Namaku Erlina, aku ingin berbagi cerita kepada saudariku muslimah,
bukan untuk mengajarkan tentang fiqih atau hadits atau hal lainnya yang
mungkin ukhti muslimah telah jauh lebih dulu mengetahuinya daripada aku
sendiri. Karena di masa lalu, aku beragama Kristen…
Sejak kecil aku beserta kedua adikku dididik secara kristen oleh
kedua orangtuaku, bahkan aku telah dibaptis ketika masih berumur 3 bulan
dan saat berusia 18 tahun aku telah menjalani sidhi, yaitu pengakuan
setelah seseorang dewasa tentang kepercayaan akan iman kristen di depan
jemaat gereja. Aku juga selalu membaca Alkitab dan membaca buku renungan
–semacam buku kumpulan khotbah– bersama keluargaku di malam hari.
Seluruh keluargaku beragama Kristen dan termasuk yang cukup taat dan
aktif. Bahkan dari keluarga besar ayah, seluruhnya beragama Kristen dan
sangat aktif di gereja sehingga menjadi pemuka dan pengurus gereja.
Sedang dari keluarga ibu, nenekku dulunya beragama Islam, namun kemudian
beralih menjadi Katholik.
Sejak kecil aku adalah anak yang sangat aktif dalam kegiatan
keagamaan. Tentu saja kegiatan keagamaan yang aku anut saat itu beserta
keluarga besarku. Kecintaanku pada agama Kristen demikian kuat mengakar
dan terus bertambah kuat seiring pertumbuhanku menjadi wanita dewasa.
Sedari kecil aku sangat rajin ikut Sekolah Minggu,
bahkan hampir tidak pernah absen. Aku selalu ingin mendengarkan cerita
agama Kristen atau cerita dari Alkitab di Sekolah Minggu. Setiap
pelajaran Sekolah Minggu kucatat dalam sebuah buku khusus. Cerita-cerita
tersebut kuhafal sampai detail, sehingga setiap perayaan Paskah dan
Natal aku selalu menjadi juara lomba cerdas
tangkas Sekolah Minggu. Pernah suatu ketika, karena aku sering sekali
menang, seorang juri memberikan tes tersendiri. Hal ini untuk memastikan
bahwa aku layak mendapatkan juara pertama, apalagi saat itu aku masih
lebih muda dari peserta dan juara lainnya. Ternyata aku bisa menjawab
pertanyaan juri tersebut. Akhirnya aku tetap mendapatkan hadiah, namun
hadiah khusus di luar juara satu sampai tiga. Kebijakan ini untuk
memberikan kesempatan pada peserta lain untuk menjadi pemenang.
Ketika aku menginjak usia SMP dan SMA, aku tetap aktif dalam kegiatan
persekutuan remaja dan pemuda di sekolah. Aku juga aktif di tingkat
yang lebih besar yaitu kegiatan persekutuan antar siswa Kristen dari
sekolah-sekolah se-kota Magelang, juga persekutuan remaja di gereja.
Bahkan aku juga ditunjuk menjadi ketua persekutuan remaja di gereja.
Setiap minggu aku disibukkan dengan kegiatan persekutuan, mempersiapkan
acara, topik, pembicara, membuat undangan dan menyebar undangan. Aku
tidak pernah bosan mengundang rekan-rekan untuk hadir. Walaupun aku tahu
ada di antara mereka yang malas hadir, aku tetap memberikan undangan kepada mereka. Betapa semangatnya aku saat itu…
Setelah lulus SMA, aku meneruskan kuliah di FKG UGM. Dan seperti
sebelum-sebelumnya, aku kembali aktif di kegiatan keagamaan (Kristen).
Kali ini aku mengikuti
kegiatan persekutuan mahasiswa di FKG dan di tingkat UGM. Aku sangat
senang dan menikmati kegiatanku tersebut saat itu. Bermacam-macam
aktifitas, perayaan Natal, Paskah, panitia lomba vokal grup lagu
gerejawi dan lainnya aku ikuti. Aku sering mengajak teman-teman-teman
satu kos untuk menyanyi bersama lagu-lagu gerejawi di kos, berdiskusi
pemahaman kitab dan lainnya.
