Sepenggal kenangan, Nasional HAUL MBAH MAKSUM LASEM
Lasem, NU
Online, Haul salah seorang pendiri NU Mbah Maksum Lasem sekaligus
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Jum’at (18/1) kemarin
bertepatan dengan tanggal 6 Rabiul Awwal 1434 H berlangsung sangat ramai
dan khidmat. Kegiatan didahului dengan hataman Al-Qur’an dan Tahlil di
makam Mbah Maksum pada sore hari yang dihadiri sekitar 7000 umat Islam
laki dan wanita.
Lapangan parkir bis di belakang Masjid Jami Lasem
dipenuhi mobil besar dan kecil. sejak ashar dari berbagai kota, terutama
dari pulau Jawa dan Sumatera. Malam harinya dilanjutkan puncak acara,
yaitu pengajian umum. Panggung dipasang di pelataran Pondok Pesantren
Al-Hidayat Soditan. Bangku yang disediakan memanjang hingga pertigaan
jalan terisi penuh oleh jamaah yang hadir semakin bertambah banyak.
Pedagang yang masar memadati pinggir jalan dari bangjo hingga depan PP
An-Nuriyah. Penceramah KH Musthofa Bisri (Gus Mus) menguraikan
keistimewaan Nabi Muhammad yang tersebut dalam Al-Qur’an, yakni
akhlaknya yang sangat luhur. Sedangkan Nabi Yusuf AS yang ditonjolkan
kegantengannya, tetapi dalam perilaku yang tetap terpuji. Kepribadian
para nabi yang mulia ini ditiru oleh Mbah Maksum. Sebagai contoh kecil,
beliau sarapan menunggu kehadiran tamu. Jika tidak ada tamu, ia mengajak
beberapa santrinya menemani makan bersama. Ia juga selalu istiqamah
shalat subuh berjamaah. Tidak jarang dengan ia membangunkan santirinya
yang banyak itu satu persatu seperti anak-anaknya sendiri. Mbah Maksum
sangat memperhatikan semangat belajar dan kualitas pembelajaran
santri-santrinya. Gus Mus sepulang belajar dari Universitas Al-Azhar
Mesir diminta mengajari santri-santrinya mengasah kemampuan bahasa Arab.
Bahkan putra Mbah Maksum sendiri, KH Ahmad Syakir ayah dari Gus Zaim
yang sebenarnya sudah mumpuni disuruh ikut kursus juga.
Dalam
ceramahnya Gus Mus juga menyatakan keprihatinanya, pengadilan di
Indonesia yang belum menyentuh para koruptor, terutama yang dilakukan
oknum pejabat.yang jelas-jelas melanggar hukum. Ironisnya malah yang
tidak bersalah menjadi terdakwa yang sesungguhnya korban. Seperti yang
dialami cicit Mbah Maksum sekarang ini, Ning Durrotun Nafisah Lasem.
Untuk itu, Gus Mus yang juga Wakil Rais Am PBNU menutup ceramahnya
dengan memimpin doa kepada Allah SWT agar Ning Dur diselamatkan dari
fitnah tersebut.
Gus Mus mengajak para hadirin membaca surat
al-Fatihah dengan khusu’, sampai pada penggalan ayat
'waiyyaakanasta’iin' dibaca 11 kali, yang artinya 'dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan.' Amalan doa ini diperolehnya sebagai
ijazah dari Mbah Munawir Krapyak Yogyakarta.
Peringatan maulid
di antero nusantara sudah lazim diadakan. hal ini dalam rangka
mengenang jasa dan menteladani berliau Nabi Muhammad Saw , Ini bagian
dari rasa cintaa, penting dilestarikan , kenalkan pada anak/ generasi
muda, sementara budaya barat seperti KEMBANG API TAHUN BARU &
VALENTIN DAY, dsb dll dst terus-menerus digelontor ke indonesia anehnya
budaya ini sangat digemari oleh generasi kita, ya peringatan Maulid
harus kita pertahankan. sebagai bagian rasa cinta
Belajar Keteladanan kepada Mbah Ali dan Mbah Hamid Pasuruan
Masih saja lamat-lamat membayang bila memandang wajah ini, saat masih
sangat belia dulu, ayah (KH. Hasbullah; red.)memanggil saya utk diajak
ke kamar tamu depan rumah mbah kakung, sebutan keluarga untuk kakek KH.
Ali Maksum rahimahullah wa nafa’ana bi’ulumih. Ingatan masa lampau
–entah kenapa, sering berujud gambaran yang blur dan agak ‘berkabut’.
