Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silmi secara utuh,
dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu
musuh yang nyata bagi kalian. (QS. Al-Baqarah: 208).
Ayat di atas
selalu dijadikan rujukan oleh sekelompok muslim untuk mengkampanyekan
istilah “Islam Kaffah” atau “Islam utuh”. Dalam pandangan mereka, ayat ini merupakan ajakan wajib bahwa setiap muslim harus menjalankan ajaran Islam secara utuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki; dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Tidak
jelas betul makna utuh yang dimaksudkan karena keutuhan itu ternyata
sangat bergantung pada pemahaman tertentu tentang Islam. Ketika
pemahaman tentang Islam bercorak fikih, maka keutuhan yang dimaksud
adalah keutuhan dalam konteks fikih. Itu pun masih dipengaruhi hanya
oleh mazhab tertentu dalam fikih sambil mengabaikan mazhab-mazhab yang
lain. Puncak idealisasi
Islam Kaffah adalah mendirikan sebuah negara yang berasaskan Islam
karena, menurut logika mereka, tanpa negara Islam tidak dapat dijalankan
secara utuh.
Muncullah simbol-simbol parsial yang secara ketat
dikenakan dan dianggap sebagai bagian dari keutuhan Islam. Gaya pakaian,
penampilan fisik, ujaran sehari-hari, gerakan bahkan organisasi dan
ideologi menjadi pilihan untuk menegaskan keutuhan Islam. Tidak
terpikirkan lagi oleh mereka soal otoritas dan interpretasi dalam
semangat ini. Dan, klaim ini mengandung problem mendasar mengingat
pemahaman tentang Islam sangat beragam, baik di masa lalu maupun di masa
kini.
Tafsir Kata As-Silmi
Sebagian
ulama menafsirkan kata as-silmi dalam ayat di atas sebagai Islam. Namun
sebagian yang lain menafsirkannya sebagai kepasrahan, proses perdamaian
dan ketundukan. Sufyan ats-Tsauri bahkan menafsirkan kata as-silmi
sebagai simbol berbagai kebajikan (Tafsir al-Qurthubi, II, Darul Kutub
Ilmiah, Beirut, 2000) .
Intinya, tidak ada konsensus (ijma’ ) ulama bahwa tafsiran kata as-silmi
adalah Islam. Ia memiliki interpretasi yang beragam dan setiap muslim
dapat memilih interpretasi yang lebih sejalan dengan semangat zaman.
Akan lebih menarik jika kata as-silmi dalam ayat di atas dipahami
sebagai proses perdamaian serta ketundukan pada nilai-nilai universal
yang ada dalam setiap ajaran mana pun. Setiap orang beriman diajak untuk
selalu menempuh proses perdamaian dan menjalankan nilai-nilai universal
dalam rangka menciptakan kehidupan yang lebih beradab dan sejahtera.
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah dalam proses perdamaian (dan
menjalankan nilai-nilai universal) secara utuh”. Dengan menafsirkan ayat
di atas sebagai ajakan menciptakan perdamaian, maka “sasaran dakwah”
ayat tersebut menjadi lebih luas dan dapat diterima oleh berbagai
kalangan yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan.
Andai tafsir
ayat itu dipertahankan sebagai ajakan untuk menjalankan Islam secara
utuh, otomatis kita harus mengakui ragam pemikiran yang pernah ada dalam
sejarah Islam. Islam bukan hanya diwakili oleh Syafii (fikih), Ghazali
(tasawuf), Asy’ari (aqidah),
Bukhari (hadis) dan lain-lain yang di kalangan Sunny dianggap sebagai
figur-figur otoritatif. Islam pun tidak hanya bicara soal fikih (hukum),
tapi Islam juga bicara soal ilmu pengetahuan, kemanusiaan, filsafat,
mistisisme dan lain-lain.
Sejarah Islam telah menunjukkan
kekayaan pemikiran yang sangat luas dalam berbagai disiplin ilmu di
zamannya. Inilah yang membuat seorang sejarawan asal Belgia, George
Sarton, menyatakan bahwa tugas utama kemanusian telah dicapai oleh para
muslim. Filsuf terbaik, al-Farabi (339 H/950 M), adalah seorang muslim.
Matematikawan terbaik, Abu Kamil (850 M) dan Ibn Sina, adalah muslim.
Ahli geograpi dan ensklopedia terbaik, al-Masudi (856 M), adalah seorang
muslim, dan al-Thabari (310 H), ahli sejarah, juga seorang muslim
(George Sarton, Introduction to the History of Science, 1948).
Di
bidang filsafat, tasawuf dan teologi kita mengenal para tokoh seperti
al-Kindi (873 M), Ibnu Sina (428 H/1037 M), Abu Bakar Ar-Razi (313 H/925
M), al-Halaj (923 M), Abu Yazid al-Bustami (261 H/874 M), Suhrawardi
al-Maqtul (587 H) dan lain-lain dengan berbagai perbedaan pemikiran
spekulatif yang luar biasa. Berbagai gagasan dan pemikiran yang pernah
mereka tuangkan dalam karya-karya mereka menunjukkan kebebasan berpikir
yang jauh lebih dahsyat dari apa yang dibayangkan oleh kelompok muslim
yang mengkampanyekan Islam Kaffah di zaman sekarang ini.
Alih-alih
mengenal kekayaan khazanah pemikiran dalam Islam, kampanye Islam Kaffah
justru terjerumus pada rigiditas dan simplifikasi yang tidak
menggambarkan bahwa Islam pernah berada pada masa keemasannya. Jika
Islam hanya diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Syafii (204 H/819 M),
al-Ghazali (450 H/1058 M), Asy’ari (324 H/935 M), Bukhari (256 H/870 M),
dan Ibnu Taymiyah (728 H/1328 M), terlalu sulit memahami bahwa Islam
pernah mencapai masa keemasan.
Kemajuan peradaban tidak akan
terwujud jika masyarakatnya hanya mengandalkan “iman” dan jargon-jargon
gigantis yang tidak berdasar. Kapan dan di mana pun, kemajuan peradaban
mengandaikan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, baik yang lunak (soft
science) atau yang keras (hard science). Penguasaan ilmu pengetahuan
itu harus didukung oleh suasana kebebasan yang jauh dari klaim
sesat-menyesatkan. Kebebasan dan semangat ilmiah inilah yang membuat
Islam pernah mencapai masa keemasannya.
Ulasan singkat ini ingin
menegaskan dua hal: pertama, istilah Islam Kaffah lahir dari kata
as-silmi yang terdapat dalam suarah al-Baqarah ayat 208. Kata as-silmi
tidak hanya memiliki satu arti, tapi ia memliki banyak arti: islam,
ketundukan, proses perdamaian dan kepasrahan. Setiap muslim harus berani
berpikir untuk memilih interpretasi yang lebih modern dan sesuai dengan
semangat zaman. Kedua, jargon Islam Kaffah harus ditinjau ulang karena
telah terjerumus pada rigiditas pemahaman terhadap Islam yang begitu
kaya dengan berbagai pemikiran yang pernah ada dalam sejarah Islam.
Pengusung Islam Kaffah harus menguji ideologi yang selama ini mereka
perjuangkan dengan penuh semangat. Mereka harus berani membuka diri
terhadap berbagai aliran pemikiran dalam Islam yang sangat plural jika
mereka benar-benar ingin menjadi muslim yang kaffah.
No comments:
Post a Comment