Wednesday, November 26, 2014

Gus Mus: Mbah Maksum Meniru Kepribadian Nabi ~HAUL MBAH MAKSUM LASEM

Gus Mus: Mbah Maksum Meniru Kepribadian Nabi ~
Sepenggal kenangan, Nasional HAUL MBAH MAKSUM LASEM
Lasem, NU Online, Haul salah seorang pendiri NU Mbah Maksum Lasem sekaligus peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Jum’at (18/1) kemarin bertepatan dengan tanggal 6 Rabiul Awwal 1434 H berlangsung sangat ramai dan khidmat. Kegiatan didahului dengan hataman Al-Qur’an dan Tahlil di makam Mbah Maksum pada sore hari yang dihadiri sekitar 7000 umat Islam laki dan wanita. Lapangan parkir bis di belakang Masjid Jami Lasem dipenuhi mobil besar dan kecil. sejak ashar dari berbagai kota, terutama dari pulau Jawa dan Sumatera. Malam harinya dilanjutkan puncak acara, yaitu pengajian umum. Panggung dipasang di pelataran Pondok Pesantren Al-Hidayat Soditan. Bangku yang disediakan memanjang hingga pertigaan jalan terisi penuh oleh jamaah yang hadir semakin bertambah banyak. Pedagang yang masar memadati pinggir jalan dari bangjo hingga depan PP An-Nuriyah. Penceramah KH Musthofa Bisri (Gus Mus) menguraikan keistimewaan Nabi Muhammad yang tersebut dalam Al-Qur’an, yakni akhlaknya yang sangat luhur. Sedangkan Nabi Yusuf AS yang ditonjolkan kegantengannya,
tetapi dalam perilaku yang tetap terpuji. Kepribadian para nabi yang mulia ini ditiru oleh Mbah Maksum. Sebagai contoh kecil, beliau sarapan menunggu kehadiran tamu. Jika tidak ada tamu, ia mengajak beberapa santrinya menemani makan bersama. Ia juga selalu istiqamah shalat subuh berjamaah. Tidak jarang dengan ia membangunkan santirinya yang banyak itu satu persatu seperti anak-anaknya sendiri. Mbah Maksum sangat memperhatikan semangat belajar dan kualitas pembelajaran santri-santrinya. Gus Mus sepulang belajar dari Universitas Al-Azhar Mesir diminta mengajari santri-santrinya mengasah kemampuan bahasa Arab. Bahkan putra Mbah Maksum sendiri, KH Ahmad Syakir ayah dari Gus Zaim yang sebenarnya sudah mumpuni disuruh ikut kursus juga.
Dalam ceramahnya Gus Mus juga menyatakan keprihatinanya, pengadilan di Indonesia yang belum menyentuh para koruptor, terutama yang dilakukan oknum pejabat.yang jelas-jelas melanggar hukum. Ironisnya malah yang tidak bersalah menjadi terdakwa yang sesungguhnya korban. Seperti yang dialami cicit Mbah Maksum sekarang ini, Ning Durrotun Nafisah Lasem.
Untuk itu, Gus Mus yang juga Wakil Rais Am PBNU menutup ceramahnya dengan memimpin doa kepada Allah SWT agar Ning Dur diselamatkan dari fitnah tersebut.
Gus Mus mengajak para hadirin membaca surat al-Fatihah dengan khusu’, sampai pada penggalan ayat 'waiyyaakanasta’iin' dibaca 11 kali, yang artinya 'dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.' Amalan doa ini diperolehnya sebagai ijazah dari Mbah Munawir Krapyak Yogyakarta.
Peringatan maulid di antero nusantara sudah lazim diadakan. hal ini dalam rangka mengenang jasa dan menteladani berliau Nabi Muhammad Saw , Ini bagian dari rasa cintaa, penting dilestarikan , kenalkan pada anak/ generasi muda, sementara budaya barat seperti KEMBANG API TAHUN BARU & VALENTIN DAY, dsb dll dst terus-menerus digelontor ke indonesia anehnya budaya ini sangat digemari oleh generasi kita, ya peringatan Maulid harus kita pertahankan. sebagai bagian rasa cinta
Belajar Keteladanan kepada Mbah Ali dan Mbah Hamid Pasuruan
Masih saja lamat-lamat membayang bila memandang wajah ini, saat masih sangat belia dulu, ayah (KH. Hasbullah; red.)memanggil saya utk diajak ke kamar tamu depan rumah mbah kakung, sebutan keluarga untuk kakek KH. Ali Maksum rahimahullah wa nafa’ana bi’ulumih. Ingatan masa lampau –entah kenapa, sering berujud gambaran yang blur dan agak ‘berkabut’. Termasuk saat itu.
