PERKAWINAN LINTAS AGAMA MENURUT MAZHAB EMPAT
Oleh Syarifah Aini, S.Ag.
A. Pendahuluan.
Adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk
bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan (Q.S.
Al-Dzariyat : 49). Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota
bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memilki nafsu. Dengan
hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk
mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan instinct. Oleh karenanya hewan
bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia
tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan
peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.
Dalam sejarah umat manusia, baik manusia
priminif maupun manusia modern mengakui adanya institusi perkawinan ini,
meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap ketentuan ini seperti
prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang harus dihilangkan. Memang
dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang walaupun mengakui institusi
perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik tentang hubungan seksual
diluar perkawinan. Misalnya saja pada masyarakat Eskimo untuk menghormati tamu
yang terpandang menyuruh isterinya untuk tidur dan memberikan pelayanan sex
seperlunya kepada tamu tersebut. Demikian pula halnya pada beberapa kelompok
suku di pulau Mentawai, Flores, mengizinkan anak-anak gadisnya melakukan
hubungan sex diluar nikah, karena anak-anak gadis yang trampil memberikan
pelayanan sex akan laku lebih dahulu.
Dalam Islam perkawinan dimaksudkan adalah
untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk
melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) rahmah
(saling berkasih sayang) antara suami isteri, hal ini sebagaimana maksud dari
makna Q.S. al-Rum : 21. Dan perkawinan yang baik adalah perkawinan yang
dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu
tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan
keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang,
keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan
perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
dan rahmah.
Menurut pandangan Islam, tujuan perkawinan
tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut
berpegang pada satu keyakinan yang sama dan mereka teguh dalam melaksanakan
ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai
permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan
ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan, dan
lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga tersebut. Islam dengan
tegas melarang wanita Islam menikah dengan pria non-muslim, baik musrik maupun
ahlul kitab, demikian pula halnya seorang pria Islam dilarang menikahi wanita
musyrik, kedua bentuk perkwinan ini mutlak diharamkan.
Yang menjadi permasalahan adalah apabila
perkawinan itu antara seorang pria Islam dengan wanita Ahlul kitab, bagaimana
status perkawinan mereka, berdasarkan zahir ayat 221 Q.S. al-Baqarah maka boleh
seorang pria muslim menikahi wanita ahlul kitab, demikian halnya menurut
pandangan ulama pada umumnya, kendati demikian tidak sedikit pula ulama yang
melarang perkawinan semacam ini, Dalam makalah yang sederhana ini penulis akan
mencoba membahas permasalahan tersebut ditinjau dari pandangan ulama mazhab
empat dan dikaitkan dengan kenyataan aktual yang terjadi pada masyarakat
Indonesia saat ini.
B. Pembahasan.
1. Pengertian Perkawinan.
Bermacam-macam pendapat yang dikemukakan para
pakar hukum mengenai pengertian perkawinan, namun seluruh pengertian tersebut
pada dasarnya mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda, dan
perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang
terkandung dalam perkawinan tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
pasal 1 dikatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa,
selanjutnya pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dr. Anwar Haryono dalam bukunya Hukum Islam,
menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Sedangkan
Pror. Dr. Shalaby mengemukakan pemahamannya tentang makna perkawinan dikaitkan
dengan arti dari Q.S Yaa Siin : 36 dan arti Q.S. al-Mu’minun : 27, bahwa
perkawinan adalah hukum alam yang tetap dan luas bidangnya yang mencakup setiap
makhluk hidup, hukum tersebut membahagiakan setiap makhluk hidup dan
masing-masing jenis akan memperoleh bagian, yaitu suatu rahasia yang berbeda
dengan rasia yang diberikan kepada lawan jenisnya.
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikatakan bahwa
perkawinan adalah merupakah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual
suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan
keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia dibumi. Menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan
akad yang sangat kuat atau mittsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakanya adalah merupakan ibadah.
Sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan
lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang dilakukan
oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita
atau seorang pria yang beragama non-Islam. Perkawinan antar agama disini dapat
terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama
Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam,
sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat
penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dan wanita sebagai upaya untuk menyalurkan nafsu
seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang bahagia sakinah mawaddah wa rahmah,
guna melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah bagi yang melaksanakannya,
sedangkan perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang
pria atau wanita muslim dengan seorang pria atau wanita non Islam.
2. Hukum Perkawinan Lintas Agama
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang
dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu
perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama
Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam.
Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam,
sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik,
dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama
Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik. Yang menjadi permasalahan rumit dan
pelik disini adalah hukum perkawinan antar agama ini, dan memang dalam banyak
kasus di masyarakat kita masih muncul resistensi yang begitu besar dalam
masalah kawin beda agama ini. Hal ini disebabkan karena dalam sejumlah ayat
yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan antar agama ini,
itulah sebabnya mengapa kelompok ekslusif melarang dan mengharamkan hukum perkawinan
antar agama ini.
Mengenai hukum perkawinan beda agama ini
disatu sisi melarang dan mengharamkannya. Namun harus terlebih dahulu kita
pisahkan pelaku dari perkawinan itu, apakah antara wanita Islam dengan
laki-laki non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik., atau kah antara seorang
laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahl al-kitab atau musyrik.
Apa bila terjadi perkwinan antara seorang
wanita Islam dengan seorang laki-laki non Muslim baik ahl al- kitab atau
musyrik, menurut Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah (1990 : 95) ulama
fiqh sepakat melarang dan mengharamkan perkawinan ini. Hal ini sebagaimana
dilansir dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 221, yang artinya :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Demikian tegas dan pastinya Islam meletakkan
hukum bagi perkawinan yang dilakukan oleh seorang wanita Islam dengan seorang
laki-laki non muslim, menurut mereka seandainya terjadi perkawinan seperti ini
dimana suami tetap pada agamanya, maka perkawinan ini harus dibatalkan.
Demikian juga halnya bila perkawinan itu
dilakukan oleh seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita non-muslim, baik
Ahlul Kitab atau musyrik. Menurut Ibnu Umar perkawinan antara seorang pria
muslim dengan ahlul kitab maka hukumnya haram sama haramnya dengan mengawini
wanita musyrik, alasannya adalah karena wanita ahlul kitab juga telah berlaku
syirik dengan menuhankan nabi Isa. Alasan lain yang mengharamkan perkawinan
jenis ini adalah karena ayat yang membolehkannya yaitu Q.S. Al-Maidah : 5 telah
dianulir dengan Q.S. Al-Baqarah : 221.
Yang mengharamkan pernikahan seorang
laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah karena laki-laki yang berkedudukan
sebagai suami adalah memegang pimpinan dan kendali dalam rumah tangganya, ia
adalah teladan dalam pembinaan akhlaq Islam dalam keluarganya, ia juga harus
mampu menunjukkan keluhuran agama Islam dalam lingkungannya khususnya untuk
anak dan isterinya. Tetapi Al-Sabuni menegaskan bahwa apabila dihawatirkan
suami dan anak-anaknya akan terkena pengaruh agama isterinya yang kitabiyah,
maka nikah dengan kitabiyah ini hukumnya haram.
Menanggapi masalah ini Yusuf al-Qordawi
berpendapat, bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyah adalah tidak mutlak,
tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus diperhatikan, yaitu sebagai
berikut :
1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada
ajaran samawi, tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama selain agama
samawi.
2) Wanita kitabiyah tersebut harus mukhshonat
(memelihara kehormatan dirinya dari perbuatan zina)
3) Bukan wanita kitabiyah yang kaumnya
berstatus musuh dengan kaum muslimin.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang
menamakan dirinya inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai
jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan
kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang
sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah boleh.
Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Alquran yakni Q.S.
al-Maidah ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut :
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu
Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Menurut mereka ayat ini merupakan ayat
Madinah yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang
musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena
secara eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim pada masa itu,
karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah : 221
menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun
pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi)
untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Maka menurut kelompok ini
ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh
muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku Dekonstruksi Syari’ah mengatakan
bahwa larangan dan pengharaman perkawinan antar agama ini karena dependensi
wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk
konteks sekarang dimana seorang wanita dan pria memiliki kebebasan dan
kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tidak
berlaku lagi.
Sejalan dengan hal tersebut seorang peneliti
sosial yaitu Noryamin Aini yang melakukan penelitian terhadap praktek
perkawinan beda agama di Yokjakarta mendapatkan hasil yang mengejutkan, dimana
figur seorang ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk
agama yang dianutnya. Kenyataan dari data ini sungguh dapat meruntuhkan asumsi
dan mitos klasik sebagaimana yang disebutkan oleh Maulana Muhammad Ali yang
menyatakan bahwa seorang wanita muslim yang menikah dengan pria non muslim akan
menemukan banyak permasalahan dan problem dalam rumah tangganya. Oleh karena
itu tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang
perkawinan antar agama.