Termasuk saat itu.
Begitu masuk ke kamar tamu, ayah mengenalkan
dan meminta doa restu untuk saya. Kontras dengan di dalam ruangan yang
temaram, di depan saya adalah sesosok besar yang seperti diliputi
cahaya, bersurban, wajah yang bersenyum. Masih saja saya ingat setelah
itu tangan beliau memegang dan mengusap-usap kepala saya. Saya tak
berkata apa-apa, hanya yang saya ingat di depan Mbah Hamid Pasuruan
quddisasirruh, kyaigung waliyyullah ini (tentu setelah beberapa tahun
setelah itu baru saya tahu), saat itu berlangsung suasana tenang.
Bila rawuh di Krapyak, sering terutama saat peringatan haul Mbah
Munawwir akhir dekade 70-an dan awal 80-an, di luar kamar tamu selalu
penuh dengan orang. Ada yang menunggu untuk sekedar dapat memandang
wajah beliau atau untuk dapat bersalaman atau bahkan dapat matur untuk
memohon doa. Beliau biasa rawuh, seingat saya, sore menjelang puncak
acara Haul, untuk kemudian sudah kondur isya’ awal menjelang mulai
pengajian Haul. Selama kerawuhan beliau, sekitar kamar tamu selalu
“dikepung” orang-orang hingga beliau masuk ke mobil sedan untuk kondur
pulang . Rubungan-rubungan seperti itu selalu berlangsung dengan
dihinggapi suasana tenang dan hidmat. Jauh dari hiruk pikuk.
Peristiwa lampau yang terkenang,–entah kenapa, hampir selalu ikut
menjadi konsiderasi dalam membuat gambaran-gambaran. Termasuk, dalam
suatu majlis pengajian pasan terakhir beliau, ‘mbah Kakung, ketika
menjelaskan hadis ra’sul hikmah, teringat dengan dialog beliau dengan
Kyai Hamid :
Mbah Ali : Bagaimana sih kau bisa mencapai hal yang seperti ini?
Mbah Hamid : Dulu itu aku selalu merenung-renungkan sabda Nabi dalam
hadits : رأس الحكمة مخافة الله. (Maknanya : Inti puncak hikmah adalah
khasyah kepada Allah.)
Seperti ada yang mengganjal, mungkin
Anda agak tidak nyaman dengan pertanyaan Mbah Ali dengan cara seperti
itu. Tidak perlulah dialog ditulis dengan eufimisasi, atau penghalusan
ekspresi dialog beliau berdua. Memang seperti itulah keadaannya. Mbah
kakung dalam berbagai pengajian saat menyinggung konsep perwalian sangat
kental dengan ajaran Imam Ghozali (Gazalian sufism) dan mengidolakan
sosok seperti mbah Hamid, sebagai wali salik. Tapi apa dengan dengan
cara seperti itu? Begitulah. Secara kebetulan, beliau berdua masih
kerabat, sama-sama teman semenjak kecil, berguru dengan dua guru besar
yang sama yakni Mbah Ma’shum Lasem (ayahanda beliau sendiri) dan Mbah
Dimyati Abdullah (adik dan murid Syeikh Mahfudz) Termas. Akhirnya
sama-sama ngiyai dan berbesanan. Watak, gaya, lingkungan daerah dan
jenis bidang garapan yang berbeda tidak mengurangi sinergitas dan
koneksitas yang kuat dan saling menguatkan.
Mbah Hamid bersuara
lirih, tidak diketahui suka berpidato, tinggal di Pasuruan, daerah
tapal kuda bagian Timur Jawa, dan tidak dikenal dalam struktur NU. Tapi
beliau min abdaali Jawah pada zamannya. Di sisi lain, Mbah Ali dikenal
sebagai kiyai ‘srengat’, dan cenderung berpembawaan rasional, bergaya
penuh gengsi khas superioritas fuqaha dalam urusan otoritas ilmu dan
ajaran Syari’ah di atas siapapun. Apalagi beliau saat itu menjadi lurahe
kiyai-kiyai dan menjadi pengurus syuriah NU. Namun, yang tidak banyak
diketahui publik umum, urusan-urusan dan keputusan penting NU dengan
penuh hormat oleh beliau dan para kiyai di‘inapkan’ terlebih dulu di
Pasuruan, kepada Mbah Hamid. Diam-diam, tenang, dan jauh dari
publisitas. Adakah hal yang seperti itu berlangsung sekarang? Saya yakin
(untuk berharap) seperti itu adanya.