Ternyata keaktifanku dalam kegiatan keagamaan ini semakin masuk ke
dalam ketika aku diajak bergabung dengan pelayanan “Para Navigator”.
Pesertanya sebagian besar mahasiswa. Di sini kami belajar banyak hal
tentang kekristenan, dibimbing oleh pembimbing rohani dalam satu
kelompok, mengadakan diskusi pemahaman Alkitab setiap minggu dengan
menggunakan buku panduan seperti kurikulum yang bertingkat dari dasar ke
tingkat tinggi. Di sini kami juga diajarkan dan diminta untuk menghafal
ayat-ayat Alkitab –dengan diberikan panduan berupa kartu yang berisi
ayat untuk dihafalkan-, dan setiap minggu harus bertambah ayat yang kami
hafal. Akhirnya aku dapat menyelesaikan paket kurikulum dan diminta
membimbing anak rohani. Metode pelayanan ini biasa dikenal dengan metode
sel, belajar berkelompok, kemudian berkembang dengan masing-masing
anggota yang akan memiliki anak-anak lain untuk dibimbing, sehingga
orang-orang yang terlibat di dalamnya akan berkembang dan bertambah
banyak. Dalam pelayanan ini, terkadang kami pun diajarkan dan dianjurkan
untuk berdakwah mengajak orang lain mengenal dan mengikuti ajaran
Kristen.
Entah mengapa, setelah aku masuk stase (tingkatan) klinik, mulai ada
beberapa teman (muslim) yang mendekati dan ingin memperkenalkan Islam
kepadaku. Reaksiku? Jelas marah dan kutolak mentah-mentah. Pernah juga
aku dipinjami Al-Qur’an dan diminta untuk membacanya oleh seorang teman.
Sungguh aku sangat marah terhadapnya sampai-sampai aku tak ingin
berbicara dengannya.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan dia –sebut saja A– yang
alhamdulillah kini telah menjadi suamiku. Kalau teman-teman lain ingin
memperkenalkan Islam dengan cara langsung dengan Al-Qur’an dan hal-hal
lainnya yang jelas-jelas berbau Islam, maka A mengenalkan Islam dari
sisi yang beraroma Kristen. Dan aku sangat antusias saat itu. Apalagi ia
menyatakan bahwa jika Kristen lebih benar dari Islam, maka dia akan
mengikuti agama Kristen. Kesempatan emas! Pikirku. A juga banyak
bertanya tentang Bible, bahkan ia katakan telah tamat membaca Alkitab
Perjanjian Baru sebanyak tiga kali! Aku pikir, orang ini benar-benar
tertarik akan agama Kristen. Aku saja belum pernah membaca dari awal
hingga akhir kitab tersebut secara berurutan. Aku semakin bersemangat
saat itu. Banyak yang dia ketahui tentang Alkitab Kristen dan tentang
Kristen. Ternyata sejak kecil ia bersekolah di sekolah Katholik dan
mempelajari agama Katholik serta sejarahnya, dan ketika ia kuliah di
UGM, ia juga terkadang berkunjung ke toko buku Kristen untuk membaca.
Namun, yang terjadi selanjutnya ternyata di luar
dugaanku. A memang banyak tahu tentang agamaku, namun ia juga memiliki
pengetahuan tentang Islam. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
olehnya dan berkaitan dengan agamaku, yang terkadang pertanyaan itu
begitu mudah, namun aku sangat kesulitan menjawabnya. Diskusi-diskusi
yang kami lakukan membuat kami menjadi dekat. Aku pun telah lulus kuliah
dan bekerja. Begitu pula A, hanya saja dia bekerja di Jakarta. Namun,
kami masih terus melanjutkan diskusi tentang agama Kristen yang telah
kami lakukan sebelumnya. Ya… masih berlanjut seperti itu, pengenalan
tentang agama Islam yang dilakukan dengan cara tidak langsung.
Dari diskusi-diskusi itulah ia terkadang memasukkan sentilan Islam
secara tidak langsung dan tidak aku sadari (karena pertanyaan dan
hal-hal yang didiskusikan sebenarnya telah jelas jawabannya di Islam).
