Kekeliruan Salafi Wahabi
Bagi pengikut aliran Salafi Wahabi mungkin mereka merasa aliran tersebut sangat baik karena memurnikan Tauhid, membersihkan bid’ah, dan menganut Islam sesuai ajaran Al Qur’an dan Hadits.
Namun kenapa banyak tentangan dari ummat Islam lainnya? Menghadapi hal itu, para Syekh Wahabi menuding itu adalah ulah Syi’ah, Ahlul Bid’ah, Sufi, dan para pelaku TBC (Tawassul, Bid’ah, dan Churafat). Para pengikutnya biasanya langsung taqlid buta dan percaya. Benarkah?
Memakai Dalil Orang Kafir dalam Memvonis Bid’ah
Wahabi memakai dalil orang kafir dalam memvonis bid’ah. Satu dalil terkenal yang sering mereka pakai adalah:
لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
Jika kita teliti, Nabi tidak pernah mengatakan itu. Di Al Qur’an pun setelah diperiksa, ternyata itu adalah ucapan orang-orang kafir yang dilontarkan terhadap orang yang beriman:
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama.” [Al Ahqaaf 11]
Jadi bagaimana mungkin kaum Wahabi bertasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir dengan mengutip ucapan orang-orang kafir sebagai dalil utama untuk memvonis ummat Islam sebagai Ahlul Bid’ah atau sesat? Bukankah itu keliru?
Wahabi pun keliru menafsirkan ayat Al Qur’an di bawah:
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” [Al Hasyr 7]
Kaum Wahabi memahami apa yang “Tidak diperintahkan” Nabi sebagai “Larangan.” Padahal di ayat di atas yang “Dilarang” yang harus kita tinggalkan. Ada pun yang tidak diperintahkan atau tidak dilarang, itu sebetulnya bukan larangan. Dari kesalah-pahaman pengambilan dalil inilah akhirnya kaum Wahabi jadi ekstrim dan sering memvonis ummat Islam sebagai Ahlul Bid’ah, Sesat, bahkan kafir yang akhirnya merusak ukhuwah Islamiyyah. Memecah-belah dan melemahkan ummat Islam. Secara tak sadar mereka justru melanggar larangan Allah dan terjebak dalam dosa.
Contoh hal yang tidak diperintahkan atau pun dilarang Nabi misalnya penyusunan kitab Al Qur’an dan juga Kitab-kitab Fiqih oleh para Imam Madzhab. Meski tak ada perintah dan tidak ada larangan, itu bukan berarti haram/bid’ah. Justru bermanfaat memudahkan ummat Islam dalam belajar Islam.
Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim (Takfir) dan Buruk Sangka
Paham kaum Wahabi ini adalah paham Takfir. Yaitu menganggap ummat Islam itu Ahlul Bid’ah, sesat, syirik, kafir, dsb. Akhirnya mereka mencaci-maki ummat Islam dengan sebutan yang mereka sendiri tidak suka:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [Al Hujuraat 11]
Sebetulnya firman Allah di atas jelas agar kita tidak mengejek sesama Muslim dengan sebutan yang tidak disukai seperti Ahlul Bid’ah, Sesat, apalagi kafir. Namun kenapa kaum Wahabi yang katanya “Menegakkan Sunnah” melakukannya?
Tak jarang juga kaum Wahabi berburuk sangka/curiga sehingga orang yang berziarah kubur kemudian berdoa kepada Allah mendoakan mayat tersebut, mereka duga sebagai berdoa kepada kuburan dan menyebutnya sebagai penyembah kuburan. Begitu pula ada yang menulis saat dia tengah berteduh di bawah pohon karena kepanasan di padang pasir kemudian berdoa kepada Allah, tiba-tiba seorang Wahabi menghardiknya: “Mengapa engkau menyembah pohon?”. Main tuduh orang sebagai penyembah pohon padahal tidak mendengar apa isi doa orang tersebut. Padahal buruk sangka itu dosa:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Al Hujuraat 12]
Jadi bagaimana mungkin orang yang berziarah kubur dicaci sebagai penyembah Kuburan padahal mereka itu sering mengucapkan tahlil: “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”? Mereka sekedar mengikuti perintah Nabi dan juga sunnah Nabi yang sering melakukan Ziarah Kubur:
Dari Buraidah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Saya telah pernah -dahulu- melarang engkau semua perihal ziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah ke kubur itu!” (Riwayat Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur, maka baiklah berziarah, sebab ziarah kubur itu dapat mengingatkan kepada akhirat.”
Dari Aisyah ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. itu setiap malam gilirannya di tempat Aisyah, beliau s.a.w. lalu keluar pada akhir malam ke makam Baqi’, kemudian mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai perkampungan kaum mu’minin, akan datang padamu semua apa-apa yang engkau semua dijanjikan besok yakni masih ditangguhkan waktunya. Sesungguhnya kita semua ini Insya Allah menyusul engkau semua pula. Ya Allah, ampunilah para penghuni makam Baqi’ Algharqad ini.”[54] (Riwayat Muslim)
Dari Buraidah r.a., katanya: “Nabi s.a.w. mengajarkan kepada mereka -para sahabat- jikalau mereka keluar berziarah ke kubur supaya seseorang dari mereka mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai para penghuni perkampungan-perkampungan -yakni kubur-kubur- dari kaum mu’minin dan Muslimin. Sesungguhnya kita semua Insya Allah menyusul engkau semua. Saya memohonkan kepada Allah untuk kita dan untukmu semua akan keselamatan.” (Riwayat Muslim)
Dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. berjalan melalui kubur-kubur Madinah lalu beliau menghadap kepada mereka -penghuni-penghuni kubur-kubur- itu dengan wajahnya, kemudian mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai para ahli kubur, semoga Allah memberikan pengampunan kepada kita dan kepadamu semua. Engkau semua mendahului kita dan kita akan mengikuti jejakmu.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.
Saat kita ziarah ke makam Nabi di Madinah pun ulama Wahabi sering curiga kalau orang-orang yang menziarahi kubur Nabi dan mendoakan Nabi sebagai menyembah Nabi sehingga sering mengusirnya. Padahal itu tidak benar.
Terkadang juga Muhammad bin Abdul Wahab terlalu ekstrim dalam menuduh ummat Islam itu syirik seperti di bawah:
Masalah tauhid, yang merupakan pondasi agama Islam mendapat perhatian yang begitu besar oleh Syekh Muhammad Abdul Wahhab. Perjuangan tauhid beliau terkristalisasi dalam ungkapan la ilaha illa Allah. Menurut beliau, aqidah atau tauhid umat telah dicemari oleh berbagai hal seperti takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC) yang bisa menjatuhkan pelakunya kepada syirik. Aktivitas-aktivitas seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka, mengusap-usap kuburan tersebut dan memohon keberkahan kepada kuburan tersebut. Seakan-akan Allah SWT sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan.
Mungkin ada beberapa ummat Islam yang syirik. Tapi apa iya mayoritas ummat Islam itu seperti di Jazirah Arab bahkan di Mekkah dan Madinah jadi syirik menyembah kuburan, pohon, dan sebagainya sehingga dia sampai memerangi mereka? Ada satu video yang mempertanyakan: “Jika ummat Islam di Mekkah dan Madinah itu Musyrik dan Kuffar sehingga dibunuh, lalu ummat Islam yang asli itu ada di mana?”:
Dijelaskan juga pada situs Arrahman.com yang mendukung Wahabi:
Pada awalnya, idenya tidak begitu mendapat tanggapan bahkan banyak mendapatkan tantangan, kebanyakan dari saudaranya sendiri, termasuk kakaknya Sulaiman dan sepupunya Abdullah bin Husain.
Muhammad bin Abdul Wahab mendapat tentangan bahkan dari kakaknya Sulaiman yang juga ulama. Bahkan ayahnya, Abdul Wahab, yang merupakan guru dari Muhammad bin Abdul Wahab (MAW) juga menentang MAW karena pemikirannya yang ekstrim. Ini tak disebut di situ, tapi di literatur lain ada sehingga sebagian ulama Aswaja menuding MAW tidak bersanad karena gurunya sendiri menentang pemikirannya. Banyak ulama yang tidak setuju sehingga MAW harus meninggalkan negerinya. Kalau Nabi Muhammad meninggalkan kota Mekkah karena kaum kafir menolak Islam kita mengerti. Tapi jika seorang “ulama” harus meninggalkan negerinya yang mayoritas Muslim beserta banyak ulama juga di situ, harusnya kita bertanya-tanya mengenai pahamnya.