Rahimahumullah wa
askanahum fasiha jannatih wanafa’ana bi ‘ulumihim wa a’aada ‘alaina min
asraarihim wa barakaatihim, wa ilaa hadlratin Nabiy alFaatihah.
Ribuan pelayat mengusung jenazah KH Ahmad Warson Munawwir, pengasuh PP
Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta menuju masjid untuk disholatkan di
sepajang Jalan DI. Panjaitan, Yogyakarta, Kamis (18/04/2013). KH Ahmad
Warson Munawwir merupakan penulis dan menyusun Kamus Al-Munawwir, yakni
kamus Bahasa Arab-Indonesia terlengkap dan paling tebal di Indonesia.
Almarhum meninggal sekitar pukul 05.00. Jenazah dimakamkan di makam
Dongkelan Bantul dengan upacara pemberangkatan di PP Al-Munawwir Krapyak
kemarin sore.
Nahdliyin Gelar Doa untuk Mbah Warson, Jum'at,
19 April 2013 18:11 DUTAonline, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) menggelar kegiatan tahlilan selama 7 hari dan sembahyang
ghaib untuk al magfurllah KH Achmad Warsun Munawwir yang akrab disapa
Mbah Warson, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.
“Tahlilan pertama di mulai sehabis sholat Jum’at tadi,” ujar Pengurus
lakpesdam PBNU, Ahmad Satiri kepada Dutaonlin di Jakarta, Jum’at,
(19/4).
Ratusan warga nahdliyin dan pengurus PBNU turut
hadir dalam kegiatan yang dipusatkan di Masjid An-Nahdlah, Gedung PBNU,
Kramat Raya nomor 164, Jakarta Pusat. Selain melakukan sholat ghaib
berjamaah, nahdliyin juga menggelar tahlilan dan doa bersama selama 7
hari berturut-turut.
PBNU juga mengimbau kepada seluruh
lembaga, lajnah, dan badan otonom NU untuk menggelar tahlilan dan doa
bagi alm Mbah Warsun, seorang putra pengasuh pondok pesantren salafiyah
tertua di Yogyakarta, KH Munawwir.
Mbah Warsun, merupakan
penulis Kamus Bahasa Arab-Indonesia terkenal yang berjumlah sedikitnya
1600 halaman, menutup usia di kota Yogyakarta pada pukul 6.00, Kamis
(18/4) pagi. Mbah Warson wafat pada usia kurang lebih 79 tahun
(1934-2013). Jenazah Mbah Warsun dimakamkan di Desa Dongkelan, makam
keluarga besar Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Saat pemakaman,
Kamis, (18/4) kemarin, ribuan santri dan masyarakat saling berjubel
untuk ikut menandu keranda jenazah dari Pesantren Krapyak menuju
Dongkelan yang jaraknya lumayan jauh. Banser siap siaga, mengatur jalan
dan keamanan. Para kiai tak mau kalah, ikut serta berebut keranda.
Bahkan KH Musthofa Bisri (Gus Mus) juga ikut menandu keranda jenazah
Kiai Warson.
Saat acara menjelang pemakaman, KH Asyhari Abta,
Rais Syuriyah PWNU DIY, memberikan sambutan atas nama keluarga.
Sedangkan atas nama masyarakat diwakili KH A Malik Madany, Katib Aam
PBNU. Adapun doa dipanjatkan oleh KH Zainal Abidin Munawwir dan KH
Musthofa Bisri.
Salah satu santri Kiai Warsun, KH Habib Syakur,
merasa sangat kehilangan dengan kepergian beliau. Kiai Habib merasa
sangat diperhatikan Kiai Warsun, bahkan sampai urusan rumah tangga
sekalipun.
“Karena saya merasa bahwa saya adalah salah satu
santri yang sangat diperhatikan oleh beliau. Mulai dari urusan
kerumahtanggaan hingga hal-hal yang bersifat akademis,” kenangnya.
“Bermula dari saya mulai mondok di PP Al-Munawwir Krapyak, Hari Jum'at
Wage, 6 Desember 1976, saya langsung ndherek di ndalem beliau, yang saat
itu masih bersama almarhumah mbah Nyai (Nyai Hj. Sukis, istri
almaghfurlah al-marhum KH M. Moenawwir, ibu beliau), al-Mukarram Romo KH
Zainal Abidin Munawwir, dan al-marhumah Ibu Nyai Hj. Jamalah Munawwir
(kakak beliau). Momong putra pertama beliau (Gus H. Muhammad Fairuz atau
Gus Nanang) adalah salah satu pekerjaan harian saya,” lanjutnya.
