Sunday, November 9, 2014

Fiqih Imam Syafi'i

Tanda tanda kesuksesan dan bahan bahan fatwa Imam Syafi’i telah sempurna, namun ia tidak pernah mengadakan suatu majelis untuk fatwanya selama gurunya masih hidup walaupun telah tersiar bahwa ia telah memiliki kemampuan ilmiah yang telah melampaui batas untuk menjadikannya orang yang berhak untuk berfatwa sejak usianya 15 tahun.

Imam Syafi’I pernah mengkritik pendapat pendapat Abu Hanifah tanpa mengurangi sikap hormat kepadanya karena pengaruh pribadi, ilmu dan perkataan perkataan mulia yang beliau miliki.

Dia juga pernah mengkritik Al-Auza’I, seorang Imam dan ahli fiqih kota Syam. Hal ini tidak mengapa selagi pendapat pendapat yang mereka kemukakan dan perselisihkan masih tetap saling manjawa wibawa masing masing.


Adapun pembahasan bahwa ia mengkhususkan Imam Malik masih diperselisihkan sampai pada batas yang luas karena keilmuan Syafi’I memang tumbuh dipangkuaanya sebagaimana yang mereka katakana.

Akan tetapi, ketika telah dewasa, kepribadiannya pun telah sempurna dan pendapat pendapatnya secara mandiri mengalir dari hasil ilmunya dan penguasaan dari kesungguhannya. Ia pun mulai menyampaikan hukum hukum yang terkadang sama dengan sang guru dan terkadang juga berbeda, tanpa memberikan komentar sejauh mana persamaan dan perbedaannya dengan sang guru yang telah meninggal.

Jelaslah sudah bahwa Syafi’I memiliki kepribadian fiqih yang independen yang mampu mengalirkan pendapat pendapat dalam masalah agama secara lisan di majelis majelis Madinah dan Mekah, atau secara tertulis seperti pendapat pendapatnya yang terdapat di dalam kitab Ar-Risalah yang ditulis dari awal masa mudanya.

Dalam kitab itu ia menerangkan syarat syarat pengambilan dalil dari Al Quran, Sunnah, Ijma, Kias, uraian tentang nasikh dan mansukh, serta urutan urutan lafal umum dan khusus.

Bahkan, pembahasan pembahasan dan keputusan keputusan fiqih yang membuat orang lain, seperti Abdurrahman bin Mahdi Al-Lu’lui Al-Bashri, salah satu tokoh ahli hadis, berkata setelah membacanya, “Aku tidak menyangka jika Allah menciptakan orang sepertinya”

Jika Imam Syafi’I berbeda pendapat dengan gurunya, yaitu Imam Malik, itu bukan karena mencari popularitas dan berupaya menandinginya. Sungguh hal itu tidak mungkin akan terbesik di benaknya.

Semua itu hanya karena kemampuannya dalam mengambil kesimpulan dan fiqih yang ia kuasai telah menempatkannya pada pemikiran sendiri.

Demikian pula dalam hal pengambilan dalil yang dijelaskan pada akidah dan ushul syariat, pengukuhan dari kitab dan sunnah yang tidak dapat dipahami orang  lain sebagaimana yang ia pahami, atau menggunakannya sebagai kaidah dalam penarikan kesimpulan dan sumber dalam berijtihad.

Yang menarik kita bahasa adalah penentangan Imam Syafi’I terhadap pendapat pendapat sang guru yang menjadikannya banyak orang bersuara tinggi, yaitu ketika ia telah menyusun kitab yang berjudul Khilfu Malik (Pendapat pendapat yang menyelisih Malik).

Sebelumnya, ia sempat meragukan untuk menyiarkannya kepada khalayak. Akan tetapi, tidak lama kemudian, muncul hal hal yang mendorongnya untuk menyiarkan kitab tersebut, terutama berita bahwa sebagian Muslim Andalusia telah mempersiapkan pengudusan Malik. Bahkan kabarnya mereka telah menganggap suci peninggalan dan kainnya.

Konon, pecinya pun dijadikan orang orang itu untuk mencari nafkah. Termasuk pula yang mendorongnya untuk itu adalah sekelompok kaum Muslimin yang menyejajarkan pendapatnya dengan Sabda Rasulullah. Ini adalah perkara yang mengancam akidah secara keseluruhan.