Padahal menurut Nabi, Ummat Islam itu tidak akan berkumpul/sepakat dalam kesesatan. Jadi kalau ada firqoh yang menganggap mayoritas ummat Islam sesat, justru firqoh itulah yang sesat atau Khawarij:
Dari ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ أَرَادَ بِحَبْحَةِ الْجَنَّةِ فَعَلَيْهِ بِالْجَماعَةِ
“Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah”
[Shahîh, diriwayatkan Ibnu Abu 'Ashim dalam as-Sunnah (87), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/18), Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2165), Imam al-Hakim dalam Mustadrak-nya (387), dan Imam al-Ajuri dalam asy-Syariah (5)]
كُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم عَلَى ضَلاَلَةٍ
Tetaplah kalian bersama jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad di atas kesesatan.”
Sanadnya jayyid, diriwayatkan Imam Ibnu ‘Ashim dalam Sunnah-nya (85). Hadits ini diriwayatkan Imam ath-Thabrani dari dua jalan, dan salah satu jalurnya para perawinya terpercaya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Majma Zawa`id (5/219
dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ .
“Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan. “
Shahîh, diriwayatkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3950) dan al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul- Mashabih (174). Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2167), al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul-Mashabih (174), dan al-Hakim dalam Mustadrak-nya (391, 392, 393, 394, 395, 396 dan 397) dari Ibnu ‘Umar dengan lafazh: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun umatku atau umat Muhammad di atas kesesatan”. Hadits ini dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam al-Miskât (no. 173) dan terdapat shahid dari hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan at-Tirmidzi dan al-Hakim serta yang lainnya dengan sanad yang shahîh. Lihat Shahîhul Jami’, al-Albâni (1/378, no. 1848)
Di situ juga disebut bagaimana MAW bekerjasama dengan Raja Arab guna memerangi musuhnya:
Selanjutnya, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkerjasama secara sistematis dan saling menguntungkan dengan keluarga Saud untuk menegakkan Islam.
Padahal Nabi dan juga para ulama Tabi’in memerintahkan agar menjauhi para penguasa/raja:
Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ”Barang siapa tinggal di padang pasir, ia kekeringan. Barang siapa mengikuti buruan ia lalai. Dan barang siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia terkena fitnah.” (Riwayat Ahmad).
Abu Hazim (Ulama Tabi’in 140 H) mengatakan, ”Sebaik-baik umara, adalah mereka yang mendatangi ulama dan seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mencintai penguasa.”
Selain Abu Hazim, Wahab bin Munabih (110 H), ulama dari kalangan tabi’in juga pernah menyatakan agar para ulama menghindari pintu-pintu para penguasa, karena di pintu-pintu mereka itu ada fitnah, ”Kau tidak akan memperoleh dunia mereka, kecuali setelah mereka membuat musibah pada agamamu.” (Riwayat Abu Nu’aim).
Ada juga tulisan:
Gerakan al-Muwahhidun atau yang kini sering disebut sebagai gerakan “wahabi” ini menjadi ancaman bagi kekuasaan Inggris di daerah perbatasan dan Punjab sampai 1871. Ketika itu pemerintah Inggris bersekongkol untuk mengeluarkan ‘fatwa’ guna memfitnah kaum Wahhabi sebagai orang-orang kafir.
Yang jadi pertanyaan, apa benar Wahabi jadi “ancaman” bagi Inggris? Bukannya justru Wahabi itu yang bekerjasama dengan Inggris membantu Ibnu Saud untuk berontak terhadap Kekhalifahan Islam Turki Usmani?
Apa ada buku sejarah yang menceritakan Ibnu Saud dan Wahabi memerangi Inggris? Tidak ada! Yang mereka perangi adalah para penguasa Turki Usmani dan juga ummat Islam yang mereka tuding sebagai Musyrik dan Kafir. Silahkan baca:
Sanjungan bahwa berkat MAW negara-negara Islam jadi berontak terhadap penjajah seperti Inggris dan merdeka pun sangat tidak beralasan. Hingga wafatnya MAW tahun 1787 M tidak ada negara Islam yang merdeka dan bebas dari penjajahan Inggris cs. Sebagai contoh, Indonesia baru merdeka tahun 1945 atau 158 tahun setelah wafatnya MAW. Itu pun maaf bukan karena Wahabi karena Wahabi itu sangat-sangat minoritas di Indonesia.
Sebaliknya akibat Kekhalifahan Turki Usmani melemah akibat pemberontakan Ibnu Saud-MAW yang didukung senjata dan dana dari Inggris, Palestina jatuh ke tangan Inggris untuk kemudian diserahkan kepada Yahudi di tahun 1948:
Dokumen Ekspos Pendiri Saudi Yakinkan Inggris untuk Dirikan Negara Yahudi
Ini beda dengan Nabi Muhammad yang saat hidup pun sudah membebaskan kota Madinah, Mekkah dan juga jazirah Arab dari kungkungan kaum kafir dan juga Yahudi.
Lagi pula banyak yang mewaspadai gerakan Wahabi itu adalah Ulama Aswaja yang tidak ada hubungannya dengan Inggris seperti Habib Rizieq Syihab dari FPI dan Habib Munzir Al Musawa dari Majelis Rasulullah. Silahkan baca:
FPI membagi WAHABI dengan semua sektenya juga menjadi TIGA GOLONGAN ; Pertama, WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim:Pandangan Habib Munzir Al Musawa dari Majelis Rasulullah tentang Wahabi:beda dengan orang orang wahabi, mereka tak punya sanad guru, namun bisanya cuma menukil dan memerangi orang muslim.mereka memerangi kebenaran dan memerangi ahlussunnah waljamaah, memaksakan akidah sesatnya kepada muslimin dan memusyrikkan orang orang yg shalat.
Yang jelas sikap Wahabi yang sangat keras terhadap sesama Muslim dari memaki Muslim sebagai Ahlul Bid’ah, Penyembah Kuburan, Musyrik, Kafir, dsb itu justru tidak sesuai dengan perintah Allah dan Sunnah Nabi yang justru lemah-lembut terhadap sesama Muslim:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [Ali 'Imran 159]
Ummat Islam itu berkasih sayang terhadap sesama, namun keras terhadap orang-orang kafir:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” [Al Fath 29]
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al Maa-idah 54]
Jadi bagaimana mungkin mereka “MenghidupkanSunnah” jika Al Qur’an yang jelas saja sudah dilanggar?
Terlalu Ekstrim dalam Memvonis Bid’ah
Dalam hal memvonis Bid’ah pun kaum Wahabi terlalu ekstrim. Contohnya para Imam Mazhab itu boleh dikata saling berhubungan seperti Imam Malik adalah guru dari Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, sementara Imam Syafi’i adalah guru dari Imam Hambali. Toh meski Imam Syafi’i mengajarkan pengucapan niat sholat dan juga Qunut Subuh, tidak pernah Imam Malik atau pun Imam Hambali menghina Imam Syafi’i sebagai Ahlul Bid’ah yang harus dihina dan dimusuhi. Bahkan Imam Hambali malah berguru kepada Imam Syafi’i.
Banyak hal yang menurut Ulama Salafi Wahabi bid’ah, namun menurut Jumhur Ulama justru tidak bid’ah. Contohnya seperti Zikir berjama’ah, Pengajaran Sifat 20, Qunut Subuh, dsb. Nanti seusai mencap pelaku “bid’ah” sebagai Ahlul Bid’ah, lalu mereka musuhi. Ini merusak Ukhuwah Islamiyah.
Jangan terlalu gampang memvonis sesuatu hal yang baru sebagai Bid’ah. Sebaiknya pelajari sejarah dan hadits dulu sebelum begitu.
1. Zaman Nabi shalat Tarawih sendiri2. Zaman Umar jadi Khalifah, Umar mengumpulkan para sahabat untuk tarawih bersama di masjid. Itu adalah bid’ah hasanah kata Umar ra yg diaminkan para sahabat. Dan kualitas KeIslaman Umar ra beserta sahabat jauh di atas para syaikh yang ada sekarang.
2. Zaman Nabi Al Qur’an tidak berbentuk 1 kitab seperti sekarang. Namun pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar mengusulkan agar Al Qur’an dibukukan sehingga tidak tercerai-berai dan akhirnya dilupakan mengingat banyak Hafidz Qur’an yang terbunuh saat perang. Khalifah Abu Bakar ragu takut itu bid’ah. Namun desakan Umar dan juga persetujuan sahabat lainnya, akhirnya Al Qur’an dibukukan. Apakah ini bid’ah? Apakah ini sesat dan masuk neraka? Tidak bukan?
Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan orang itu dosa.
Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan orang itu dosa.
3. Kitab Hadits zaman Nabi tidak ada. Bahkan Nabi melarang sahabat untuk menulis Hadits karena dikhawatirkan tercampur dengan Al Qur’an. Namun para ulama dan ahli Hadits akhirnya membukukan Hadits dari Imam Malik dgn Al Muwaththo, hingga Imam Bukhari, Imam Muslim, dsb. Ini juga bukan bid’ah yang masuk neraka.
