Thursday, January 1, 2015

Sejarah Maulid Nabi

Sejarah Maulid Nabi


Ada bermacam-macam versi kapan peringatan maulid pertama kali. Namun fakta yang sangat kuat adalah Salahudin al Ayyubi, dalam rangka menyemangati umat islam untuk perang salib, beliau-lah yang sangat menggalakkan peringatan Maulid ini. Beliau-lah yang mempopulerkannya. Entah siapapun yang memulai.
Saya cut di bagian bawah karena di luar konteks sejarah Maulid.

Maulid Nabi dan Semangat Perjuangan

Oleh : Med Hatta
SEBAGAI pembuka wacana, ada baiknya kita kutip amanat Presiden Soekarno pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, tanggal 6 Agustus 1963 (Penerbitan Sekretariat Negara No. 618/1963).
“Sore-sore saya dibawa oleh Presiden Suriah Sukri al-Kuwatly ke makam Salahuddin. Lantas Presiden Kuwatly bertanya kepada saya, apakah Presiden Soekarno mengetahui siapa yang dimakamkan di sini? Saya berkata, saya tahu, of course I know. This is Salahuddin, the great warrior, kataku. Presiden Kuwatly berkata, tetapi ada satu jasa Salahuddin yang barangkali Presiden Soekarno belum mengetahui. What is that, saya bertanya. Jawab Presiden Kuwatly, Salahuddin inilah yang mengobarkan api semangat Islam, api perjuangan Islam dengan cara memerintahkan kepada umat Islam supaya tiap tahun diadakan perayaan maulid nabi.
Jadi sejak Salahuddin tiap-tiap tahun umat Islam memperingati lahirnya, juga wafatnya Nabi Muhammad saw. peringatan maulid nabi ini oleh Salahuddin dipergunakan untuk membangkitkan semangat Islam, sebab pada waktu itu umat Islam sedang berjuang mempertahankan diri terhadap serangan-serangan dari luar pada Perang Salib. Sebagai strateeg besar, saudara-saudara, bahkan sebagai massapsycholoog besar, artinya orang yang mengetahui ilmu jiwa dari rakyat jelata, Salahuddin memerintahkan tiap tahun peringatilah maulid nabi.
Sebagaimana dijelaskan dalam amanat Bung Karno di atas, peringatan maulid nabi untuk pertama kalinya dilaksanakan atas prakarsa Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (memerintah tahun 1174-1193 Masehi atau 570-590 Hijriah) dari Dinasti Bani Ayyub, yang dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama “Saladin”. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
Pada masa itu dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad saw., 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal. Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji*). Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan maulid nabi.
Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.
Jika kita membuka lembaran sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa, perayaan maulid nabi dimanfaatkan oleh para Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan maulid nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga, Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan maulid nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang “pengampunan” yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, “Dia mengampuni”).
Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan maulid nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata gerebeg artinya “mengikuti”, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan maulid nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idulfitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Iduladha).
…………………………………..
*) Ada yang aneh di sini. Syaikh Ja’far Al-Barzanji hidup 1126-1184H jauh setelah era Salahudin Al Ayubi (532-589H). Tidak mungkin Syaikh Al Barzanji memenangkan lomba karya tulis di era Salahudin.
Yang benar adalah, karya al-Barzanji merupakan salah satu karya besar riwayat Rasulullah saw (Maulid) yang pernah ada, dan digubah bukan di era Salahudin, namun jauh sesudahnya.
.
.
Tulisan di bawah adalah tentang kapan dan siapa yang memulai Maulid. Dari http://sidogiri.com
Saya cut sebagian karena bukan bagian dari sejarah Maulid. Dalil-dalil bolehnya Maulid kami sampaikan dalam tulisan lain.
A. Fauzan Amin (fafa@sidogiri.net)
“Andai aku punya emas sebesar gunung Uhud, aku akan lebih suka menginfakkannya untuk merayakan Maulid Nabi” (Hasan al-Bashri)
Perdebatan mengenai tradisi Maulid telah mengemuka sejak abad kedelapan Hijriyah. Perdebatan ini bisa dibaca dari banyaknya karya para intelek kontemporer (ulama khalaf) yang berbicara mengenai tradisi ini. Diantaranya, al-Lafzh al-Ra’iq fi Maulid Khair al-Khala’iq, karya al-hafizh Muhammad bin Abi Bakrar bin Abdullah al-Qisi al-Dimasyqi al-Syafi’i (w. 842H). Al-Mauridu al-Hani fi al-Maulid al-Sani, karya Al-hafizh Abdurrahim bin al-Husain bin Abdurrahman al-Mishri, yang dikenal dengan al-hafizh al’Iraqi (w. 808 H). Al-Maurid al-Rawi fi al-Maulid al-Nabawi, karya Al-hafizh al-mujtahid Mulla ‘Ali al-Qari bin Sulthan bin Muhammad al-Harawi (w. 1014 H) dan masih banyak karya lain yang tidak perlu disebut.
Bila dirunut sejarahnya, ada dua pendapat yang menengarai awal munculnya tradisi Maulid. Pertama, tradisi Maulid pertama kali diadakan oleh khalifah Mu’iz li Dinillah, salah seorang khalifah dinasti Fathimiyyah di Mesir yang hidup pada tahun 341 Hijriyah. Kemudian, perayaan Maulid dilarang oleh Al-Afdhal bin Amir al-Juyusy dan kembali marak pada masa Amir li Ahkamillah tahun 524 H. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Al-Sakhawi (w. 902 H), walau dia tidak mencantumkan dengan jelas tentang siapa yang memprakarsai peringatan Maulid saat itu.
Kedua, Maulid diadakan oleh khalifah Mudhaffar Abu Said pada tahun 630 H yang mengadakan acara Maulid besar-besaran. Saat itu, Mudhaffar sedang berpikir tentang cara bagaimana negerinya bisa selamat dari kekejaman Temujin yang dikenal dengan nama Jengiz Khan (1167-1227 M.) dari Mongol. Jengiz Khan, seorang raja Mongol yang naik tahta ketika berusia 13 tahun dan mampu mengadakan konfederasi tokoh-tokoh agama, berambisi menguasai dunia. Untuk menghadapi ancaman Jengiz Khan itu Mudhaffar mengadakan acara Maulid. Tidak tanggung-tanggung, dia mengadakan acara Maulid selama 7 hari 7 malam. Dalam acara Maulid itu ada 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju dan 30.000 piring makanan. Acara ini menghabiskan 300.000 dinar uang emas. Kemudian, dalam acara itu Mudhaffar mengundang para orator untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin. Hasilnya, semangat heroisme Muslimin saat itu dapat dikobarkan dan siap menjadi benteng kokoh Islam.
Sejatinya, dua pendapat di atas sama-sama benar. Alasannya, karena peringatan Maulid tidak pernah ada sebelum abad ketiga dan diadakan pertama kali oleh Mu’iz li Dinillah, dan ini hanya bertempat di Kairo dan masih belum tercium ke lain daerah. Sedangkan Mudhaffar adalah orang pertama yang memperingati Maulid di Irbil, yang dari Mudhaffar inilah peringatan Maulid mendunia.

No comments:

Post a Comment