok pemikiran
pendidikan KH. Hasyim Asy’ari.
Pendidikan yang ditawarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah pendidikan
yang berbasis karakter yang sedang digembar-gemborkan oleh Menteri
Pendidikan saat ini untuk dijadikan sebagai acuan dalam pembentukan
karakter peserta didik. Itu artinya pemikiran pendidikan pengasas
organisasi Islam terbesar di dunia ini telah melampaui
zamnnya.Pokok-pokok pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’Ari, dapat
dengan jelas diketahui dalam kitabnya, “Adabul ‘Alim wal Muta’allim. Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H”.
Peran Guru
Masalah pendidikan di negeri ini, selain kurikulum, metode juga
menjadi sorotan. Ini dapat dipahami karena metode memang lebih penting
dari kurikulum, Ath-thoriqah ahammu minal madah. Namun metode juga sangat tergantung pelaksanaannya pada guru, sebab guru lebih penting dari metode itu sendiri, al-mudarris ahammu min ath thariqah. Namun, roh seorang guru lebih bermakna dari jasadnya sendiri, wa ruhul mudarris ahammu min mudarris nafsuhu.
Karena metode secanggih apa pun, jika berada pada guru yang tidak
bersemangat akan nihil hasinya. Prinsip keterkaitan antara kurikulum,
metode, dan guru, telah disadari pentingnnya oleh Hasyim Asy’ari dan
para ulama-ulama muktabar yang terjun langsung mengurus lembaga
pendidikan.
Di pondok pesantren misalnya, ada prinsip bahwa metode lebih penting
dari materi; guru lebih penting dari metode; dan jiwa guru lebih penting
dari guru itu sendiri. Jadi selain materi dan guru, jiwa guru sangat
berperang penting dalam keberhsilan pengajaran. Karena dengan jiwa
keikhlasan dan pengabdiannya, guru akan dapat mewarnai murid. Ini
sesuai pendapat Sir Pency Nunn, seorang guru besar pendidikan di University of London yang mengatakan bahwa baik buruknya suatu pendidikan tergantung kebaikan, kebijakan, dan kecerdasan pendidik.
Hasyim Asy’ari, juga tampil menawarkan beberapa etika yang harus
dimiliki oleh seorang pendidik sebagai bekal dalam melaksanakan tuganya,
sebagaimana berikut ini: seorang guru harus senantiasa mendekatkan diri
kepada Allah (taqarrub ilallah); senantiasa takut kepada Allah (al-khauf ilallah); senantiasa bersikap tenang dan selalu berhati-hati (wara’);
senantiasa tawadhu’, khusyuk, mengadukan segala persoalannya hanya
kepada Allah; tidak menggunakan ilmunya hanya untuk meraih kepentingan
dunia semata; tidak terlalu memanjakan anak didik; berlaku zuhud dalam
kehidupan duniawi; menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah;
menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat maksiat; senantiasa
mengamalkan sunnah Nabi; istiqamahn dalam membaca Al-Qur’an; selalu
bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan salam; membersihkan diri dari
segenap perbuatan yang tidak disukai oleh Allah (ijtniabul manhiyat);
selalu menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu oengetahuan; tidak
menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya; dan membiasakan diri
menulis, mengarang, dan meringkas.
Ada pun etika adab-adab seorang guru ketika mengajar, Hasyim As’Ari
menawarkan gagasan tentang etika atau adab-adab guru ketika mengajar
sebagaimana berikut: Mensucikan diri dari hadas dan kotoran; berpakaian
yang sopan dan rapi serta usahakan berabau wangi; berniatlah beribadah
ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik; sampaikanlah hal-hal
yang diajarkan oleh Allah; biasakanlah membaca untuk menambah ilmu
pengetahuan; berilah salam ketika masuk ke dalam kelas; sebelum mengajr
mulailah terlabih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu yang telah
lama maninggalkan kita; berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal yang
tidak pantas dipandang mata; menjauhkan diri dari banyak bergurau dan
banyak tertawa; jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah,
mengantuk, dan sebagainya; pada waktu mengajar hendaklah mengambil duduk
yang strategis; usahakan tampil dengan sikap ramah, lemah lembut, jelas
dalam betutut, tegas, lugas, dan tidak sombong; dalam mengajar
hendaklah mendahulukan materi-materi yang penting dan sisesuikan dengan
profesi yang dimiliki; jangan sekali-sekali mengerjakan hal-hal yang
bersifat syubhat dan bisa membinasakan; perhatikan masing-masing
kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama, serta menciptakan
ketenangan dalam ruangan belajat; menasihati dan menegur dengan baik
bila mterdapat anak didik yang bandel; bersikaplah terbuka terhadap
berbagai macam persoalan yang ditemukan; berilah kesempatan kepada
peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasan agar
tahu apa yang dimaksud; dan bila sudah selesai, berilah kesempatan
kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum
dipahami.