Begitu masuk ke kamar tamu, ayah mengenalkan dan meminta doa restu untuk saya. Kontras dengan di dalam ruangan yang temaram, di depan saya adalah sesosok besar yang seperti diliputi cahaya, bersurban, wajah yang bersenyum. Masih saja saya ingat setelah itu tangan beliau memegang dan mengusap-usap kepala saya. Saya tak berkata apa-apa, hanya yang saya ingat di depan Mbah Hamid Pasuruan quddisasirruh, kyaigung waliyyullah ini (tentu setelah beberapa tahun setelah itu baru saya tahu), saat itu berlangsung suasana tenang.
Bila rawuh di Krapyak, sering terutama saat peringatan haul Mbah Munawwir akhir dekade 70-an dan awal 80-an, di luar kamar tamu selalu penuh dengan orang. Ada yang menunggu untuk sekedar dapat memandang wajah beliau atau untuk dapat bersalaman atau bahkan dapat matur untuk memohon doa. Beliau biasa rawuh, seingat saya, sore menjelang puncak acara Haul, untuk kemudian sudah kondur isya’ awal menjelang mulai pengajian Haul. Selama kerawuhan beliau, sekitar kamar tamu selalu “dikepung” orang-orang hingga beliau masuk ke mobil sedan untuk kondur pulang . Rubungan-rubungan seperti itu selalu berlangsung dengan dihinggapi suasana tenang dan hidmat. Jauh dari hiruk pikuk.
Peristiwa lampau yang terkenang,–entah kenapa, hampir selalu ikut menjadi konsiderasi dalam membuat gambaran-gambaran. Termasuk, dalam suatu majlis pengajian pasan terakhir beliau, ‘mbah Kakung, ketika menjelaskan hadis ra’sul hikmah, teringat dengan dialog beliau dengan Kyai Hamid :
Mbah Ali : Bagaimana sih kau bisa mencapai hal yang seperti ini?
Mbah Hamid : Dulu itu aku selalu merenung-renungkan sabda Nabi dalam hadits : رأس الحكمة مخافة الله. (Maknanya : Inti puncak hikmah adalah khasyah kepada Allah.)
Seperti ada yang mengganjal, mungkin Anda agak tidak nyaman dengan pertanyaan Mbah Ali dengan cara seperti itu. Tidak perlulah dialog ditulis dengan eufimisasi, atau penghalusan ekspresi dialog beliau berdua. Memang seperti itulah keadaannya. Mbah kakung dalam berbagai pengajian saat menyinggung konsep perwalian sangat kental dengan ajaran Imam Ghozali (Gazalian sufism) dan mengidolakan sosok seperti mbah Hamid, sebagai wali salik. Tapi apa dengan dengan cara seperti itu? Begitulah. Secara kebetulan, beliau berdua masih kerabat, sama-sama teman semenjak kecil, berguru dengan dua guru besar yang sama yakni Mbah Ma’shum Lasem (ayahanda beliau sendiri) dan Mbah Dimyati Abdullah (adik dan murid Syeikh Mahfudz) Termas. Akhirnya sama-sama ngiyai dan berbesanan. Watak, gaya, lingkungan daerah dan jenis bidang garapan yang berbeda tidak mengurangi sinergitas dan koneksitas yang kuat dan saling menguatkan.
Mbah Hamid bersuara lirih, tidak diketahui suka berpidato, tinggal di Pasuruan, daerah tapal kuda bagian Timur Jawa, dan tidak dikenal dalam struktur NU. Tapi beliau min abdaali Jawah pada zamannya. Di sisi lain, Mbah Ali dikenal sebagai kiyai ‘srengat’, dan cenderung berpembawaan rasional, bergaya penuh gengsi khas superioritas fuqaha dalam urusan otoritas ilmu dan ajaran Syari’ah di atas siapapun. Apalagi beliau saat itu menjadi lurahe kiyai-kiyai dan menjadi pengurus syuriah NU. Namun, yang tidak banyak diketahui publik umum, urusan-urusan dan keputusan penting NU dengan penuh hormat oleh beliau dan para kiyai di‘inapkan’ terlebih dulu di Pasuruan, kepada Mbah Hamid. Diam-diam, tenang, dan jauh dari publisitas. Adakah hal yang seperti itu berlangsung sekarang? Saya yakin (untuk berharap) seperti itu adanya.