Salah satu santri yang lain, KH Munawir AF, Musytasyar PWNU DIY, juga
merasa sangat kehilangan. Untuk mengantarkan sang guru tercinta, Kiai
Munawir menulis sebuah sajak yang sangat menyentuh.
GURU…
kalau tdk keliru...
sdh 53 tahun aku kenal denganmu
sdh 53 tahun Aku menjadi muridmu
dan seterusnya aku adalah santrimu
Kau isi sungsum balungku
Kau kupas jiwa benakku
Kau ikuti tangis dan tawaku
Sampai kurang seminggu kau meninggalkanku
Kau cad hijau kalbuku
kau batik kuning coklat benakku
kau lukis wajahku
aku jadi begini...
kau pernah kau tandingkan aku
kau pernah marahi daku
kau pernah perintahkan aku menulis
tetapi pernah juga kau perintahkan aku menangis
aku kacau
aku galau
kau tinggalkan daku sendiri
setelah 53 tahun aku tegak berdiri..
Pengarang Kamus Al-Munawwir Meninggal : Dikenal Dekat Dengan Semua Kalangan
Kamis, 18 April 2013 18:09 WIB | Abdul Hamied Razak/JIBI/Harian Jogja | Dilihat: 252 Kali
JOGJA-Pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Jogja, KH Ahmad
Warson Munawwir meninggal dunia pada Kamis (18/4/2013) pagi sekitar
pukul 06.00 WIB. Pengarang Kamus Almunawwir (Arab-Indonesia) ini
meninggal pada usia 80 tahun. Selain humoris, Almarhumah juga dikenal
kesederhanaannya oleh para santri dan pengurus.
Dwi Kristina,
Pengurus Harian Komplek Q Pondok Pesantren Putri Krapyak mengatakan mbah
Warson sangat dekat dengan semua kalangan. Tidak hanya para santrinya,
orang-orang yang bukan santri langsung pun tetap diayomi mbah Warson.
“Sebelum jatuh dulu, mbah Warson menguasai sembilan bahasa termasuk
bahasa Arab. Beliau itu orangnya netral, semua kalangan masuk dan tidak
dibeda-bedakan. Jiwa sosialnya tinggi, dan sangat sederhana,” jelas Dwi.
Kesederhanaan mbah Warson, lanjutnya, tidak hanya tampak dari pakaian
yang dikenakan tetapi juga makanan yang dikonsumsi. Bakwan saja disukai
mbah Warson.
Semasa hidup, mbah Warson sempat menjadi pengasuh
generasi Hybrid NU. Ia memadukan pendidikan umum dan pesantren. Dia juga
sempat menjadi Ketua Dewan Syuro DP PKB DIY dan membidani kelahiran
Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
Salah satu karya
besar mbah Warson, katanya adalah Kamus Almunawwir (Arab-Indonesia).
Saking tersohornya, kamus tersebut tidak hanya menjadi ‘kamus wajib’
kalangan pesantren di Indonesia bahkan mancanegara.
“Kamus itu
juga diakui oleh Universitas Kairo Mesir. Pak kyai selalu berpesan agar
santri-santrinya selalu belajar dan belajar. Selain itu, mbah Warson
dikenal humoris. Meski sudah sepuh, pak Kyai bilang pakaian yang
dikenakannya trendi,” kata Dwi.
Sekretaris Pengurus Wilayah NU
DIY, Mukhtar Salim menilai, jasa-jasa mbah Warson sangat besar bagi
warga DIY, khususnya warga NU. Dia mengatakan, banyak santri-santri mbah
Warson yang sudah berkiprah dan memberikan manfaat kepada bangsa dan
negara.
“Kami dan warga NU DIY sangat kehilangan. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi Allah,” tuturnya singkat
Mbah Warson meninggalkan istri Nyai Hj. Khusnul Khotimah, Muhammad
Fairus (anak pertama) dan Qurry’Aina (anak kedua). Ia dimakamkan di
Pemakaman Umum Dongkelan, Bantul.
