Monday, January 5, 2015

Mursyid yang Bersemayam di Pariaman Syeikh Burhanuddin Ulakan

Syeikh Burhanuddin Ulakan
dikenal sebagai mursyid tarekat Syathariyah. Ia penggagas munculnya surau di Minangkabau
Tiap bulan safar di Pariaman digelar upacara besar-besaran. Namanya Basapa.Ritual ini menurut Siddi Gazalba
adalah ziarah ke makam Syeikh Burhanuddin Ulakan. Ulama ini dikenal sebagai salah seorang penyebar tarekat Syatariyyah dan Islam di wilayah Sumatera Barat.
Ziarah ini biasanya diselengga-rakan pada tanggal 10 safar dan diikuti oleh puluhan ribu peziarah.
Ziarah ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman merupakan aktivitas kaum Syatta-riyah yang sarat dengan unsur musikal. Bentuk-bentuk amalan ibadah yang mengandung unsur-unsur musikal ini sekaligus juga dilakukan dalam aktivitas ibadah ritual keagamaan yang berlaku umum bagi masyarakat penganut aliran tarekat Syattariyah di Nagari Pitalah Bungo Tanjung seperti “Barzanji”, “manamat”, “Baratik”, dan “Badoa”.

Syeikh Burhanuddin lahir bernama asli Pono. Tempat kelahirannya tidak banyak catatan.
KH Sirajuddin Abbas mengatakan Syeikh Burhanuddin berasal dari suku Guci. Hal ini didasarkan pada Cukuik yang berasal dari suku Guci. Ayahnya bernama Pampak dari suku Koto.  Masa kecilnya bisa dikatakan belum mengenal agama. Konon ayahnya beragama Budha.
Kesukaannya berdagang Batang Bengkawas. Kehidupan Syeikh Burhanuddin bisa dibilang penuh liku. Sejak kecil hidup berpindah-pindah. Ia mengikuti ayahnya ke Sintuk. Di kota ini ia mendapat julukan datuk Sati. Keluarga Pampak diberi sebuah lahan oleh ninik mamak setempat. Kemudian Pono pergi merantau ke Tapakis untuk berguru dengan Syeikh Yahyuddin yang mendapat gelar Syeikh Madinah.
Setelah selesai ia kembali lagi ke kampungnya.  Bagaimanapun Pono tetap melaksanakan tugas dakwah yang akibatnya tentangan semakin menjadi-jadi.
Maka akhirnya pihak yang tidak menyukai kegiatan itu mengusir dan mengancam untuk membunuh Pono.
Pada saat kritis pergi ke gurunya Syeikh Yahyuddin. Atas saran gurunya, Pono kemudian pergi ke Aceh untuk berlajar pada Syeikh Abdul Rauf Al-Singkil. Bersama empat orang rekannya, yaitu Datuk Maruhun dari Padang Ganting Batusangkar, Terapang (Kubang Tiga Baleh Solok), Muhammad Nasir (Koto Tengah Padang) serta Buyung Mudo (Tarusan) berangkat ke Aceh Di bumi Serambi Mekah ini, Pono berjumpa dengan Syeikh Abdurrauf al  Fansuri.
Ada versi yang mengatakan mulanya ia tidak berhasrat untuk mencari ilmu pada syeikh Hamzan Fansuri. Mata batinnya melihat Pono berbakat untuk menjadi ulama besar. Maka selama 13 tahun Pono digembleng oleh Syeikh Abdurrauf al  Fansuri.
Pono semasa nyantri dikenal sebagai seorang yang sangat tunduk pada guru. Ada satu cacatan mengenai hal ini. Pada suatu hari gurunya mengunyah sirih. Tiba-tiba tempat kapur sirihnya jatuh kedalam kakus. Padahal kakus tersebut dalam dan telah dipakai berpuluh-puluh tahun. Gurunya kemudian berkata,” Siapa diantara kalian sebanyak ini yang sudi membersihkan kakus itu sebersih-bersihnya? Dan siapa pula yang mau mengambil tempat sirih saya yang terjatuh di dalamnya?”
Murid-murid banyak yang merasa enggan. Tapi lain halnya dengan Pono. Ia justru berjam-jam membersihkan kakus tersebut dan mendapatkan tempat sirih gurunya. Melihat kerja keras sang muridnya, gurunya berdoa panjang sekali. Setelah selesai gurunya berkata,” Tanganmu akan dicium oleh raja-raja, penghulu-penghulu dan orang besar se antero negeri. Muridmu tidak akan terputus-putus sampai akhir zaman, dan ilmu kamu yang akan membekati dunia. Maka aku namai kamu Saidi Syeikh Burhanuddin.”