Rahimahumullah wa askanahum fasiha jannatih wanafa’ana bi ‘ulumihim wa a’aada ‘alaina min asraarihim wa barakaatihim, wa ilaa hadlratin Nabiy alFaatihah.
Ribuan pelayat mengusung jenazah KH Ahmad Warson Munawwir, pengasuh PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta menuju masjid untuk disholatkan di sepajang Jalan DI. Panjaitan, Yogyakarta, Kamis (18/04/2013). KH Ahmad Warson Munawwir merupakan penulis dan menyusun Kamus Al-Munawwir, yakni kamus Bahasa Arab-Indonesia terlengkap dan paling tebal di Indonesia. Almarhum meninggal sekitar pukul 05.00. Jenazah dimakamkan di makam Dongkelan Bantul dengan upacara pemberangkatan di PP Al-Munawwir Krapyak kemarin sore.
Nahdliyin Gelar Doa untuk Mbah Warson, Jum'at, 19 April 2013 18:11 DUTAonline, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar kegiatan tahlilan selama 7 hari dan sembahyang ghaib untuk al magfurllah KH Achmad Warsun Munawwir yang akrab disapa Mbah Warson, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. “Tahlilan pertama di mulai sehabis sholat Jum’at tadi,” ujar Pengurus lakpesdam PBNU, Ahmad Satiri kepada Dutaonlin di Jakarta, Jum’at, (19/4).
Ratusan warga nahdliyin dan pengurus PBNU turut hadir dalam kegiatan yang dipusatkan di Masjid An-Nahdlah, Gedung PBNU, Kramat Raya nomor 164, Jakarta Pusat. Selain melakukan sholat ghaib berjamaah, nahdliyin juga menggelar tahlilan dan doa bersama selama 7 hari berturut-turut.
PBNU juga mengimbau kepada seluruh lembaga, lajnah, dan badan otonom NU untuk menggelar tahlilan dan doa bagi alm Mbah Warsun, seorang putra pengasuh pondok pesantren salafiyah tertua di Yogyakarta, KH Munawwir.
Mbah Warsun, merupakan penulis Kamus Bahasa Arab-Indonesia terkenal yang berjumlah sedikitnya 1600 halaman, menutup usia di kota Yogyakarta pada pukul 6.00, Kamis (18/4) pagi. Mbah Warson wafat pada usia kurang lebih 79 tahun (1934-2013). Jenazah Mbah Warsun dimakamkan di Desa Dongkelan, makam keluarga besar Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Saat pemakaman, Kamis, (18/4) kemarin, ribuan santri dan masyarakat saling berjubel untuk ikut menandu keranda jenazah dari Pesantren Krapyak menuju Dongkelan yang jaraknya lumayan jauh. Banser siap siaga, mengatur jalan dan keamanan. Para kiai tak mau kalah, ikut serta berebut keranda. Bahkan KH Musthofa Bisri (Gus Mus) juga ikut menandu keranda jenazah Kiai Warson.
Saat acara menjelang pemakaman, KH Asyhari Abta, Rais Syuriyah PWNU DIY, memberikan sambutan atas nama keluarga. Sedangkan atas nama masyarakat diwakili KH A Malik Madany, Katib Aam PBNU. Adapun doa dipanjatkan oleh KH Zainal Abidin Munawwir dan KH Musthofa Bisri.
Salah satu santri Kiai Warsun, KH Habib Syakur, merasa sangat kehilangan dengan kepergian beliau. Kiai Habib merasa sangat diperhatikan Kiai Warsun, bahkan sampai urusan rumah tangga sekalipun.
“Karena saya merasa bahwa saya adalah salah satu santri yang sangat diperhatikan oleh beliau. Mulai dari urusan kerumahtanggaan hingga hal-hal yang bersifat akademis,” kenangnya.
“Bermula dari saya mulai mondok di PP Al-Munawwir Krapyak, Hari Jum'at Wage, 6 Desember 1976, saya langsung ndherek di ndalem beliau, yang saat itu masih bersama almarhumah mbah Nyai (Nyai Hj. Sukis, istri almaghfurlah al-marhum KH M. Moenawwir, ibu beliau), al-Mukarram Romo KH Zainal Abidin Munawwir, dan al-marhumah Ibu Nyai Hj. Jamalah Munawwir (kakak beliau). Momong putra pertama beliau (Gus H. Muhammad Fairuz atau Gus Nanang) adalah salah satu pekerjaan harian saya,” lanjutnya.