Banyak bentrok di antara kami dalam diskusi tersebut. Kadang bahkan
membuat aku marah, menangis, jengkel. Namun diskusi itu terus berlanjut.
Masih ada rasa penasaran, jengkel dan marah yang berbaur menjadi satu.
Namun… banyak sekali pertanyaan darinya yang tidak bisa aku jawab.
Akhirnya A mengusulkan agar meminta pendeta yang ahli untuk diajak
diskusi bersama. Wah!! Betapa senangnya aku mendengar sarannya itu.
Orang ini benar-benar bersemangat belajar Kristen. Aku sangat berharap
akhirnya nanti dia bisa beragama Kristen. Rasanya bahagia jika aku
berhasil membuat ia mengikuti iman Kristen.
Dengan sebab tersebut, aku mencari dan menghubungi pendeta yang
terkenal, senior dan sangat berkualitas di Jogja. Sebut saja pendeta X.
Aku berharap pendeta X dapat membantuku ‘memberi pelajaran’ tentang
Kristen kepada A. Keluargaku pun ikut bersemangat dan sangat mendukung
rencanaku ini. Saat itu, aku bersyukur bapak pendeta ini mau dan
bersedia membantu rencanaku. Akhirnya, kami melakukan diskusi bertiga.
Keadaannya saat itu, bukanlah sebagaimana seseorang yang ingin saling
berdebat antar agama. Tidak. Kondisi saat itu, baik A maupun aku
sama-sama sebagai orang yang belajar dan mencari kebenaran. Walaupun
tidak ada pernyataan sebagaimana yang A lakukan bahwa jika Islam lebih
benar aku akan mengikuti agamanya.
Mulailah kami berdiskusi setiap pekan di hari Sabtu. Beberapa pertanyaan yang A ajukan antara lain adalah:
Kapan dan bagaimana cara Yesus berpuasa? Mengapa orang Kristen tidak berpuasa?
Tentang penghapusan hukum Taurat (Yesus menolak membasuh tangan sebelum masuk rumah).
Benarkah kisah yang menceritakan Yesus berdoa dengan bersujud? Dan
bagaimana orang Kristen berdoa saat ini? Dahulu, orang Yahudi termasuk
Yesus dikhitan. Mengapa orang Kristen sekarang tidak? Pendeta menjawab,
orang Kristen ada yang berkhitan tapi bukan untuk mengikuti hukum Tuhan
(Taurat), tetapi untuk alasan kesehatan.
Mengapa orang Kristen tidak mengenal najis? Padahal hal najis di
Taurat lebih berat daripada hukum Islam. Pendeta menjawab, dalam Kristen
hal itu tidak perlu karena di dalam tubuh kita juga ada najis.
Apakah surga itu bertingkat-tingkat menurut Kristen?
Pendeta menjawab, “Tidak, dalam Kristen surga tidak bertingkat-tingkat.”
Lalu kami bertanya, “Mengapa dalam injil dikatakan ada surga rendah dan surga tinggi?”
Terdapat ramalan dalam Alkitab tentang kedatangan anak manusia ‘Ia
akan berada di perut bumi tiga hari tiga malam’ seperti kejadian nabi
Yunus di dalam perut ikan. Siapakah dia?
Pendeta menjawab, “Jelas ramalan untuk Yesus setelah kematian di kayu salib dan dikubur di gua.”
Akhirnya kami bertiga sama-sama menghitung. Dan berkali-kali, hasil
perhitungan itu adalah dua hari dua malam atau maksimal adalah tiga hari
dua malam dengan konsekuensi memasukkan hari minggu sebagai satu hari
penuh, padahal minggu pagi –sebelum matahari terbit- , kubur Yesus telah
kosong. Karena perhitungan tersebut tidak cocok dengan ramalan tiga
hari tiga malam, pertanyaan tersebut ditunda untuk didiskusikan pekan
berikutnya.
Saat kami datang pekan berikutnya, pendeta sudah memiliki jawaban, yaitu perhitungan hari orang Yahudi berbeda dengan kita.
Waktu itu kami tercengang, heran namun akhirnya tersenyum mengerti
bahwa sebenarnya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh sang pendeta.