Tidak hanya itu, Hasyim Asy’ari masih menawarkan bebrapa adab guru
terhadap para murid-muridnya, sebagaimana berikut: seorang guru harus
berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan
syariat Islam; menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian;
hendaknya selalu melakukan intrsopeksi diri; menggunakan metode yang
mudah dipahami oleh para murid; membangkitkan antusias peserta didik
dengan memotivasinya; memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu;
selalu memperhatikan kemampuan peserta didik; tidak terlalu
mengorbitkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya;
mengarahkan minat peserta didik; bersikap terbuka dan lapang dada
terhadap peserta didik; membantu memecahkan masalah dan kesulitan para
peserta didik; bila terdapat pseta didik yang berhalangan hendaknya
mencari hal ikhwal kepada teman-temannya; tunjukkan sikap arif dan
penyayang kepada peserta didik; dan selalulah rendah hati, tawadhu’.
Dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari, pembentukan adab merupakan suatu
keniscayaan dalam dunia pendidikan, karena dengan adab peserta dapat
menuntut ilmu dengan baik. Asy’ari lalu mengutif sebuah kisah bahwa
ketika Imam Syafi’i pernah ditanya seseorang, “Sejauh manakah
perhatianmu terhadap adab?” beliau lalu menjawab, “Setiap kali telingaku
menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf maka
seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan [mendengarkan] seolah-olah
setiap orang memiliki alat pendengaran [telinga]. Demikian perumpamaan
hasrat kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.” Beliau lantas
ditanya lagi, “Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?”
beliau menjawab, “Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang
ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.” Maka dalam bukunya itu,
Hasyim Asy’ari menuliskan kesimpulan kaitannya dengan masalah adab ini
bahwa sebagia ulama menjelaskan konsekwensi dari pernyataan tauhid yang
telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskan beriman kepada Allah
(dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan).
Karena apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak
sah. Demikian pula keimanan jika keimanan tidak dibarengi dengan
pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik maka sesungguhnya ia
belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitu pula dengan
pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab maka
pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat dan belum dianggap beriman
serta bertauhid kepada Allah. Berdasarkan beberapa hadis Rasulullah SAW
dan keterangan para ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi
betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena
tanpa adab dan prilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah yang
dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT sebagai satu
amal kebaikan, baik menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah
(perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu
indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah adalah
melalui sejauhmana aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan
yang dilakukan.
Melihat gagasan-gagasan yang ditawarkan di atas, nampak jelas nuansa
kesufian dalam diri Hasyim Asy’ari. Hal ini tidaklah mengherankan sebab
dalam prilaku kehidupannya ia meang lebih cenderung pada kehidupan sufi.
Dengan ilmu tasawuf dan hadis yang dikuasainya, sangat mewarnai gagasan
pemikiran keagamaan dan juga dalam bidang pendidikan. Beliau adalah
sufi yang tidak hanya sibuk dengan zikir dan fikir, tapi masuk berbaur
dengan masyarakat untuk membebaskan umat dari belenggu kebodohan. Ada
bebrapa catatan menarik dari gagasan-gagasan Asy’ari terkait dengan
integritas seorang guru, seperti seorang guru haruslah membiasakan diri
menulis, mengarang, dan meringkas. Hasyiam Asy’ari memandang bahwa perlu
adanya tulisan dan karangan, sebab media tulisan itula ilmu yang
dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan benyak memberi manfaat pada
orang yang datang setelahnya, atau pada genrasi mendatang, di samping
dirinya akan dikenang sepanjang masa. Sayang tradisi ini belum begitu
membudaya di pondok pesantren.
Tapi harus diakui bahwa gagasan Hasyim Asy’ari di atas tidak
terlepas dari praktik pendidikan yang telah dialaminya selama hidupnya,
yang telah mengabadikan dirinya dalam dunia pendidikan. Inilah yang
menjadi kekuatan tersendiri dalam mengeluarkan gagasan-gagasan.
Sampai-sampai hal-hal yang sepele seperti cara menegur dan menyikapi
anak yang terlambat masuk kelas juga diangkatnya. Jelas, hal ini hanya
wujud dari para praktisi pendidikan yang paham betul dunia pendidikan,
yang sangat sulit disentuh oleh para penggagas dan pengamat pendidikan
yang hanya duduk di kursi kantor. Belum lagi pada penampilan, baik fisik
maupun sikap, semua disajikan secara detail. Dengan mengaplikasikan
pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari di atas, dengan haqqul yaqin,
pendidikan karakter yang minus teladan akan terealisasi dengan
sendirinya. Wallahu A’lam!
No comments:
Post a Comment