4. Bilal juga pernah menambah ash sholatu khoirun minan nawm pada adzan Subuh. Nabi tidak menganggap itu bid’ah.
5. Nabi Muhammad tidak pernah bersyair di Masjid, namun penyair Hasan bin Tsabit melakukannya. Nabi membolehkannya.
6. Nabi Muhammad tidak pernah bermain tombak di masjid. Namun orang-orang Habsyi melakukannya. Saat Umar ingin menimpuk orang-orang Habsyi, Nabi melarangnya. Justru Nabi menontonnya.
7. Usman mengadakan tambahan Azan ke 2 dan ke3 pada Sholat Jum’at:
Saib bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Pada masa Utsman dan orang-orang (dalam satu riwayat: penduduk Madinah) sudah banyak, ia menambahkan (dalam satu riwayat memerintahkan 1/220) azan yang ketiga[20] (dalam satu riwayat: kedua) lalu dilakukanlah azan itu di Zaura’. (Maka, menjadi ketetapanlah hal itu 1/220). Nabi tidak mempunyai muadzin kecuali satu orang. Azan Jumat itu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar.” [HR Bukhari]
Dsb.http://kabarislam.wordpress.com/2012/01/25/dzikir-berjamaah-doa-qunut-dan-sifat-20-bukan-bidah/
Tidak Bisa Menerima Perbedaan Pendapat
Salafi Wahabi tidak bisa menerima perbedaan pendapat/khilafiyah. Menurut mereka kebenaran hanya satu. Sedang yang lain adalah sesat.
Keyakinan salafi ini diperkuat oleh kaidah yang mereka gunakan “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman salafi terhadap hadits Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW bersabda: ˜Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
“Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).
Padahal jika kita membaca ayat Al Qur’an yang lain seperti Surat Al Fatihah jelas bahwa Jalan yang Lurus (Shirothol Mustaqim) adalah jalan orang Islam. Bukan jalan kaum Yahudi (yang Dimurkai Allah) dan bukan jalan kaum Nasrani (yang Sesat). Jadi insya Allah jika dia Islam dan berpegang pada Al Qur’an dan Hadits dia akan selamat.
Salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan yang selamat dan masuk syurga, sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan bid’ah dan akan masuk neraka. Hadits tersebut berbunyi :
“Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).
Dengan mengutip dua hadits tentang; satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan hanya satu jalan yang lurus, maka salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut kedua hadits tersebut. Salafi-lah satu-satunya golongan yang selamat dan masuk syurga, serta golongan yang menempuh jalan yang lurus itu. Simaklah pernyataan salafi :
“Dan orang-orang yang tetap di atas manhaj Nabi SAW, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih. Kepada mereka dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan salafi.”(Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 33, catatan kaki).
”Kami di atas manhaj yang selamat, di atas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala kebaikan “alhamdulillah-” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 76-77).
Padahal jika kita benar-benar mempelajari Sejarah dan juga Hadits-hadits Nabi yang bercerita tentang Nabi dan para Sahabat, kita tahu bahwa mereka bisa menerima adanya perbedaan dan saling menghormati selama masih dalam jalan Islam.
Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud dan Nabi Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.
Bagaimana cara Nabi menghadapi perbedaan?
Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada kita semua.
Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.”
Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
“
Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.
Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bersholawat!
Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Maalik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]
Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok ekstrim seperti Salafi Wahabi menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah laknat”.
Meski tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 hijriyah.
Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.
Jangankan manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat.
Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat Islam karena kejahilannya.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)
Jadi itulah beberapa kekeliruan dari Salafi Wahabi. Beberapa ulama seperti Habib Rizieq Syihab dari FPI dan Habib Munzir Al Musawa sudah meminta kita mewaspadai hal ini:
FPI membagi WAHABI dengan semua sektenya juga menjadi TIGA GOLONGAN ; Pertama, WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim…
Merasa Paling Benar Sendiri
Jika kita teliti Salafush Shalih yang asli seperti para Imam Madzhab yang lahir pada abad 1-3 Hijriyah, mereka tidak ada yang merasa paling benar dan tidak memaksa orang untuk memeluk Madzhab mereka.
Ini berbeda sekali dengan Muhammad bin Abdul Wahhab ulama Salaf gadungan yang lahir di tahun 1.115 Hijriyah dan para pengikutnya yang menganggap hanya Muwahhidun atau Manhaj Salafi saja yang benar sementara yang lain salah dan memaksa agar ummat Islam lainnya menerima “kebenaran” versi mereka.
Gemar Berdebat Masalah Furu’iyah dan Khilafiyah
Islam sebenarnya tidak menganjurkan perdebatan karena bisa merusak persaudaraan. Namun kaum Salafi Wahabi gemar sekali berdebat sehingga akhirnya kata-kata Ahlul Bid’ah, Sesat, Musyrik, Kafir terlepas dari mulut mereka yang sayangnya ditujukan kepada sesama Muslim.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya:
“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah.”
“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
Muhammad ibn Idris as-Syafi’I rahimahullah
Imam as-Syafi’I rahimahullah berkata:
“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.” [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]
“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.” [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]
Referensi:
Pandangan Habib Munzir Al Musawa dari Majelis Rasulullah tentang Wahabi:
beda dengan orang orang wahabi, mereka tak punya sanad guru, namun bisanya cuma menukil dan memerangi orang muslim.
mereka memerangi kebenaran dan memerangi ahlussunnah waljamaah, memaksakan akidah sesatnya kepada muslimin dan memusyrikkan orang orang yg shalat.
Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya di antara ummatku ada orang-orang yang membaca Alquran tapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam secepat anak panah melesat dari busurnya. Sungguh, jika aku mendapati mereka, pasti aku akan bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum Aad. (Shahih Muslim No.1762)
Muhammad bin Abdul Wahab Penegak Panji Tauhid
usamah
Bersama Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah. Nantinya sebagai asas dan pondasi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia)
Bersama Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah. Nantinya sebagai asas dan pondasi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia)
Hidayatullah.com–Pada abad 12 H/17 M keadaan umat di jazirah Arab sangat jauh menyimpang dari ajaran Islam, terutama dalam aspek akidah. Di sana-sini banyak praktik syirik dan bid’ah. Para ulama sulit mengatasi. Usaha mereka hanya sebatas di lingkungan saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang.
Jumlah pelaku syirik dan bi’dah begitu banyak, di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktik-praktik tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam sekarang ini.
Dari segi aspek politik, di jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah. Terlebih khusus di daerah Nejd. Perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.
Para penguasa makmur dengan memungut upeti dari rakyat jelata. Mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat menggoyang kekuasaan mereka. Para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang akidah dan agama dengan benar. Dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang akidah atau agama yang benar.
Pada saat itu di Nejd lahir sang pengibar bendera tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktik-praktik syirik terjadi di sana-sini, seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung, dan peramal.
Di Nejd terdapat kampung bernama Jubailiyah. Di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab. Manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah dan meminta berbagai hajat. Begitu pula di kampung ‘Uyainah, terdapat sebuah pohon yang diagungkan. Banyak orang mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum mendapatkan pasangan hidup.
Penyimpangan bahkan juga terjadi di Hijaz (Mekkah dan Madinah), walaupun penyebaran ilmu agama berada di dua kota suci ini. Di sini tersebar kebiasaan bersumpah dengan selain Allah. Juga kebiasaan menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan, serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya. Jika di dua kota suci itu saja kesyirikan sudah begitu menyebar, apalagi di kota-kota sekitarnya, ditambah lagi dengan kurangnya ulama. Pasti lebih memprihatinkan.
Hal tersebut kemudian disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’, “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu. Kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya. Sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya”. Dalilnya firman Allah,
“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa ketika mereka berada dalam ancaman tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka. Namun saat mereka telah selamat sampai di daratan, mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik setiap saat dalam kondisi apa pun.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab lahir tahun 1115 H di ‘Uyainah, salah satu perkampungan daerah Riyadh. Ia hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal dengan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf). Ali Musyarraf ini cabang atau bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf, kakek beliau ke-9 menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf.
Muhammad bin Abdul Wahab telah menampakkan semangat thalabul-ilmi sejak usia belia. Beliau memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak sebayanya. Beliau tidak suka dengan main-main dan perbuatan yang sia-sia. Beliau mulai thalabul-ilmi dengan mendalami al-Qur’anul Karim, sehingga tidak aneh kalau sudah hafal ketika umur 10 tahun.
Yang demikian itu terjadi karena banyak faktor mendukungnya. Di antaranya semangat yang sangat menggebu-gebu dalam menuntut ilmu, serta keadaan lingkungan keluarga yang benar-benar mendorong dan memicu beliau untuk terus-menerus menuntut ilmu. Dan Syaikh Abdul Wahab-lah guru dan sekaligus orang tua beliau yang pertama-tama mencetak kepribadian beliau.