Padahal kejadian nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam gua selama tiga hari tiga malam mestinya lebih bisa menjawab ramalan tersebut.
Ah, saudariku… sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang
kami diskusikan saat itu. Kiranya ini cukup untuk menggambarkan diskusi
yang terjadi saat itu. Pertanyaan-pertanyaan kami bukanlah pertanyaan
yang berat yang berkaitan dengan akidah. Bukan tentang trinitas ataupun
ketuhanan Yesus. Namun, itupun banyak yang tidak terjawab. Dan dalam
diskusi ini, A tidak pernah mendebat dengan dalil-dalil Islam, Al-Qur’an
dan hadits. Sehingga memang terkesan bahwa kami berdua sedang berguru
kepada pendeta tersebut.
Kami tidak pernah berdebat, menyalahkan atau mempermalukan beliau.
Kami tetap hormat, dan pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan berkesan
layaknya konfirmasi, “Apakah ini benar”, “Mengapa seperti ini”, dan
semacamnya, kemudian menilai jawaban yang pendeta tersebut berikan. Dan
jika kami tahu sebenarnya beliau tidak dapat menjawab pertanyaan kami,
dan tampak jawabannya dipaksakan, tidak logis (seperti tentang ramalan
tiga hari tiga malam), maka kami hanya tersenyum dan tidak memperpanjang
pembahasan hal tersebut. Saat itu, pendeta tersebut menganjurkan agar
kami membaca buku karangan seorang Pastor yang berjudul Gelar-Gelar Yesus.
Namun, aku malah mendapati, si pengarang justru mengatakan bahwa di
Alkitab tidak ada yang secara langsung menyebutkan bahwa Yesus itu Tuhan
dan dia tidak pernah menyatakan diri sebagai Tuhan. Sehingga anjuran
ini justru menjadi semakin menambah pertanyaanku dan memperbesar
keraguanku akan iman Kristen.
***
Setelah diskusi berlangsung beberapa kali, pendeta tersebut minta
maaf karena tidak bisa melanjutkan diskusi lagi karena akan pergi ke
luar negeri selama beberapa waktu. Beliau merekomendasikan dua orang
pendeta untuk menggantikan posisi beliau selama beliau tidak ada.
Pendeta pertama adalah seorang yang dulunya beragama Islam namun keluar
(murtad) dari agama Islam dan menjadi pendeta. Saat kami mendatangi
rumah pendeta ini, dari pembicaraan dengannya terkesan bahwa beliau
menolak dan menghindar dengan alasan yang tidak jelas. Pendeta kedua
adalah seorang doktor teologia ahli perbandingan agama dan memiliki
kedudukan yang cukup tinggi di sebuah universitas. Karena kesibukan dan
kedudukan beliau inilah, kami agak kesulitan menemui beliau. Ketika
akhirnya kami berhasil menemuinya, ternyata beliau keberatan dan tidak
bersedia berdiskusi bersama kami dengan alasan sibuk. Pendeta kedua ini
menyarankan agar kami kembali berdiskusi dengan pendeta X. Karena proses
diskusi ini (yang tadinya aku berharap begitu banyak para pendeta ini
dapat memberi pelajaran pada A) ternyata sedikit terhambat, akhirnya aku
mendatangi pendeta X seorang diri. Aku menceritakan semua hal berkenaan
dengan latar belakang diskusi ini dan aku memohon kepada beliau untuk
membantuku meneruskan proses diskusi dengan A. Sayangnya… ternyata
beliau menolak permintaanku dengan alasan yang tidak jelas –bahkan bisa
dikatakan tanpa alasan-. Sebagaimana harapan besar lainnya – yang jika
tertumpu pada seseorang namun ternyata tidak dipenuhi oleh orang
tersebut-, maka kekecewaan yang besar pun kurasakan waktu itu. Ketika
aku pamit pulang, pendeta tersebut masih sempat berpesan kepadaku,
“Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu menikah dengan dia (A).
Kalau dia tidak mau masuk agama Kristen, pertahankan imanmu (iman
Kristen).”
