BENGKULU, KOMPAS.com - Pemberlakuan edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 10 Tahun 2014 tentang Larangan Instansi Pemerintah menggelar acara di hotel bagi dunia usaha ibarat "kiamat kecil".
"Ini kiamat kecil bagi dunia usaha wisata, perhotelan, ekonomi rakyat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)," kata Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bengkulu, Sony Adnan, Rabu (24/12/2014).
Ia mengatakan, akibat kebijakan tersebut, beberapa sektor usaha mengalami gangguan cukup signifikan. Pertama, akan terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap ratusan karyawan hotel dan restoran.
"Kami tak dapat lagi membiayai karyawan. Anda akan lihat dalam dua bulan ke depan, hampir 30 persen karyawan perhotelan dan restoran di Bengkulu mengalami PHK, ini juga berlaku di semua kota di Indonesia. Ini bukan ancaman, tapi faktanya begitu," kata Sony.
Hal ini terjadi karena 50 persen pemanfaatan hotel dan restoran selama ini adalah sektor pemerintah. Sisanya baru masyarakat umum dan swasta.
Kedua, ekonomi kerakyatan mengalami gangguan. Menurut dia, selama ini, dalam operasional hotel dan restoran melibatkan banyak ekonomi rakyat, seperti pemasok sayur, telor, daging, ikan, hingga minuman dan makanan.
"Saat ini mereka tak lagi memasok ke hotel karena pesanan mulai terhenti dari pemerintah, sementara sektor swasta saat ini sedang mengalami kelesuan akibat rupiah yang terus melemah," sambungnya.
Ketiga, sektor wisata mengalami gangguan jumlah kunjungan. Dalam kegiatan pemerintah biasanya banyak mengundang narasumber dan tamu dari beberapa daerah luar Bengkulu. Biasanya, usai menggelar acara para narasumber dan tamu akan berbelanja barang-barang khas Bengkulu.
"Saat ini ekonomi kreatif wisata juga terpukul akibat kebijakan itu," bebernya.
Keempat, menurunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Khusus usaha hotel dan restoran dalam menyumbang PAD, pelaku usaha dibebankan menyumbang paling tidak 10 persen PAD. Dengan kebijakan tersebut, target dapat dipastikan tak mampu tercapai.
Kelima, menurunnya kunjungan wisata. Wisata Bengkulu mengalami penurunan karena wisata kota itu tak seperti di Bali, Yogyakarta, dan beberapa kota besar lainnya. "Solo saja teriak dengan kebijakan ini, begitu juga Bengkulu," ungkapnya.
Ia mengatakan, PHRI telah mengirimkan surat pertimbangan pada presiden dan menteri terkait agar kebijakan tersebut dicabut mengingat kondisi di lapangan dunia usaha terutama pariwisata cukup terpukul.
"Ini kiamat kecil bagi dunia usaha wisata, perhotelan, ekonomi rakyat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)," kata Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bengkulu, Sony Adnan, Rabu (24/12/2014).
Ia mengatakan, akibat kebijakan tersebut, beberapa sektor usaha mengalami gangguan cukup signifikan. Pertama, akan terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap ratusan karyawan hotel dan restoran.
"Kami tak dapat lagi membiayai karyawan. Anda akan lihat dalam dua bulan ke depan, hampir 30 persen karyawan perhotelan dan restoran di Bengkulu mengalami PHK, ini juga berlaku di semua kota di Indonesia. Ini bukan ancaman, tapi faktanya begitu," kata Sony.
Hal ini terjadi karena 50 persen pemanfaatan hotel dan restoran selama ini adalah sektor pemerintah. Sisanya baru masyarakat umum dan swasta.
Kedua, ekonomi kerakyatan mengalami gangguan. Menurut dia, selama ini, dalam operasional hotel dan restoran melibatkan banyak ekonomi rakyat, seperti pemasok sayur, telor, daging, ikan, hingga minuman dan makanan.
"Saat ini mereka tak lagi memasok ke hotel karena pesanan mulai terhenti dari pemerintah, sementara sektor swasta saat ini sedang mengalami kelesuan akibat rupiah yang terus melemah," sambungnya.
Ketiga, sektor wisata mengalami gangguan jumlah kunjungan. Dalam kegiatan pemerintah biasanya banyak mengundang narasumber dan tamu dari beberapa daerah luar Bengkulu. Biasanya, usai menggelar acara para narasumber dan tamu akan berbelanja barang-barang khas Bengkulu.
"Saat ini ekonomi kreatif wisata juga terpukul akibat kebijakan itu," bebernya.
Keempat, menurunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Khusus usaha hotel dan restoran dalam menyumbang PAD, pelaku usaha dibebankan menyumbang paling tidak 10 persen PAD. Dengan kebijakan tersebut, target dapat dipastikan tak mampu tercapai.
Kelima, menurunnya kunjungan wisata. Wisata Bengkulu mengalami penurunan karena wisata kota itu tak seperti di Bali, Yogyakarta, dan beberapa kota besar lainnya. "Solo saja teriak dengan kebijakan ini, begitu juga Bengkulu," ungkapnya.
Ia mengatakan, PHRI telah mengirimkan surat pertimbangan pada presiden dan menteri terkait agar kebijakan tersebut dicabut mengingat kondisi di lapangan dunia usaha terutama pariwisata cukup terpukul.
No comments:
Post a Comment