Dalam satu suratnya kepada temannya, Syaikh Abdul Wahab berkata, “Sesungguhnya dia (Muhammad bin Abdul Wahab) memiliki pemahaman yang bagus. Kalau seandainya dia belajar selama satu tahun niscaya dia akan hafal, mapan serta, menguasai apa yang dia pelajari. Aku tahu bahwasanya dia telah ihtilam (baligh) pada usia dua belas tahun. Dan aku melihatnya sudah pantas menjadi imam, maka aku jadikan dia sebagai imam shalat berjamaah karena ma’rifah dan ilmunya tentang ahkam. Dan pada usia balighnya itulah aku nikahkan dia. Kemudian setelah nikah, dia meminta izin kepadaku untuk berhaji, maka aku penuhi permintaannya dan aku berikan segala bantuan demi tercapai tujuannya tersebut. Lalu berangkatlah dia menunaikan ibadah haji, salah satu rukun dari rukun-rukun Islam.”
Berguru pada Ulama Haramain
Setelah berhaji beliau belajar pada para ulama Haramain (Makkah dan Madinah) selama lebih kurang dua bulan. Kemudian setelah itu kembali lagi ke daerah Uyainah. Setelah pulang dari haji beliau terus memacu belajar. Beliau belajar dari ayah yang sekaligus guru pelajaran Fiqih Hambali, tafsir, hadits, dan tauhid.
Tidak berapa lama kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menunaikan ibadah haji kedua kalinya. Kemudian menuntut ilmu pada para ulama Madinah Al-Munawarah. Di Madinah beliau belajar dengan serius, dan Madinah saat itu adalah tempat berkumpulnya ulama dunia. Di antara guru beliau yang paling beliau kagumi dan senangi adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Setelah beliau merasa cukup menuntut ilmu dari para ulama Madinah al-Munawwarah, maka beliau kembali lagi ke kampung halaman, Uyainah.
Setahun kemudian beliau memulai berkelana thalabul-ilmi. Negeri yang dicita-citakan untuk menuntut ilmu adalah Syam. Kota Damaskus saat itu sebuah kota yang sarat akan kegiatan keislaman. Di sana terdapat sebuah madrasah yang memberikan keilmuan tentang madzhab Hambali, dan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan tersebut. Namun karena perjalanan dari Najd menuju Damaskus secara langsung sangat sulit, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pergi menuju Bashrah (Irak). Pada saat itu beliau berkeyakinan bahwa perjalanan dari Bashrah menuju Damaskus sangatlah mudah.
Setelah di Bashrah, ternyata apa yang beliau yakini sementara itu tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perjalanan dari Basrah menuju Damaskus yang semula dianggap mudah, ternyata sulit. Maka bertekadlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tinggal di Bashrah. Beliau belajar fiqih dan hadits pada sejumlah ulama, di antaranya bernama Syaikh Muhammad al-Majmu’i. Di samping ilmu fiqih dan hadits beliau juga mendalami ilmu Qawaidul-Arabiyyah, sehingga beliau betul-betul menguasainya. Bahkan selama tinggal di Bashrah beliau sempat mengarang beberapa kitab yang berkenaan dengan Qawaidul Lughah al-Arabiyyah.
Ternyata tidak semua orang yang ada di Bashrah senang terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan ulama-ulama yang sepemikiran dengan beliau, khususnya para ulama suu’. Karena ulah dan permusuhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab itulah, akhirnya beliau dengan berat hati meninggalkan negeri Bashrah.
Kemudian beliau pergi menuju suatu tempat bernama az-Zubair. Setelah perjalanan beberapa saat di sana, beliau melanjutkan perjalanan menuju al-Ahsaa’. Di daerah tersebut beliau melanjutkan studinya dengan belajar ilmu agama pada para ulama al-Ahsaa’. Di antara guru-guru beliau yang ada di al-Ahsaa’ tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif, serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Dan memang Ahsaa’ saat itu merupakan gudangnya ilmu sehingga orang-orang Najd dan orang-orang sebelah timur jazirah Arab berdatangan ke Ahsaa’ untuk menuntut ilmu.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab melanjutkan kelana thalabul-ilmi ke daerah Haryamala dan tiba di sana pada tahun 1115H. Kebetulan ayah beliau yang tadinya menjadi qadhi di Uyainah, telah pindah ke daerah tersebut. Maka berkumpullah beliau dengan ayahnya di sana.
Tapi baru dua tahun bertemu dan berkumpul dengan orang tua, Syaikh Abdul Wahab bin Sulaiman meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1153H. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menggantikan ayahnya dalam melaksanakan segala aktivitasnya di negeri Haryamala tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat nama beliau mulai tersohor. Sehingga orang-orang pun berdatangan ke Haryamala menuntut ilmu pada beliau. Bahkan para pemimpin negeri di sekitar Haryamala pun menerima ajakan dan dakwah beliau. Sehingga tidak aneh kalau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hanya dua tahun tinggal di Haryamala (sepeninggal ayahnya) demi menyambut ajakan dan tawaran Amir negeri Uyainah, Utsman bin Ma’mar untuk tinggal di negeri Uyainah, negeri kelahiran beliau.
Amir Uyainah, Utsman bin Muhammad bin Ma’mar sangat gembira dengan kedatangan beliau. Bahkan dia berkata kepada Syaikh, “Tegakkanlah dakwah di jalan Allah dan kami senantiasa akan membantumu.” Maka mulailah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sibuk dengan urusan dakwah, ta’lim, serta mengajak manusia kepada kebaikan dan saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah masyhur di kalangan penduduk Uyainah. Mereka datang ke tempat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk thallabul ilmi, bahkan penduduk negeri sebelah pun datang ke Uyainah untuk belajar kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Pada suatu hari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menemui Amir Uyainah. Beliau berkata, “Wahai Amir (Utsman bin Muhammad bin Ma’mar), izinkanlah saya untuk menghancurkan kubah Zaid bin Khathab, karena sungguh kubah tersebut dibangun dalam rangka menentang syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Ta’ala tidak akan ridha selama-lamanya dengan amalan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah melarang dijadikannya kuburan sebagai masjid. Kubah Zaid ini telah menjadi fitnah bagi manusia dan mengubah aqidah mereka. Oleh karena itu wajib bagi kita menghancurkannya.”
Kemudian Amir Uyainah menjawab, “Silakan kalau engkau memang menghendaki yang demikian itu.” Lalu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab memohon kepada Amir Uyainah agar beliau dibantu oleh tentara Uyainah, karena ditakutkan akan adanya perlawanan dari penduduk desa Jabaliyah, desa terdekat dari kubah Zaid bin Khathab.
Maka keluarlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bersama 600 tentara Uyainah, dan di tengah-tengah mereka ada Utsman bin Muhammad bin Ma’mar. Setelah penduduk Jabaliyah mendengar kabar bahwa Kubah Zaid bin Khathab akan dihancurkan, maka serempak mereka berniat mempertahankan kubah tersebut. Tapi kubah Zaid bin Khathab yang sudah lama mereka agung-agungkan dan sembah, berhasil dihancurkan. Demikian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, beliau selalu memberantas hal-hal yang berbau syirik dan hal-hal yang mengarah kepada kesyirikan.
Beliau pun menegakkan hukuman had (hukuman cambuk, rajam, atau potong tangan bagi yang berhak). Sehingga, sampailah berita tentang beliau ini ke telinga Amir Al-Ahsaa’, yakni Sulaiman bin Urai’ir al-Khalidi, dan para pengikutnya dari bani Khalid. Kabar yang dipahami oleh mereka bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang yang suka menghancurkan kubah dan suka merajam wanita. Akhirnya dia berkirim surat kepada Amir Uyainah agar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dibunuh. Kalau tidak, maka dia tidak akan menyerahkan pajak emas yang biasa diberikan kepada Amir Uyainah dan dia pun akan menyerang negeri Uyainah.
Rasa cemas pun menghantui diri Amir Uyainah. Akhirnya dia menemui Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab seraya berkata, “Wahai Syaikh sesungguhnya Amir Al-Ahsaa’ telah menulis surat kepadaku begini dan begini. Dia menginginkan agar kami membunuhmu. Kami tidak ingin membunuhmu! Dan kami pun tidak berani dengan dia. Tiada daya dan upaya pada kami untuk menentangnya. Oleh karena itu kami berul-betul mengharap Syaikh agar sudi meninggalkan negeri Uyainah ini.”
Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, “Wahai Amir, sesungguhnya apa yang aku dakwahkan ini adalah agama Allah dan realisasi kalimat La ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Maka barangsiapa yang berpegang teguh dengan agama ini serta menegakkannya di bumi Allah ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolongnya dan memberinya kekuatan serta menjadikan dia sebagai penguasa di negeri para musuhnya. Jika engkau bersabar dan beristiqamah serta mau menerima ajaran ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolongmu, menjagamu dari Amir Al-Ahsaa’, dan yang lainnya dari musuh-musuhmu, serta Allah Ta’ala akan menjadikanmu sebagai penguasa atas negerinya dan keluarganya.”