Gundah, bingung, sedih, dan kekecewaan yang menumpuk, semua bergumul
menjadi satu setelah mendapat berbagai penolakan dari pihak-pihak yang
aku harapkan dapat membantuku memberi penjelasan tentang agama Kristen
ini kepada A. Bahkan pihak-pihak ini adalah orang yang kuanggap pakar
dan ahli sehingga dapat membantuku menjawab dan menjelaskan tentang
agama Kristen kepada A. Aku pun merasakan sesuatu yang janggal dari
pesan terakhir dari pendeta X. Aku simpulkan bahwa sebenarnya mereka
tidak memiliki argumen dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
dan aku merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang dari agama ini
(Kristen).
Sejak itulah, aku berusaha melihat dan menilai Islam dan Kristen
sebagai dua agama yang sejajar kedudukannya, dan aku berusaha berada
pada posisi netral seakan-akan sedang menjadi juri untuk keduanya. Berat
dan tertekan. Itu yang aku rasakan ketika harus bergumul dan berusaha
keras untuk melepaskan diri dari doktrin Kristen. Doktrin yang telah aku
cintai sejak kecil dan telah kuikat secara sungguh-sungguh. Namun, dari
sinilah aku mulai membuka diri dengan selain Kristen. Aku baru bisa
mulai mempelajari seperti apa Islam sebenarnya. Kesan pertama yang
kudapatkan dalam penilaianku adalah, ‘Apa yang jelek dari Islam?
Kelihatannya ajarannya ok ok saja.’ Sambil melakukan ini, aku tetap
terus membaca Alkitab Kristen.
Suatu ketika, A mengajukan suatu ayat dalam Alkitab yang mengatakan,
”Jangan sampai kita sudah setiap hari menyeru ‘Tuhan-Tuhan,’ tetapi
tidak selamat seperti yang tertulis dalam Injil.”
Kata-kata ini terpatri dalam benakku. Malam harinya, aku mencari ayat
itu dalam Alkitab dan menemukannya, yaitu pada Matius 7:21, yang
isinya, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’
akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan
kehendak Bapa-ku yang di sorga.”
Aku termenung seakan-akan tak percaya yang aku baca. Perlahan-lahan ‘ku tutup Alkitab yang sedang kubaca tersebut.
Keesokan harinya dan hari-hari sesudahnya terasa seperti hari penuh
perenungan untuk pikiran dan benakku. Walaupun aku (berusaha)
beraktifitas seperti biasa, namun pikiranku tidak tenang memikirkan ayat
tersebut. Untuk meyakinkan diriku, ‘ku baca kembali ayat tersebut
berulang-ulang, namun ternyata aku justru menjadi ketakutan setelah
memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Sepertinya ayat ini sangat
berkaitan dengan apa yang telah aku lakukan selama ini, dan aku takut
ternyata aku termasuk yang pada akhirnya tidak masuk surga.
Jangan-jangan apa yang kulakukan selama ini walaupun dengan kecintaan
dan kesungguhan dan penuh perjuangan adalah hal sia-sia.
Sejak itu, aku mulai tertarik dengan Islam dan menjadikannya
alternatif pengganti agamaku. Aku mulai bekerja di luar kota Yogyakarta
di sebuah Puskesmas di Banjarnegara. Sendirian… tanpa sanak saudara
ataupun teman dekat dan sahabat yang dapat kuajak diskusi tentang Islam.
Aku belajar tentang Islam dari pengajian-pengajian masjid di desa yang
terdengar dari pengeras suara atau acara desa dan kecamatan yang
biasanya terdapat sentilan tentang ajaran Islam. Dan tentu saja tak
ketinggalan, aku belajar dari diskusi yang sangat sangat banyak dengan
A.
Sampai pada akhirnya, A menawarkanku untuk masuk Islam, dan akupun
menyetujuinya walaupun tidak langsung melaksanakannya. Aku masih terus
berdiskusi, belajar dan berpikir sehingga aku benar-benar merasa yakin
dan mantap untuk memeluk agama Islam. Dan ketika keyakinan ini bertambah
kuat, aku merasa ada kebutuhan mendesak yang harus kulakukan, yaitu
aktifitas menyembah Allah. Rasanya keyakinanku akan sia-sia dan terasa
hampa jika tidak ada aktifitas ibadah yang harus aku lakukan untuk
menyembah Allah. Namun, aku sama sekali belum bisa cara beribadah yang
ada pada Islam.