Oleh karena itu, imam Syafi’I merasa harus maju membeberkan kekeliruan pendapat pendapat Malik, khususnya mereka yang terlanjur fanatik kepadanya sampai menyejajarkan pendapat Malik dengan Sabda Rasulullah saw
 Menurut Syafi’I, manusia bisa salah dan benar. Jadi, pendapat yang menyejajarkan sabda Rasulullah dengan perkataan siapa saja selain yang tertera dalam Kitabullah, berarti telah keluar dari rel agama.

Inilah sebenarnya penyebab utama yang mendorong Imam Syafi’I secara terang terangan menyelisih sang guru hingga menyebabkannya menyusun kitab yang berisi perbedaan perbedaan antara dia dan gurunya, Malik.

Meskipun dilihat dari perselisihan ini, Imam Syafi’I, tidak pernah mengomentasi sang guru dengan satu katapun yang keluar dari rel atau satu kalimat pun yang menyimpang dari jalan yang tertib dalam mengkritik.

Setelah kita mengetahui secara bertahap apa yang menyebabkan Imam Syafi’I memiliki fiqih tersendiri, maka dengan ringkas dapat dinyatakan bahwa masalah terpenting dalam pendapat beliau tentang masalah fiqih adalah sebagai berikut,

1. Mazhab Imam Syafi’I tegak dengan mengambil dalil darii Al Quran, Sunnah, Ijma, dan Kias yang semuanya telah disebutkan oleh Imam Syafi’I di awal kitab Ar-Risalah yang merupakan unsur\ baru dalam kitab fiqih islam di kalangan ahli fiqih.

Dalam hal ini bahkan terdapat seorang ahli fiqih, yaitu Al-Karabisi mengatakan,  “Dulu kami tidak tahu apa itu Al Quran, sunnah dan Ijma’ hingga dengar Imam Syafi’I mengatakannya” Abu Tsur juga mengatakan, “Tatkala Syafi’I datang ke tempat kami dan berkata, ‘Sungguh Allah terkadang menyebutkan hal yang umum, tapi yang dia maksud adalah hal yang khusus dan terkadang menyebutkan hal yang khusus, tapi yang Dia maksud adalah hal yang umum.’ Kami belum mengetahui semua itu hingga kami menanyakan kepadanya. Lalu dia menjawab, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya manusia telah berkumpul untuk mencelakakan kalian’ maksud “Manusia” adalah Abu Sufyan. Dia juga berfirman: ‘Wahai Nabi, jika kalian menalak istri istri’. Ini lafal khusus, tetapi yang dimaksud adalah umum” inilah jalan terang dalam pembicaraan fiqih dan ushulnya yang tidak dikenal oleh kaum Muslimin sedikitpun sebelum Syafi’i.

2. Fiqih Imam Syafi’I adalah kombinasi antara ahli logika, yaitu golongaan Abu Hanifah dan fiqih ahli hadis yaitu golongan Malik. Pada setiap golongan ini terdapat jalan tersendiri dalam memahami, menalar, dan mengambil kesimpulan.

Ahli logika, yaitu orang orang yang berpegang pada teori, debat, kebebasan berpikir, dan penguasaan mencari celah dalam hadis hadis dan sunnah yang terbatas.

Adapun ahli hadis, yaitu mereka yang hafal hadis hadis Rasulullah, menguasai berita berita, cerita, dab perbuatan perbuatan beliau. Akan tetapi, mereka bukan ahli dalam perdebatan dan pemahaman yang mendalam. Maka wajib bagi ahli fiqih menguasai penggunaan hadis dan logika secara bersama.

Imam Syafi’I adalah orang yang mempunyai kemampuan penalaran, dabat, diskusi yang baik, dan daya pikir yang cepat. Jadilah Syafi’I seorang Imam yang mampu menyatukan penguasaan ahli hadis dan ahli logika.