Setelah dirasa cukup, Pono yang kemudian tenar dengan nama Burhanuddin ingin pulang ke kampungnya. Sebelum meninggalkan pesantren, gurunya berpesan, Pulanglah kamu ke negerimu, ajarkanlah ilmu yang ditakdirkan Allah. Kalau kamu tetap kasih, takut , malu kepadaku nanti kamu akan mendapatkan hikmah.
Dan apabila orang telah diberi ilmu hikmah, maka terbuka rahasia Allah, dan berbahagialah orang itu dunia akhirat.”
Menurut Hamka, Syeikh Burhanudddin  kembali pada tahun1680 M. Kegiatan dakwah yang dijalankan  tidak bertahan lama.
Banyak tantangan yang dihadapi, terutama oleh masyarakat sekitarnya. Bahkan ada yang berusaha menghentikan dakwahnya. Pada abad ke-17, Burhanuddin, pemuda Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, nyantri ke Syekh Abdurrauf Al-Singkili, Aceh.
Ia lalu kembali ke kampung mendirikan langgar. Ini, menurut guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Profesor Azyumardi Azra, merupakan surau pertama di Sumatera Barat yang penuh muatan keilmuan (Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta, 2003)
Syeikh Burhanudin adalah ulama pertama yang melakukan transformasi terhadap institusi surau menjadi lembaga pendidikan Islam, yaitu Surau Tua Tanjung Medan dan kemudian di suraunya yang baru di Ulakan. Muridnya banyak berdatangan dari berbagai pelosok Minangkabau. Bila mereka sudah selesai belajar di Surau Tanjung Medan dan Surau Ulakan mereka kembali ke kampung masing-masing untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakatnya.
Salah satu cabang pertama dari Surau Burhanudin di darek adalah Pemansiangan, Kapeh-kapeh, Padangpanjang. Dari sana kemudian Islam disebarkan ke Kota Tua di Luhak Agam, kemudian ke Batulading di Tanahdatar.
Sampai akhir abad ke-18 surau-surau di darek terutama di sekitar wilayah sekitar Kota Tua.
Metoda Baru 
Burhanudddin pulang ke Ulakan mendirikan surau di tanjung Medan.
Berkat ketekunannya, ia berhasil ajaran agama di Sumatra bagian tengah. Pengaruhnya paling besar ada di masyarakat pedalaman.
Syeikh Burhanudddin di kenal sebagai penganut tarekat Syatariyah. Tapi ia juga disegani oleh tokoh dan pengikut rakat lain seperti tarekat Naqsyahbandiyah, Samaniyah dan qadiriyah. Bahkan tidak sedikit yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu agama yang mereka miliki merupakan hasil tuntunan syeikh Burhanuddin.
Dalam usaha meresapkan ajaran Islam, terutama ditujukan kepada kanak-kanak yang masih dalam keadaan ‘bersih’ dan mudah dipengaruhi. Jumlah mereka yang belajar agama Islam semakin bertambah banyak. Pondok tempat yseikh Burhanuddin mengajar  penuh sesak.
Pengaruh Syeikh Burhanuddin terus meluas dengan mendapat sambutan  di Gadur Pakandangan, Sicincin, Kepala Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan, Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan Pagaruyung.
Minangkabau waktu itu menjadi heboh. Perhatian masyarakat Minang tertumpu ke Tanjung Medan Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam. Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islamam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunyaTO

No comments:

Post a Comment