Dengan melihat orang sholat di televisi dan memperhatikan teman
sholat, akhirnya aku berusaha meniru gerakan sholat. Tentu saja segala
sesuatunya masih kacau saat itu. Dengan hanya memakai piyama tidur
(tanpa tahu ada aturan harus menutup seluruh aurat saat shalat)
menggelar selimut untuk dijadikan sajadah, dan berdiri tidak mengetahui
harus menghadap kemana, aku sholat. Ya! Aku sholat! Hanya dengan tiga
kalimat yang aku ketahui, bismillahirrahmanirrahim, allahu akbar, dan
alhamdulillah dan dengan gerakan yang tanpa urutan dan aturan. Rasanya
melegakan karena aku melepaskan keinginan untuk menyembah satu Ilah dan
hanya Ilah inilah yang harus aku sembah. Aku lakukan ini berkali-kali
tanpa diketahui oleh siapapun. Aku masih belum mengetahui tentang
pembagian sholat yang lima waktu. Aku masih sendirian saat itu, menjadi
kepala Puskesmas, dan aku pun masih merahasiakan statusku dari siapapun
termasuk staf di kantor bahkan Si A tidak tahu kalau aku melakukan
sholat karena aku masih malu, takut dan masih menutup diri. Sehingga
tidak ada seorangpun yang dapat mengajariku.
Sampailah waktunya…
Aku dan A memberanikan diri datang kepada orangtuaku. Di situ, A
mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam kepada orangtuaku.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Kekagetan luar biasa, marah, tidak
percaya mengelegak keluar. Orangtua memintaku mengutarakan sendiri hal
tersebut, dan aku pun mengatakan hal yang sama, “Aku ingin masuk Islam.”
Mereka tetap tidak percaya dan memintaku memikirkannya kembali. Aku
kembali ke Banjarnegara dan A juga kembali ke Jakarta tempat ia bekerja.
Beberapa waktu kemudian, Bapak, Ibu dan adikku menemuiku di
Banjarnegara. Menanyakan kembali keputusan akhirku. Saat itu, aku
meminta A menemaniku, karena aku dalam kondisi sangat takut dan kalut.
Jawabanku pun tetap sama, “Aku ingin masuk Islam.”
Betapa orangtuaku marah mendengarnya. Sebuah kemarahan yang aku belum
pernah menyaksikan sebelumnya. Ibu berkata, “APA KAMU SANGGUP
MENGHIANATI YESUS!!! TEGANYA ENGKAU DENGAN YESUS!!!”
Rasanya hatiku teriris mendengar teriakan marah dan kekecewaan yang
luar biasa dari kedua orangtuaku tersebut. Aku pun memahami jika akan
seperti ini, karena seluruh keluarga besar beragama Kristen dan hampir
seluruhnya adalah aktivis-aktivis gereja, sering berkhotbah di gereja.
Tidak ada satupun yang beragama lain. Dan… aku yang diperkirakan juga
akan mengabdi dengan sesungguhnya pada agama Kristen ternyata menjadi
orang pertama yang masuk ke agama Islam. Tentu ini hal yang sangat berat
terutama untuk kedua orangtuaku. Anggapan-anggapan negatif baik dari
pihak keluarga, jemaat gereja, keluarga besar lainnya tentu akan datang
bertubi-tubi menekan mereka. Dengan keputusanku yang tidak berubah ini,
akhirnya hubunganku dengan keluarga menjadi agak renggang.
Derai air mata sejak itu masih terus mengalir. Aku sempat ragu ketika mengingat perkataan ibuku,
“Sanggupkah engkau mengkhianati Yesus.”
“Tegakah pada Tuhan Yesus.”
Pikiranku terus berkecamuk, ‘Benarkah itu? Benarkah aku harus
menyembah Yesus? Benarkah jika aku memeluk Islam, Yesus akan marah?’