Kemudian Amir Uyainah berkata lagi, “Wahai Syaikh, sesungguhnya kami tiada daya dan upaya untuk memeranginya dan kami tiada mempunyai kesabaran untuk menentangnya.” Maka tiada pilihan lain bagi Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab, kecuali harus keluar dan meninggalkan negeri Uyainah, kampung halaman beliau sendiri.
Tempat yang paling cocok dan sesuai bagi kelancaran dakwah beliau selanjutnya adalah negeri Dir’iyyah. Hal ini karena negeri Dir’iyyah semakin hari semakin kuat dalam hal ketentaraan. Terbukti dengan direbutnya kembali kekuasaan yang selalu dirongrong oleh Sa’d bin Muhammad, pemimpin Bani Khalid. Di sisi lain, hubungan antara para pemimpin Dir’iyyah dengan pemimpin Bani Khalid kurang harmonis. Maka di saat pemimpin Bani Khalid bersekongkol dengan Amir Uyainah untuk mengeluarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di saat itu pula Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ingin bergabung dengan para pemimpin Dir’iyyah.
Tapi sebab yang terpenting kepergian beliau menuju negeri Dir’iyyah adalah karena dakwah yang beliau sebarkan selama ini mendapat sambutan yang hangat dari para pemimpin negeri tersebut. Di antara mereka adalah keluarga Suwailin, kedua saudara Amir Dir’iyyah (Tsinyan dan Musyairi), dan juga anaknya yang bernama Abdul Aziz.
Di saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berada di rumah keluarga Suwailin, datanglah Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud atas anjuran istrinya untuk menyambut kedatangan Syaikh Muhammad. Akhirnya terwujud suatu kesepakatan bersama untuk saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah semaksimal mungkin. Dan kesepakatan inilah yang nantinya sebagai asas dan pondasi bagi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia).
Sebagian dari para penulis ada yang berpendapat bahwa dari kesepakatan itu pula tercetuslah suatu pernyataan, urusan pemerintahan dipikul oleh Muhammad bin Sa’ud dan keturunannya, sedang urusan agama (diniyyah) di bawah pengawasan dan bimbingan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab beserta keturunannya. Namun nampaknya pernyataan yang seperti ini belum pernah ada, hanya saja kebetulan keturunan Muhammad bin Sa’ud sangat berbakat dalam mengendalikan urusan pemerintahan, demikian juga keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat mumpuni untuk melanjutkan perjuangan beliau, sehingga hal ini terkesan sudah diatur sebelumnya, padahal hanya kebetulan saja.
Demikianlah, Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab dan Amir Dir’iyyah berada di atas kesepakatan yang telah mereka sepakati bersama sampai mereka pergi ke Rahmatullah. Dan selanjutnya diteruskan oleh keturunan mereka masing-masing di kemudian hari. [berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
k3nj1:
Untuk melengkapi latar belakang dan sejarah Wahabi :
1701 : Muhammad Bin Abdul Wahab dilahirkan di Uyainah Nejd.
1713an keatas : Pergi ke Basrah untuk menuntut ilmu, disana Muh. Bin Abdul Wahab bertemu Mr. HEMPHER mata mata Inggris yang mengaku sbg Muslim dari Turki yang punya misi mencari kelemahan untuk menghancurkan Khilafah Turki Otoman dari dalam.
Hempher menggunakan Muh Bin Abdul Wahab sebagai boneka penyebaran mazhab baru yang “bebas” dengan dalih kebebasan IJTIHAD “mengkaji langsung dari Qur’an dan Hadis” walaupun menyelisihi pemahaman para sahabat, para imam mazhab yg 4 dan para ulama muktabar.
Hempher menjanjikan dukungan dana dan senjata dari Inggris bagi Imam Mujtahid yang baru muncul ini.
Tujuan utama Hempher adalah agar Muh.Bin Abdul Wahab mencetuskan revolusi pemberontakan melepaskan diri terhadap Khilafah Islam Turki Ottoman.
Dengan agenda tersembunyi akan melakukan pemberontakan, dibangunlah doktrin2 baru untuk melegeslasi tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap pejabat pemerintah Turki Ottoman dan semua orang yang tidak mendukung revolusi wahabi, yaitu :
Membuat ajaran baru yang mudah meng KAFIR kan kaum Muslimin, sebagai alasan untuk menghalalkan darahnya apabila tidak mau bergabung dengan gerakan Wahabi.
Di Basrah itulah dimulai ajaran-ajaran TAKFIR nya disebar luaskan. Tentu saja PERKARA BARU nya itu ditentang oleh ulama-ulama setempat.
1726 : Dakwah di Huraymilah dan menyebarkan Perkara Baru ajaran takfir nya, diusir oleh masyarakat setempat.
1728 : Dakwah di Uyainah, mendapat dukungan dari Amir Utsman penguasa Uyainah, mulai melakukan perusakan dan pembongkaran kubah makam orang orang soleh. Tindakan dan ajarannya yang ekstrem mendapat kecaman dari penguasa wilayah yang lain. Belakangan akhirnya Amir Utsman menarik dukungannya dan mengusirnya.
Hempher yang selalu mem-back up dari belakang layar, akhirnya mengatur pertemuan dengan Muhammad Bin Su’ud penguasa Di’riyah.
1744 : Bergabung dengan Muhammad Bin Saud penguasa Di’riyah, semakin gencar menyebarkan doktrin2 WAHABI, dan mempraktekkan tindakan tindakan kekerasan dalam menerapkan dan memaksakan ajaran Wahabi.
1765 : Muhammad Bin Saud peguasa Di’riyah meninggal dunia, digantikan oleh Abdul Azis bin Muhammad Al Saud.
1792 : Dengan dukungan senjata dan dana dari Inggris yang difasilitasi oleh Hempher, Revolusi Wahabi dibawah pimpinan Abdul Azis Bin Su’ud berhasil menguasi : Riyadh, Kharj, dan Qasim di wilayah Arabia Tengah
1793 : Muhammad Bin Abdul Wahab wafat
mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu. Para pengikut Syi`ah di kawasan ini, yang jumlahnya cukup banyak, dipaksa untuk menyerah dan mengikuti Wahhabisme atau dibunuh.
1797 : Menyerbu Teluk Persia, Oman, Qatar, Bahrain.
1802 : Menyerbu Thaif, dilanjutkan menyerbu Karbala Irak, membunuh 2.000-an pengikut Syi`ah yang sedang bersehbahyang sambil merayakan Muharram. Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka menghancurkan makam-makam Ali, Husayn, imam-imam Syi`ah, dan khususnya kepada makam puteri Nabi, Fatimah.
1803 : Menyerbu Mekkah
1804 : Menyerbu Madinah
Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan dibagi-bagi. Pada saat Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang.
1806 : Abdul Azis Bin Su’ud meninggal dunia digantikan Abdullah bin Sa’ud.
1811 : Turki Ottoman mulai mengirimkan pasukan untuk memadamkan revolusi pemberontakan kaum Wahabi.
1812 : Pasukan Turki Ottoman dari Mesir berhasil menguasai Madinah.
1815 : Kembali pasukan Turki Ottoman dari Mesir menyerbu : Riyadh, Mekkah dan Jeddah.
1818 : Di’riyah, ibukota pusat gerakan Revolusi pemberontakan Wahabi berhasil dikuasai pasukan Khilafah Islam Turki Ottoman. Pemimpin Wahabi saat itu Abdullah bin Sa’ud tertangkap, dibawa ke Istambul dan dihukum gantung disana sebagai pimpinan pemberontakan.
1821 : Tentara Khikafah Islam Turki Ottoman ditarik dari Arabia
1824 : Turki Bin Abdullah, yang bapaknya dihukum gantung di Turki mengambil alih kepemimpinan kaum Wahabi menduduki Riyadh.
1830 : Meluaskan penaklukan ke daerah `Aridh, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr Aflaj dan Hasa.
1834 : Turki bin Abdullah dibunuh oleh konspirasi internal keluarga Saud yang dipimpin oleh saudara sepupunya sendiri, yg diangkat sbg walikota Manfuhah yang bernama Mishari. Setelah mengalami konflik antar sesama klan Saud, Faisal bin Turki berhasil naik menjadi Penguasa baru kaum Wahabi.
1837 : Faisal bin Turki Al Saud, karena menolak membayar upeti ke Mesir, diringkus oleh Otoritas Turki Ottoman dan dibawa ke Mesir.
1863 : Faisal bin Turki Al Saud berhasil melarikan diri dari Mesir, kembali berkuasa di Riyadh tapi tetap mengakui kekuasaan Khilafah Islam Turki Ottoman dan rutin membayar upeti ke Mesir.