Salah satu santri yang lain, KH Munawir AF, Musytasyar PWNU DIY, juga merasa sangat kehilangan. Untuk mengantarkan sang guru tercinta, Kiai Munawir menulis sebuah sajak yang sangat menyentuh.
GURU…
kalau tdk keliru...
sdh 53 tahun aku kenal denganmu
sdh 53 tahun Aku menjadi muridmu
dan seterusnya aku adalah santrimu
Kau isi sungsum balungku
Kau kupas jiwa benakku
Kau ikuti tangis dan tawaku
Sampai kurang seminggu kau meninggalkanku
Kau cad hijau kalbuku
kau batik kuning coklat benakku
kau lukis wajahku
aku jadi begini...
kau pernah kau tandingkan aku
kau pernah marahi daku
kau pernah perintahkan aku menulis
tetapi pernah juga kau perintahkan aku menangis
aku kacau
aku galau
kau tinggalkan daku sendiri
setelah 53 tahun aku tegak berdiri..
Pengarang Kamus Al-Munawwir Meninggal : Dikenal Dekat Dengan Semua Kalangan
Kamis, 18 April 2013 18:09 WIB | Abdul Hamied Razak/JIBI/Harian Jogja | Dilihat: 252 Kali
JOGJA-Pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Jogja, KH Ahmad Warson Munawwir meninggal dunia pada Kamis (18/4/2013) pagi sekitar pukul 06.00 WIB. Pengarang Kamus Almunawwir (Arab-Indonesia) ini meninggal pada usia 80 tahun. Selain humoris, Almarhumah juga dikenal kesederhanaannya oleh para santri dan pengurus.
Dwi Kristina, Pengurus Harian Komplek Q Pondok Pesantren Putri Krapyak mengatakan mbah Warson sangat dekat dengan semua kalangan. Tidak hanya para santrinya, orang-orang yang bukan santri langsung pun tetap diayomi mbah Warson.
“Sebelum jatuh dulu, mbah Warson menguasai sembilan bahasa termasuk bahasa Arab. Beliau itu orangnya netral, semua kalangan masuk dan tidak dibeda-bedakan. Jiwa sosialnya tinggi, dan sangat sederhana,” jelas Dwi.
Kesederhanaan mbah Warson, lanjutnya, tidak hanya tampak dari pakaian yang dikenakan tetapi juga makanan yang dikonsumsi. Bakwan saja disukai mbah Warson.
Semasa hidup, mbah Warson sempat menjadi pengasuh generasi Hybrid NU. Ia memadukan pendidikan umum dan pesantren. Dia juga sempat menjadi Ketua Dewan Syuro DP PKB DIY dan membidani kelahiran Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
Salah satu karya besar mbah Warson, katanya adalah Kamus Almunawwir (Arab-Indonesia). Saking tersohornya, kamus tersebut tidak hanya menjadi ‘kamus wajib’ kalangan pesantren di Indonesia bahkan mancanegara.
“Kamus itu juga diakui oleh Universitas Kairo Mesir. Pak kyai selalu berpesan agar santri-santrinya selalu belajar dan belajar. Selain itu, mbah Warson dikenal humoris. Meski sudah sepuh, pak Kyai bilang pakaian yang dikenakannya trendi,” kata Dwi.
Sekretaris Pengurus Wilayah NU DIY, Mukhtar Salim menilai, jasa-jasa mbah Warson sangat besar bagi warga DIY, khususnya warga NU. Dia mengatakan, banyak santri-santri mbah Warson yang sudah berkiprah dan memberikan manfaat kepada bangsa dan negara.
“Kami dan warga NU DIY sangat kehilangan. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi Allah,” tuturnya singkat
Mbah Warson meninggalkan istri Nyai Hj. Khusnul Khotimah, Muhammad Fairus (anak pertama) dan Qurry’Aina (anak kedua). Ia dimakamkan di Pemakaman Umum Dongkelan, Bantul.