Mengenang Mbah Munawir pada Haul ke 74 KHM.MOENAWIR
(AHLI QURAN PENDIRI PON-PES KRAPYAK JOGJAKARTA)
biasanya Kondisi Kepadatan dari setiap Sudut kawasan Pondok dari Ujung
Jalan Sampai Ujung Jalan sampai Ujung Jalan yang Lainnya dan tiap
Perempatan Akses Menuju Ponpes sudah ditutup karena ndak bisa dilewati
lagi, oleh Karena Berjubel Manusia yang berduyun duyun Hadir! sampai
Puluhan ribuan lebih Jumlahnya Yaa! Kompleks Ponpes seluas hampir 5
Hektar itu sudah mulai
semakin Sempit Rasanya tak muat lagi menampung Jumlah Ledakan para Hadirin dan Hadirat, Terutama pada Event Tertentu
seperti acara Haul Mbah Munawwir ini, Pada Puncaknya Hari ini,
Siapa yang tak kenal dengan pondok pesantren Munawir Krapyak Jogjakarta
yang telah banyak melahirkan ulama-ulama ahli quran terkemuka. Semula
pesantren yang didirikan sekitar tahun 1909 oleh kh Moenawir hanya
dihuni 10 santri , kini pesantren krapyak berkembang pesat dengan jumlah
santri yang mencapai ratusan. Sosok Kh Moenawir atau yang akrab
dipanggil Mbah Moenawir merupakan sosok ulama yang oleh Rosululloh saw
disebut Sebagai “Keluarga Alloh” atau “waliyulloh”, karena kemampuannya
sebagai ahlul qur’an ( penghapal qur’an dan mengamalkan kandungan
alqur’an)
Para Ulama peserta Mukta’mar Di Pon-pes Munawir Krapyak Jogja
peserta muktamar NU DI PONPES MUNAWIR KRAPYAK JOGJAKARTA
Sejak usia 10 tahun Kh Moenawir telah Hapal Quran 30 Juz dan Beliau
gemar sekali menghatamkan alquran , beliau dikirim ayahnya KH.Abdul
Rosyad untuk belajar kepada seorang Ulama terkemuka di Bangkalan Madura
KH.Muhammad Kholil , Bakat kepasihan Mbah Moenawir dalam Pembacaan
Alquran memberi kesan tersendiri dihati Gurunya (Kh.Muhammad Kholil )
dan suatu ketika gurunya menyuruh Kh Moenawir untuk menjadi imam Sholat
sedangkan Gurunya Kh Kholil menjadi Mak’mum.
Tahun 1888 Kh
Moenawir bermukim di Mekkah dan memperdalam ilmu-ilmu Alquran kurang
lebih 20 tahun, kesempatan tersebut Beliau gunakan untuk mempelajari
Ilmu Tahfizul quran , qira’at sab’ah dengan Ulama -ulama setempat.
Hingga Kh Moenawir memperoleh Ijazah Sanad Qira’at yang bersambung ke
urutan 35 sampai ke Rosululloh SAW dari Seorang Ulama Mekkah yang
termashur Syech Abdul Karim bin Umar Al Badri Addimyati .
KhMoenawir Mampu menghatamkan Alquran hanya dalam Satu rakaat sholat,
dan sebagai orang awan mungkin itu Mustahil dilakukan tapi bagi Kh
Moenawir itu mampu . Bahkan Kh Moenawir dalam menjaga hapalannya beliau
melakukan Riyadhoh dengan membaca alquran secara terus menerus selama 40
hari 40 malam sampai terlihat oleh beberapa murid nya Mulut Kh Moenawir
terluka dan mengeluarkan darah.
Kedisiplinan Kh.Moenawir dalam
mengajar Alquran kepada murid-muridnya sangat ketat bahkan pernah
muridnya membaca Fatiha samapi dua tahun diulang-ulang karena menurut Kh
Moenawir belum Tepat bacaannya baik dari segi makhrajnya maupun
tajwidnya, maka tak heran bila murid murid beliau menjadi Ulama-ulama
yang Hufadz ( hapal quran) dan mendirikan Pesantren Tahfizul quran
seperti Pon-pes Yanbu’ul Qur’an kudus (Kh.Arwani Amin) , Pesantren Al
Muayyad solo ( KH Ahmad Umar) dll.
Peristiwa menarik pernah
dialami oleh murid KH Moenawir, sewaktu beliau disuruh oleh istri Mbah
Moenawir untuk meminta sejumlah uang kepada Mbah Moenawir yang akan
digunakan sebagai keperluan belanja sehari hari, Kh moenawir selalu
merogoh sejadahnya dan diserahkan uang tersebut kepada Muridnya, padahal
selama ini muruid-muridnya hanya tahu bahwa sepanjang waktu mba
moenawir hanya duduk saja di serambi masjid sambil mengajar alquran.
No comments:
Post a Comment