1865 : Faisal bin Turki Al Saud meninggal, anak-anaknya dari isteri yang berbeda-beda terlibat perebutan kekuasaan.
1871 : Sa’ud bin Faisal keluar sebagai pemenang dan berkuasa memimpin teritorial kaum Wahabi.
1875 : Sa’ud bin Faisal meninggal, kembali terjadi perebutan kekuasaan.
1887 : Abdullah Al Saud meminta bantuan kepada Muhammad bin Rasyid penguasa Ha’il. Laskar Klan Rasyid setelah membantu Abdullah dan berhasil menyingkirkan pesaing-pesaingnya akhirnya justeru menangkap Abdullah dan menguasai Riyadh dengan mengatasnamakan sebagai wali dari Turki Ottoman.
1889 : Abdurrahman Al Saud, salah satu walikota dibawah kendali Al Rasyid memberontak tetap berhasil ditumpas oleh Muhammad Bin Rasyid, Abdurrahman melarikan diri keluar dari Riyadh.
1893 : Abdurrahman Al Saud menetap di Kuwait dibawah perlindungan kekuasaan Klan Al Sabah dibawah protektorat Inggris berdasarkan traktat tahun 1899.
1902 : Abdul Azis bin Abdurrahman Al Saud yang merengek minta bantuan Inggris berusaha merebut kekuasaan di Riyadh dari Klan Rasyid yang didukung Khilafah Turki Ottoman. Mulanya Inggris meragukan kemampuan Abdul Azis, tapi Abdul Azis meyakinkan Inggris bahwa metodenya adalah murni gerakan politik-militer yang akan “membunuh semuanya” yang menentangnya, tidak perduli meskipun Moslem.
1906 : Abdul Azis bin Abdurrahman Al Saud yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Saud dengan dukungan penuh dari Inggris berhasil menguasai QASIM, yang mendekati pusat pemerintahan Klan Rasyid di Nejd.
1913 : Hasa yang banyak penganut SYIAH dikuasai. Ibn Sa`ud mengadakan perjanjian dengan ulama Syiah yang menetapkan bahwa Ibn Sa`ud akan memberikan mereka kebebasan menjalankan keyakinan mereka dengan syarat mereka patuh kepada Ibn Sa`ud. Pada saat yang sama, Syiah tetap dianggap sebagai kalangan Rafidlah yang KAFIR.
1915 : Ditengah berkecamuknya perang dunia ke-I, Pada tanggal 26 Desember 1915, Ibn Sa`ud menyepakati traktat dengan Inggris. Berdasarkan traktat ini, pemerintah Inggris mengakui kekuasaan Ibn Sa`ud atas Najd, Hasa, Qatif, Jubail, dan wilayah-wilayah yang tergabung di dalam keempat wilayah utama ini. Apabila wilayah-wilayah ini diserang, Inggris akan membantu Ibn Sa`ud. Traktat ini juga mendatangkan keuntungan material bagi Ibn Sa`ud. Ia mendapatkan 1000 senapan dan uang £20.000 begitu traktat ditandatangani. Selain itu, Ibn Sa`ud menerima subsidi bulanan £5.000 dan bantuan senjata yang akan dikirim secara teratur sampai tahun 1924.
Dokumen diatas menjelaskan : sebagai imbalan bantuan dan pengakuan Inggris akan kekuasaannya, Ibn Sa`ud menyatakan tidak akan mengadakan perundingan dan membuat traktat dengan negara asing lainnya. Ibn Sa`ud juga tidak akan menyerang ke, atau campur tangan di, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Oman – yang berada di bawah proteksi Inggris. Ibn Saud juga berjanji membiarkan berdirinya negara Yahudi di Palestina yang dibidani Inggris. Traktat ini mengawali keterlibatan langsung Inggris di dalam politik Ibn Sa`ud.
1916 : Perjanjian penentuan batas wilayah. Komisioner tinggi Inggris Sir Percy Cox dengan mengambil kertas dan pena menentukan batas2 wilayah kerajaan2 di Timur Tengah sebagai kerajaan2 nasional yang berdaulat lepas dari Khilafah Turki Ottoman.
Sementara itu, saingan Ibn Sa`ud di Najd, Ibn Rasyid, tetap bersekutu dengan Khilafah Usmaniah. Ketika Kesultanan Usmani kalah dalam Perang Dunia I bersama-sama dengan Jerman, klan Rasyidi kehilangan sekutu utama. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, Rasyidi dilanda persaingan internal di bidang suksesi. Perang antara Ibn Sa`ud dan Ibn Rasyid sendiri tetap berlangsung selama PD I dan sesudahnya.
1917 : Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour menerbitkan deklarasi Balfour kepada Lord Rothschild seorang aristocrat dan miliuner Yahudi tgl. 2 Nopember 1917 yang menjanjikan berdirinya negara Yahudi di Palestina.
Pada tanggal 11 Desember 1917, Inggris dibawah pimpinan Jenderal Edward Allenby menduduki Palestina.
1921 : Setelah berbulan-bulan dikepung, pada tanggal 4 November 1921, Ha’il, ibukota Klan Rasyidi, jatuh ke tangan Ibn Sa`ud yang dibantu Inggris melalui dana dan persenjataan. Penduduk oase subur di utara itu pun mengucapkan bay`ah ketundukan kepada Ibn Sa`ud.
1922 : Asir, wilayah di Hijaz selatan dikuasai Ibn Saud.
1924 : Mekkah dan Madinah dikuasai.
1925 : Jeddah dikuasai, di tahun ini Ibnu Saud memproklamirkan diri sebagai RAJA HIJAZ
1926 : Ibnu Saud memproklamirkan diri sebagai RAJA HIJAZ dan SULTAN NEJD. Agen intelejen Inggris yang bernama Harry St. John Pilby tinggal di Jeddah sebagai penasehat dan penghubung dengan pemerintah Inggris. Pada tahun 1930 Philby resmi masuk menjadi anggota dewan penasihat pribadi Raja
1927 : Perjanjian umum Inggris-Arab Saudi yang ditandatangani di Jeddah (20 Mei 1927). Perjanjian itu, yang dirundingkan oleh Clayton, mempertegas pengakuan Inggris atas ‘kemerdekaan lengkap dan mutlak’ Ibnu Sa‘ud, hubungan non-agresi dan bersahabat, pengakuan Ibnu Sa‘ud atas kedudukan Inggris di Bahrain dan di keemiran Teluk, serta kerjasama dalam menghentikan perdagangan budak. Dengan perlindungan Inggris ini, Abdul Aziz (yang dikenal dengan Ibnu Sa‘ud) merasa aman dari berbagai rongrongan.
1928 : Suku Duwais yang tidak senang terhadap sikap politik Ibnu Saud yang terlalu pro Barat dan menyetujui berdirinya Israel di Palestina melakukan pemberontakan. Dengan bantuan angkatan udara Inggris dilakukan pengeboman dan penumpasan pemberontakan suku Duwaish
1932 : Ibnu Saud memproklamrikan berdirinya Kerajaan Saudi Arabia (Al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su‘udiyah) dengan wilayah kekuasaan yang sampai sekarang ini dikenal sebagai Kerajaan SAUDI ARABIA.
1933 : Ditemukan minyak di Wilayah Arab Saudi, Standart Oil Company dari California memperoleh konsesi selama 60 tahun. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company pada tahun 1934. Pada mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan Saudi. Namun, setelah melihat potensi besar minyak negara tersebut, AS dengan agresif berusaha merangkul Saudi.
1941 : Untuk kepentingan minyak, secara khusus wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt (April 1941) untuk mendorong pemerintah AS memberikan pinjaman utang kepada Saudi. Utang inilah yang kemudian semakin menjerat negara tersebut menjadi ‘budak’ AS. Pada tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS memberikan pinjaman kepada Saudi sebesar $10 juta dolar. Tidak hanya itu, AS juga terlibat langsung dalam ‘membangun’ Saudi menjadi negara modern, antara lain dengan memberikan pinjaman sebesar $100 juta dolar untuk pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan ibukota dengan pantai timur dan barat. Tentu saja, utang ini kemudian semakin menjerat Saudi.
1943 : Konsesi ijin bagi AS menempatkan pangkalan militer di Arab Saudi yang terus diperpanjang sampai sekarang.
1948 : Deklarasi berdirinya Israel pada tanggal 14 Mei 1948 yang dibacakan oleh Perdana Menteri David Ben Gurion di Tel Aviv.
Proklamasi Israel itu ditentang oleh 5 negara Arab : Arab Saudi, Suriah, Mesir, Trans-Yordania, Libanon dan Irak yang mengakitbatkan pecahnya perang Arab-Israel pertama sepanjang tahun 1948-1949.