Mengenang Mbah Munawir pada Haul ke 74 KHM.MOENAWIR
(AHLI QURAN PENDIRI PON-PES KRAPYAK JOGJAKARTA)
biasanya Kondisi Kepadatan dari setiap Sudut kawasan Pondok dari Ujung Jalan Sampai Ujung Jalan sampai Ujung Jalan yang Lainnya dan tiap Perempatan Akses Menuju Ponpes sudah ditutup karena ndak bisa dilewati lagi, oleh Karena Berjubel Manusia yang berduyun duyun Hadir! sampai Puluhan ribuan lebih Jumlahnya Yaa! Kompleks Ponpes seluas hampir 5 Hektar itu sudah mulai
semakin Sempit Rasanya tak muat lagi menampung Jumlah Ledakan para Hadirin dan Hadirat, Terutama pada Event Tertentu
seperti acara Haul Mbah Munawwir ini, Pada Puncaknya Hari ini,
Siapa yang tak kenal dengan pondok pesantren Munawir Krapyak Jogjakarta yang telah banyak melahirkan ulama-ulama ahli quran terkemuka. Semula pesantren yang didirikan sekitar tahun 1909 oleh kh Moenawir hanya dihuni 10 santri , kini pesantren krapyak berkembang pesat dengan jumlah santri yang mencapai ratusan. Sosok Kh Moenawir atau yang akrab dipanggil Mbah Moenawir merupakan sosok ulama yang oleh Rosululloh saw disebut Sebagai “Keluarga Alloh” atau “waliyulloh”, karena kemampuannya sebagai ahlul qur’an ( penghapal qur’an dan mengamalkan kandungan alqur’an)
Para Ulama peserta Mukta’mar Di Pon-pes Munawir Krapyak Jogja
peserta muktamar NU DI PONPES MUNAWIR KRAPYAK JOGJAKARTA
Sejak usia 10 tahun Kh Moenawir telah Hapal Quran 30 Juz dan Beliau gemar sekali menghatamkan alquran , beliau dikirim ayahnya KH.Abdul Rosyad untuk belajar kepada seorang Ulama terkemuka di Bangkalan Madura KH.Muhammad Kholil , Bakat kepasihan Mbah Moenawir dalam Pembacaan Alquran memberi kesan tersendiri dihati Gurunya (Kh.Muhammad Kholil ) dan suatu ketika gurunya menyuruh Kh Moenawir untuk menjadi imam Sholat sedangkan Gurunya Kh Kholil menjadi Mak’mum.
Tahun 1888 Kh Moenawir bermukim di Mekkah dan memperdalam ilmu-ilmu Alquran kurang lebih 20 tahun, kesempatan tersebut Beliau gunakan untuk mempelajari Ilmu Tahfizul quran , qira’at sab’ah dengan Ulama -ulama setempat. Hingga Kh Moenawir memperoleh Ijazah Sanad Qira’at yang bersambung ke urutan 35 sampai ke Rosululloh SAW dari Seorang Ulama Mekkah yang termashur Syech Abdul Karim bin Umar Al Badri Addimyati .
KhMoenawir Mampu menghatamkan Alquran hanya dalam Satu rakaat sholat, dan sebagai orang awan mungkin itu Mustahil dilakukan tapi bagi Kh Moenawir itu mampu . Bahkan Kh Moenawir dalam menjaga hapalannya beliau melakukan Riyadhoh dengan membaca alquran secara terus menerus selama 40 hari 40 malam sampai terlihat oleh beberapa murid nya Mulut Kh Moenawir terluka dan mengeluarkan darah.
Kedisiplinan Kh.Moenawir dalam mengajar Alquran kepada murid-muridnya sangat ketat bahkan pernah muridnya membaca Fatiha samapi dua tahun diulang-ulang karena menurut Kh Moenawir belum Tepat bacaannya baik dari segi makhrajnya maupun tajwidnya, maka tak heran bila murid murid beliau menjadi Ulama-ulama yang Hufadz ( hapal quran) dan mendirikan Pesantren Tahfizul quran seperti Pon-pes Yanbu’ul Qur’an kudus (Kh.Arwani Amin) , Pesantren Al Muayyad solo ( KH Ahmad Umar) dll.
Peristiwa menarik pernah dialami oleh murid KH Moenawir, sewaktu beliau disuruh oleh istri Mbah Moenawir untuk meminta sejumlah uang kepada Mbah Moenawir yang akan digunakan sebagai keperluan belanja sehari hari, Kh moenawir selalu merogoh sejadahnya dan diserahkan uang tersebut kepada Muridnya, padahal selama ini muruid-muridnya hanya tahu bahwa sepanjang waktu mba moenawir hanya duduk saja di serambi masjid sambil mengajar alquran.
Kh.Moenawir wafat sekitar tahun 1942 dan dimakamkan di sekitar Kawasan Pondok pesantren Munawir Krapyak Jogjakarta
(Madukismo Dongkelan

No comments:

Post a Comment