Berkutat pada kebimbangan antara perkataan orangtuaku dan apa yang telah
kupelajari dalam Islam. Dalam puncak kebingunganku, aku bermimpi…
Aku hendak pergi tidur. Tiba-tiba… terdengar ketukan dari jendela
kayu yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Kubuka jendela tersebut
dan aku kaget karena ternyata di depanku ada sesosok Yesus (wajahnya
memang tidak jelas, namun berjubah dan dalam mimpi itu aku dipahamkan
bahwa itu adalah Yesus). Sosok itu tidak berbicara apa-apa namun tampak
seperti tersenyum, tidak marah dan mengulurkan tangannya (seperti)
hendak menyalamiku. Sosok tersebut tidak berbicara namun aku dipahamkan
bahwa maksud beliau adalah mengucapkan selamat kepadaku. Setelah itu
sosok tersebut berlalu.
Aku pun terbangun dalam keadaan bingung dan takut. ‘Apa maksud mimpi
ini?’ pikirku. Apakah ini suatu tanda bahwa pilihanku benar.
Waktupun berlalu dan aku semakin mengokohkan keputusanku untuk
memeluk agama Islam. A yang hampir selalu hadir dalam perjalananku
menggapai hidayah Islam ini akhirnya melamarku. Alhamdulillah… akhirnya
orangtuaku pun mengizinkan kami menikah. Hubungan kami dengan keluargaku
sudah baik kembali sampai saat ini. Kami menikah dengan wali dari KUA.
Rasa haru dan bahagia menyelimutiku saat itu. Setelah menikah, aku
langsung minta dibelikan mukena dan minta diajarkan shalat. Dan A terus
mendampingiku dan mengajarkanku shalat lima waktu. Sampai aku telah
dapat melakukan shalat sendiri, A baru bisa menjalankan kewajibannya
untuk shalat di masjid.
Perjalananku dalam memahami Islam tentu saja tidak berhenti sampai di
situ. Setelah lima tahun sejak aku masuk ke dalam agama Islam, aku
melanjutkan studi S2 di FK UGM, jurusan Ilmu Kedokteran Dasar dan
Biomedis (minat Histologi dan Biologi Sel) dan aku seperti tersentak
untuk kedua kalinya. Aku baru menyadari dan memahami betapa Allah
mengatur segala sistem dalam tubuh kita dengan begitu rapi, canggih,
teratur, beralasan dan sempurna sampai ke tahap molekuler, tanpa kita
sadari. Aku banyak termenung saat menyadari hal itu, namun juga
menjadikanku banyak bertanya kepada dosen pakar saat itu. Subhanallah,
Dia-lah pencipta, pengatur, pemelihara yang sedemikian rupa rumitnya.
Dan tidak mungkin semua itu berjalan, berproses dan bermekanisme dengan
sendirinya. Mulai saat itulah aku lebih terpacu lagi untuk belajar
dengan membaca dan memahami Al-Qur’an.
Dan proses belajar itu terus berlangsung sampai sekarang. Dahulu aku
telah mengetahui bahwa Allah-lah, Ilah yang disembah dalam agama Islam.
Namun, perlu waktu bertahun-tahun untuk aku memahami bahwa hanya
Allah-lah Ilah yang BERHAK untuk disembah. Dan pemahaman ini ternyata
suatu perkembangan, semakin kita belajar mengenal Rabb kita, insya Allah
semakin bertambahlah pemahaman dan ketauhidan kita, dan akan semakin
sadar bahwa masih banyak sekali hal yang tidak kita ketahui. Dari proses
pembelajaran inilah aku semakin memahami siapakah Allah yang selama ini
aku sembah, mengapa hanya Allah yang harus aku sembah. Kini aku sedikit
lebih paham (karena masih banyak hal yang belum aku pahami), tentang
kekuatan rububiyah Allah (sebagai pencipta, yang berkuasa) yang
melazimkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan mengapa aku
tidak boleh mempersekutukan-Nya karena jika aku melakukan kesyirikan
maka ia akan menjadi dosa yang tak terampuni (jika tidak bertaubat).
Saudariku… agama Islam terlalu tinggi, canggih dan terlalu sempurna,
dengan konsepnya yang sangat jelas, sehingga agama-agama lain menjadi
sangat lemah untuk menjadi pembandingnya, termasuk agama Kristen yang
aku anut dahulu.
No comments:
Post a Comment