Namun perang ini adalah setengah hati, karena negara2 Arab sendiri sudah terikat traktat dengan Inggris melalui Perjanjian Penentuan Batas Wilayah yang ditentukan oleh Komisioner Tinggi Inggris Sir Percy Cox tahun 1916.
Disamping itu juga telah adanya janji para penguasa negara Arab bentukan Inggris untuk membiarkan berdirinya Israel di Palestina sebagai imbalan atas jasa Inggris yang telah membantu berkuasanya para Raja boneka Inggris di masing2 negara Arab.
1953 : Raja Abdul Azis bin Abdurrahman Al Saud (Ibn Saud) meninggal digantikan oleh Raja Saud bin Abdul Azis.
1956 : Perang Arab-Israel kedua, tentara Israel yang dibantu pasukan Inggris dan Perancis menyerbu Mesir dan menduduki Sinai. Perang ini dipicu karena Nasionalisasi Terusan SUEZ oleh pemerintahan Gamal Abdul Nasser, dimana saham terbesar terusan SUEZ dimiliki oleh Inggris dan Perancis.
1964 : Raja Saud meninggal digantikan oleh Faisal Bin Abdul Azis.
1967 : Perang “enam hari” Arab-Israel ketiga, Israel menyerang Mesir, Suriah dan Yordania, menyusul penarikan mundur pasukan PBB dari Sinai dan setelah Mesir menutup Teluk Aqoba. Dalam perang tersebut, Israel berhasil merebut Gurun Sinai, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan dataran tinggi Golan. Dengan jatuhnya wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza ke tangan Israel, berarti seluruh wilayah yang di sediakan bagi negara Arab Palestina sesuai dengan rencana PBB, sekarang sudah di kuasai oleh Israel seluruhnya.
1973 : Perang “Yomkhipur” Mesir merebut Sinai dan Syria merebut Dataran Tinggi Golan namun Israel dapat memukul balik. Negara2 Arab melakukan embargo minyak untuk menekan Israel dan negara2 Barat yang mendukungnya.
1975 : Raja Faisal meninggal digantikan oleh Khalid bin Abdul Azis.
1978 : Perjanjian Camp David, Israel mengembalikan Sinai kepada Mesir. Timbul polemik dan pro-kontra diantara negara2 Arab terkait nasib bangsa Palestina yang tidak menentu.
1982 : Raja Khalid meninggal digantikan oleh Raja Fahd bin Abdul Azis.
Israel menyerang Libanon untuk mengamankan perbatasannya dengan Syria.
1987 : Gerakan Intifada, perlawanan bersenjata rakyat Palestina dibawah komando HAMAS salah satu faksi dari PLO.
1991 : Perang Teluk I, Amerika menyerang Irak yang menganeksasi Kuwait. Pasukan Amerika didatangkan ke Pangkalan militer AS di Dahran Arab Saudi.
Keluarga Saud mulai menamkan investasi yang besar di AS,khususnya pada perusahaan-perusahaan keluarga BUSH.
dana sebesar 1,4 Milliar Dollar AS per tahun diberikan kerajaan Arab Saudi untuk menyokong kepemimpinan George W. Bush. Investasi sebesar 860 Milyar Dollar ditanam pemerintahan Arab Saudi di Amerika dan sebesar 300 Trilyun Dollar AS (senilai dengan 2.805.000.000.000.000.000 rupiah) uang Arab Saudi disimpan di Bank AS
dana sebesar 1,4 Milliar Dollar AS per tahun diberikan kerajaan Arab Saudi untuk menyokong kepemimpinan George W. Bush. Investasi sebesar 860 Milyar Dollar ditanam pemerintahan Arab Saudi di Amerika dan sebesar 300 Trilyun Dollar AS (senilai dengan 2.805.000.000.000.000.000 rupiah) uang Arab Saudi disimpan di Bank AS
1996 : DR. Aidh Abdullah Al Qorni (penulis LA TAHZAN) dipenjara karena tulisannya yang mengkritik pemerintah.
2001 : Peristiwa 9/11 pengeboman WTC
2003 : Perang Teluk kedua, AS menyerbu dan menduduki Irak.
2005 : Raja Fahd meninggal, digantikan oleh Abdullah bin Abdul Azis.
Putra Mahkota Pangeran Sultan Bin Abdul Azis telah berumur 86 tahun dalam kondisi sakit-sakitan.
Bila Pangeran Sultan meninggal dunia lebih dahulu dari Raja, yang dipersiapkan sebagai pengganti putera mahkota adalah menantu Raja Abdullah yaitu : Pangeran Faisal Bin Abdullah.
Raja Abdullah mengganti beberapa pejabat teras pemerintahannya yang berideologi Wahhabi dengan orang-orang yang dianggap lebih toleran secara religi, berpikiran reformis dan dengan ikatan kerja yang dekat dengan raja.
Penunjukkan Pangeran Faisal bin Abdullah sebagai Menteri Pendidikan Arab Saudi memang tepat. Karena kementerian ini sebelumnya kurikulum yang memberi doktrin pada pelajar tentang ideologi kebencian dan kekerasan terhadap agama lain (Wahhabi). Mereka mengajarkan sebagai bagian dari perintah agama penanaman kebencian terhadap selainnya bahkan kepada Ahlu Sunnah dan Syiah. Seperti yang ditunjukkan Laporan Juli 2008, budaya kebencian terhadap non-Wahhabi masih tetap ada dalam buku-buku bacaan kajian Islam terbitan pemerintah Arab Saudi. Buku-buku bacaan ini diwajibkan di seluruh sekolah umum Arab Saudi dan mendominasi kurikulum Saudi dalam kelas-kelas yang lebih tinggi. Kementerian memuat isi teks ini secara penuh dalam situsnya dan penguasa Wahhabi mengirimnya gratis ke masjid-masjid dan sekolah-sekolah dan perpustakaan muslim di seluruh dunia.
Pangeran Faisal bin Abdullah yang dikenal pemikir dan moderat juga dikenal cakap dalam memeriksa kurikulum. Dan dikemudian hari kita akan menyaksikan di Arab Saudi yang lebih moderat (baca: sekuler).
Raja Abdullah juga menggantikan Kepala Dewan Mahkamah Agung, Sheikh Saleh al-Luhaidan, yang selama ini dituding menghalangi upaya reformasi dengan Saleh bin Humaid. Sheikh Luhaidan telah menduduki pos ini selama lebih dari 40 tahun. Selama ini Luhaidan amat terkenal karena beberapa kebijakan ”tegas” yang berpijak pada ajaran konservatif. Salah satu pernyataan tegas pernah diutarakan Luhaidan, September lalu, untuk menanggapi program-program di stasiun TV satelit. Menurut Luhaidan, pemilik stasiun TV satelit yang menayangkan program ”tidak bermoral” harus dibunuh.
Ia juga mengganti kepala polisi agama Muttawa, Sheikh Ibrahim Al-Ghaith, yang telah memimpin kampanye agresif di media massa bagi pelaksanaan keras adat-istiadar Islam dan menantang tokoh lain yang lebih liberal dalam pemerintah. Sheikh Ibrahim Al-Ghaith diganti dengan Abdul Azia bin Huamin yang lebih moderat.
Perubahan lain yang dilakukan oleh Raja Abdullah dengan menambah jumlah anggota Dewan Ulama dari 120 menjadi 150 anggota. Untuk pertama kalinya, Raja Abdullah menunjuk utusan dari empat sekolah hukum agama Islam Sunni di dalam Dewan Ulama. Sebelumnya hanya tokoh atau perwakilan dari sekolah-sekolah Hambali yang mendominasi di Dewan Ulama. Akibatnya, yang mendominasi di dewan itu hanya ajaran Wahhabi, versi Arab Saudi konservatif.
Raja Abdullah juga memerintahkan tiga tokoh Syiah Arab Saudi; Muhammad Al-Khanizi, Jamil Al-Khairi dan Said Al-Sheikh menjadi anggota di Dewan Ulama. Perintah ini dianalisa sebagai kemungkinan dikeluarkannya perintah Raja Abdullah kepada beberapa ulama Syiah untuk menjadi anggota Forum Ulama Islam negara Arab Saudi
Di Home land Salafy sendiri sudah ada usaha dari Raja Abdullah untuk mereformasi kurikulum pendidikan Wahabi/salafy yang dianggap terlalu ekstrim dan menanamkan kebencian kepada kelompok lain.