Dari uraian-uraian tersebut diatas, dapat
penulis simpulkan bahwa para ulama fiqh sepakat mengharamkan perkawinan yang
dilakukan oleh seorang wanita muslim dengan seorang pria non-muslim apakah dia
dari golongan ahlul kitab, ataukah musyrik.
3. Perkawian Lintas Agama menurut Mazhab
Empat
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan
terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam
dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka
jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah.
Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan
wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda
pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab
tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang
hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat,
walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama
bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan
keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan
antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi
membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul
kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah
ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud
dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab
yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi
Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab
Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini
wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah
boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang
ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan
mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab
zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab
zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas
agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah
hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di
wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh
menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si
isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama
ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut
tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan
pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka
diharamkan.
3). Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga
berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan
wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan
Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya,
sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab
ini adalah :
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS
hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu)
pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan
Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan
Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi
Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an
diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah
Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab,
karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4. Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya
tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi
wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok
ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung
pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk
ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan
bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad
belum diutus menjadi Rasul.
C. Kesimpulan
Perkawinan lintas agama antara muslim dan
muslimah dengan non muslim musyrik pada hakikatnya diharamkam menurut ajaran
Islam (Jumhur Ulama). Namun terdapat perbedaan pendapat jika perkawinan itu
antara seorang muslimah dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Sedangkan
antara seorang muslim dengan seorang perempuan ahli kitab sebagian pendapat
membolehkan karena laki-laki berperan dan dapat memengaruhi perempuan dalam
suatu keluarga. Penulis sependapat dengan Putusan MUI tahun 1980 yang
berpendapat seperti di atas.
Kelompok pemikir liberal-pluralis semisal
Jaringan Islam Liberal (JIL) beranggapan bahwa semua agama sama dan oleh karena
itu tidak mempersoalkan perkawinan antar agama karena semua agama menurut
mereka membawa dan mengajarkan kebenaran.
Wallahu A’lamu Bis shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Naim, 2001. Dekonstruksi
Syari’ah (Terj) Bandung: Mizan.
Abdul Azis Dahlan, (Ed.) 2006. Ensiklopedi
Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiyar Baru van Hoeve.
Ahmad Shalaby, 2001. Kehidupan Sosial Dalam
Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah.
Al-Jaziri, 1969. Kitab fiqh ‘ala mazahibul
al-arba’ah, Juz IV, Beirut .
Ali Al-sabuni, 1972, Tafsir Ayat Ahkam, , juz
I Makkah: Dar Al-Qur’an Al-Karim.
Amir Syarifuddin, 2007. Garis-garis besar
Fiqh, Bogor: Kencana.
…………., 2007. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Bogor: Kencana.
Asnawi Ihsan, Warna-warni Hukum Perkawinan
beda agama, http://asnawiihsan.blokspot.com/2007/03/, di akses pada 1 Mei 2008.
Chuzaimah T. Yanggo dan .A.Hafiz Anshary,
(ed). 1996 Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK.
Departemen Agama RI, 1999 : Kompilasi Hukum
Islam. Jakarta.: Proyek Pengadaan Departemen Agama RI.
Departemen Agama RI, 2003. Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,Jakarta: Depag RI.
Ibnu Rusyd, 1986. Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid, Juz II, Mesir: Mustafa al-Babi al-Lahabi.
Kartini Kartono, 1997 , Pantologi Sosial,
Jakarta: Rajawali Press.
Muhammad Daud Ali, 2005. Hukum Islam,
Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.
Muhammad Syaltuth, t.t. Al-Fatawa,Mesir: Dar
al- Qolem.
Sayuti Thalib, 1986. Hukum Kekeluargaan di
Indonesia, Jakarta: UI Press.
Sayyid Sabiq, 1990. Fiqh As-Sunnah, Terj.
Drs. Muhammad Thalib, Bandung: PT. Al Ma’arif.
Setiawan Budi Utomo, 2007. Fiqh Aktual,
Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani.
Yusuf al-Qordawi, 1978. Huda al-Islam Fatawa
Mu’asiraoh,Kairo: Dar Afaq.
Zuhairi Misrawi, Kawin beda Agama,
www.islamemansipatoris.com . diakses pada 1 Mei 2008
No comments:
Post a Comment