Oleh karena itu, fiqihnya datang dalam gabungan dua madrasah. Dari sini Imam Syafi’I dinobatkan sebagai peletak ilmu ushul fiqih yang menjadi acuan dasar mazhabnya dan tiang mazhabnya, sampai Al-Fahrur Razi berkomentar tentang hal ini,

“Penisbatan ilmu ushul fiqih terhadap Imam Syafi’I itu seperti penisbatan ilmu ‘arudh kepada Al-Khalil bin Ahmad” tidak diragukan lagi bahwa siapa pun yang membaca kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’I akan mampu melihat dengan mudah jerih paya yang dicurahkan dalam peletakan aturan aturan yang dapat digunakan sebagai rencana untuk mengetahui tingkatan tingkatan pengambilan dalil dalam lingkup syariat yang suci.

3. Madrasah hadis pada Imam Syafi’I tampak lebih jelas sebagai Ushul dan lebih mudah diterima. Sumber pertamanya adalah Al Quran untuk semua hukum dan dasar dasar syariat. Sumber yang kedua adalah sunnah. Ia tidak butuh lagi pada ra’yi selagi ada hadis. Cukup baginya hadis itu untuk menutup celah di depannya dalam hukum ataupun pendapat.

Kaidah kaidah yang dipakainya dalam hal ini amat jelas dalam perkataannya, “Meskipun aku telah mengatakan satu pendapat atau mengeluarkan satu ushul, kemudian datang dari Rasulullah yang menyelisih pernyataanku itu, maka perkataan yang benar adalah perkataan dari Rasulullah saw dan itu adalah pendapatku”

Mungkin inilah pandangan yang menjelaskan kepada kita penyenbab yang mendorong Imam Syafi’I untuk menyelisihi pendapat Malik ketika sebagian pengikutnya mengedepankan pendapat pendapat beliau daripada hadis Rasulullah saw, seakan akan pendapatnya adalah sumber dalam syariat.

4. Fiqih Imam Syafi’i juga mengambil ijma’ sebagai dasar. Hal ini dilakukan karena syariat sendiri menganggapnya sebagai hujjah yang wajib digunakan. Maka ia menetapkan ukuran ukuran yang mengaturnya dan petimbangan pertimbangan yang menyingkap kesalahan tuduhan orang yang berpegang pada hasil, tanpa memiliki bukti kuat atau asas agama yang mapan.

Dengan catatan bahwa Imam Syafi’i juga meletakkan Ijma (metode kompromi) pada tingkatan setelah Al Quran dan sunnah serta tidak dapat mendahuluinya walaupun misalnya hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja (hadis ahad)

5. Fiqih Imam Syafi’i juga mengambil kias sebagai dalil. Dalam hal ini, Imam Syafi’i adalah orang yang pertama berbicara dengan kias ketika melihat para fuqaha tidak meletakkan batasan antara logika yang benar dan yang salah.

Imam Syafi’i datang untuk mendudukkan kaidah kaidah untuk penalaran yang diyakini benar dan yang tidak benar. Oleh karena itu, ia menuliskan aturan-aturan kias dan tingkatan tingkatannya, kuatnya fiqih yang diambil dari kias dibandingkan dengan fiqih yang diambil dari nas, kemudian beliau menguraikan syariat syariat yang wajib dipenuhi oleh seorang ahli fiqih yang menggunakan kias.

6.Imam Syafi’i membatalkan dalil istihsan. Dalam masalah ini beliau menyusun suatu kitab yang berjudul ibtahalul Istihsan. Istihsan adalah asas yang digunakan Abu Hanifah, seorang Imam pendahulunya.

Imam Syafi’i kemudian menguraikan alasan dan pandangannya tentang batalnya istihsan, yang dilakukannya ialah merujuk kepada Al Quran, sunnah, atsar, ijma’, dan kias. Kadang kadang yang diambilnya ialah yang dianggapnya baik, bukan keputusan yang ditunjukkan oleh dalil yang muncul dari Al Quran dan sunnah.

Selain itu, Imam Syafi’i  juga menyampaikan alasan lain yang membatalkan metode istihsan. Ia menerangkan bahwa ijtihad dengan metode istihsan itu tidak berdasarkan pada dasar syariat atau nash dari Al Quran dan sunnah. Oleh karena itu ijtihad tersebut batal, selanjutnya kesimpulannya juga batal.

No comments:

Post a Comment