Salafy Centre Global dan Indonesia :
1. Komite Fatwa tinggi Saudi : Syeh Abdullah bin Baz, Al Utsaimin, dkk.
2. Yayasan Muntadha London : Salman Ibn Fahd Al-Audah, DR. Safar Al-Hiwali, DR. I’ed A-Qorni dkk
3. Yamani : Rabi’ Bin Hadi Al Madhkali, Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i.
4. Yordani : Salim BIn I’ed Al-Hilali dkk., Ali Halabi Al-Atsari
5. Kuwait : Abdurraman Abdul Khaliq (Yayasan Ihya’ Ats-Thuratsnya)
6. Mesir : Syarif Hazza.
7. Alumni LIPIA angkatan pertama
8. Murid-murid Syeh Rabi’ Bin Hadi Al Madhkali
9. Murid-murid Syeh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i.
10. Ust.Yusuf Ustman Baisa, Lc -dulu di Ma’had Ali Al Irsyad Tengaran dan d’ai resmi al-Lajna al-Khairiyah Al Musytarakah.
11. Ust. Syarif Fuad Hazza, da’i dari Mesir dan kaki tangan Jum’iyyah Islamiyah Kuwait. Ma’had al-Irsyad. Tengaran Salatiga.
12. Ust. Abu Nida’ Khomsaha Sofwan, Lc Mudir Yayasan At-Turats, Yogyakarta, bekerja sama dengan yayasan Ihya’tul Turats Kuwait dan al-Haramain Foundation.
13. Ust. Aunur Rafiq Ghufron ( Ma’had Al Furqan, Gresik)
14. Ust. Abu Haidar, dkk ( As Sunnah, Bandung)
15. Ust. Kholid Syamhudi ( Ma’had Imam Bukhari)
16. Ust Abu Husham Muhammad Nur Huda, Ust Abu Ali Noor Ahmad Setiawan, ST, MT, Aris Munandar, SS LBI Al Atsary Jogjakarta.
17. Ust. Ahmas Faiz Asifuddin ( Ma’had Imam Bukhari, Solo dan Pimpinan Umum Majalah as Sunnah)
18. Ust. Abu Qatadah, Yazid Zawwa, Abdul Hakim Abdat .(Turotsi, Al Haramain-Al Sofwah-DDII eks Masyumi)
19. Ust. Abu Nida, dll ( Islamic Center Bin Baz)
20. Ust. Abu Abbas, Abu Isa, Abu Mush’ab, Mujahid .(Mahad Jamilurahman Bantul)
21. Ust. Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc ,PP Taruna Al Qur’an, alumni Madinah)
22. Ust. Muhammad Yusuf Harun, MA, dai Yayasan Al-Sofwa (Lenteng Agung Jakarta, pengelola situs : Aldakwah.org)
23. Ust. Abu Umar Abdillah pernah berseteru dgn Ust. Farid Ahmad Okbah dari PP Al Irsyad)
24. Ust. Jafar Umar Talib (Yayasan Al Ghuroba) dan Syaikh Abdullaah Al-Farsi.
25. Al Maidani, pengasuh PP Al Anshor Jogjakarta, Al Ustadz Abdul Mu’thi dan ustadz Qomar Su’aidi,Lc.
26. Salafy Yamani, Ponpes Dhiyaus Sunnah Cirebon, Ustadz Muhammad Umar As sewed
27. Ust. Abdurahman Wonosari (Murid Syaikh Muqbil bin Haadi, Dammaj, Yaman)
28. Ust. Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi
29. Lajnah Dakwah As Salafiyyah Jl. Parakan Asih No. 15, Bandung Jabar
30. Ma’had Ittiba’us Sunnah : Jl. Syuhada No. 02 Sampung – Sidorejo – Plaosan – Magetan – Jawa Timur.
31. Ust. Abu Yahya Riski tinggal di Klaten.
32. Ust. Abdullah Amin, ma’had Ighotsah Dammam, Kediri
33. Wahdah Islamiyah, Jl. H. Asnawi Jakarta Selatan.
34. Salafy Sururi, Masjid Hidyatusalihin poltangan pasarminggu.
35. Salafy Yamani, Masjid Fatahillah.
36. Ust. Luqman Ba’abduh, Ma’had As Salafy, Jl. Wolter Monginsidi V no 99, Kranjingan, Jember
37. Ust. Badrusalam, Lc Radio Rodja Bogor.
38. dan lain lain.
1. Komite Fatwa tinggi Saudi : Syeh Abdullah bin Baz, Al Utsaimin, dkk.
2. Yayasan Muntadha London : Salman Ibn Fahd Al-Audah, DR. Safar Al-Hiwali, DR. I’ed A-Qorni dkk
3. Yamani : Rabi’ Bin Hadi Al Madhkali, Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i.
4. Yordani : Salim BIn I’ed Al-Hilali dkk., Ali Halabi Al-Atsari
5. Kuwait : Abdurraman Abdul Khaliq (Yayasan Ihya’ Ats-Thuratsnya)
6. Mesir : Syarif Hazza.
7. Alumni LIPIA angkatan pertama
8. Murid-murid Syeh Rabi’ Bin Hadi Al Madhkali
9. Murid-murid Syeh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i.
10. Ust.Yusuf Ustman Baisa, Lc -dulu di Ma’had Ali Al Irsyad Tengaran dan d’ai resmi al-Lajna al-Khairiyah Al Musytarakah.
11. Ust. Syarif Fuad Hazza, da’i dari Mesir dan kaki tangan Jum’iyyah Islamiyah Kuwait. Ma’had al-Irsyad. Tengaran Salatiga.
12. Ust. Abu Nida’ Khomsaha Sofwan, Lc Mudir Yayasan At-Turats, Yogyakarta, bekerja sama dengan yayasan Ihya’tul Turats Kuwait dan al-Haramain Foundation.
13. Ust. Aunur Rafiq Ghufron ( Ma’had Al Furqan, Gresik)
14. Ust. Abu Haidar, dkk ( As Sunnah, Bandung)
15. Ust. Kholid Syamhudi ( Ma’had Imam Bukhari)
16. Ust Abu Husham Muhammad Nur Huda, Ust Abu Ali Noor Ahmad Setiawan, ST, MT, Aris Munandar, SS LBI Al Atsary Jogjakarta.
17. Ust. Ahmas Faiz Asifuddin ( Ma’had Imam Bukhari, Solo dan Pimpinan Umum Majalah as Sunnah)
18. Ust. Abu Qatadah, Yazid Zawwa, Abdul Hakim Abdat .(Turotsi, Al Haramain-Al Sofwah-DDII eks Masyumi)
19. Ust. Abu Nida, dll ( Islamic Center Bin Baz)
20. Ust. Abu Abbas, Abu Isa, Abu Mush’ab, Mujahid .(Mahad Jamilurahman Bantul)
21. Ust. Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc ,PP Taruna Al Qur’an, alumni Madinah)
22. Ust. Muhammad Yusuf Harun, MA, dai Yayasan Al-Sofwa (Lenteng Agung Jakarta, pengelola situs : Aldakwah.org)
23. Ust. Abu Umar Abdillah pernah berseteru dgn Ust. Farid Ahmad Okbah dari PP Al Irsyad)
24. Ust. Jafar Umar Talib (Yayasan Al Ghuroba) dan Syaikh Abdullaah Al-Farsi.
25. Al Maidani, pengasuh PP Al Anshor Jogjakarta, Al Ustadz Abdul Mu’thi dan ustadz Qomar Su’aidi,Lc.
26. Salafy Yamani, Ponpes Dhiyaus Sunnah Cirebon, Ustadz Muhammad Umar As sewed
27. Ust. Abdurahman Wonosari (Murid Syaikh Muqbil bin Haadi, Dammaj, Yaman)
28. Ust. Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi
29. Lajnah Dakwah As Salafiyyah Jl. Parakan Asih No. 15, Bandung Jabar
30. Ma’had Ittiba’us Sunnah : Jl. Syuhada No. 02 Sampung – Sidorejo – Plaosan – Magetan – Jawa Timur.
31. Ust. Abu Yahya Riski tinggal di Klaten.
32. Ust. Abdullah Amin, ma’had Ighotsah Dammam, Kediri
33. Wahdah Islamiyah, Jl. H. Asnawi Jakarta Selatan.
34. Salafy Sururi, Masjid Hidyatusalihin poltangan pasarminggu.
35. Salafy Yamani, Masjid Fatahillah.
36. Ust. Luqman Ba’abduh, Ma’had As Salafy, Jl. Wolter Monginsidi V no 99, Kranjingan, Jember
37. Ust. Badrusalam, Lc Radio Rodja Bogor.
38. dan lain lain.
Mengutip dari buku “Ilusi Negara Islam” pada bab 2 halaman 97 menyebutkan : sebuah Yayasan yang berafiliasi ke Arab Saudi menawarkan kepada pemerintah RI dana sebesar US$ 500.000.000,- dengan kurs Rp. 11.000, setara dengan Rp. 5.500.000.000.000,- (Rp. 5,5 Trilyun) dengan syarat memberi ijin untuk melakukan kegiatan “infrastruktur pendidikan dan akhlak” (dalam tanda kutip) dan menempatkan orangnya di Badan Perencanaan dan Pengawasan Negara.
No comments:
Post a Comment