Al khidlir Ibn Abdullah Ibn Yahya Al Mushalli berkata : Ayahku
menceritakan kepadaku :’ bahwa kami (ayahku) pernah suatu ketika sedang
berada dimadrasah syaikh Abdul Qadir Al Jilani, dan khalifah
Al-Mustanjid datang untuk menghadap / bersilaturahim kepada beliau
(syaikh abdul qadir al jilani), dan meminta ridha / barokah beliau.
Setelah itu khalifah menyuruh pelayanannya untuk membawakan dan
meletakkan hadiah yang dibawa oleh sepuluh pelayannya sebanyak sepuluh
karung. Melihat hal tersebut, syaikh Langsung menolak dengan keras dan
berkata : “ Aku tidak butuh akan Hadiahmu”
Dan syaikh Abdul Qadir Al jilani mengkritik (prilaku) khalifah Al Mustanjid dengan kata-kata yang pedas (tajam).
Kemudian syaikh mengambil hadiah tersebut sekarung dengan tangan
kanannya dan sekarung lagi dengan tangan kirinya. Syaikh kemudian
menggelontorkan kedua isi karung tersebut dan ajaib hadiah yang di
berikan khalifah isinya berubah mengeluarkan (menjadi) / mengalirkan
darah.
Syaikh Abdul Qadir Al jilani berkata : “ Wahai Abu Al – Muzhaffar, tidakkah engkau malu, dengan membawakan darah-darah manusia
(Melihat dan mendengar Hal tersebut kontan sang khalifah Al Mustanjid Pingsan seketika).
Syaikh kemudian melanjutkan pembicaraannya, Seandainya bukan karena
kehormatan garis keturunanmu yang bersambung kepada Rasulullah SAW,
niscaya aku akan membiarkan darah-darah ini terus mengalir hingga
memenuhi seisi istanamu.
(Manaqib Syaikh Abdul qadir Al jailani – Ibn Hajar Al Asqalani)
Seperti kebiasaan dan budaya masyarakat jawa dan madura yang sangat
ta’dzim kepada Kiai / pengasuh pondok, Mulai dari masalah ubudiyah,
sosial –kemasyarakata, persoalan pribadi bahkan persolan mencari hari
yang cocok untuk menikah dan bercocok tanampun sering kali
dikonsultasikan kepada sang kiai.
Suatu saat kiai kholil bin Nawawi sidogiri sedang asyaik menemui tamu
yang datang kendalem (tempat tinggal) beliau. Datanglah seorang tamu X
yang kemudian datang bergabung dengan tamu yang lainnya dan menunggu
giliran untuk bersilaturahim kepada kiai kholil.
Setelah semua tamu puas dan berkonsultasi dengan kiai kholil, ada
beberapa tamu yang bersedekah, memberi hadiah ( salam tempel ) kepada
Mbah yai kholil, seikhlasnya walaupun kiai terkdang menerima tapi tak
jarang uang itu dikembalikan lagi atau diberikan kepada orang yang lebih
membutuhkan, kiai disini ibaratnya kran dan talang air hanya berfungsi
menyalurkan ke bawah dan tidak menahan pemberian / sedekah dari
tamu-tamunya bahkan ada suatu kebiasaan menarik kiai hasani adaik kiai
kholil jika ada yang memberikan uang / salam tempel kepada beliau , maka
oleh beliau (kiai hasani) uang amplop salam tempel tersebut beliau
kembalikan ke empunya bahkan di tambah atau di berikan bonus melebihi
jumlah yang semula.
Kembali ke kisah semula, pas Giliran ke Tamu X tersebut, mulailai beliau
merogoh uang sakunya, untuk bersedekah dan memberi uang kepada kiai
kholil bin Nawawi bin Noerhasan sidogiri, seperti halnya tamu2 yang
lain.
Tamu X : “ Kiai niki kulo sedekah karo jenengan”
(sambil memberikan sejumlah uang)
Kiai Kholil : “ Mboten Usah”
Tamu X : “ Mboten nopo-nopo kiai niki sedekah / hadiah kulo karo jenengan”
Kiai Kholil : “Mboten Usah”
(jawab dan menolak kiai dengan halus kepada sang tamu)
Tamu X : “ Niki Kia kulo ikhlas, niki duwe’ kanggo jenengan.
Kiai Kholil : “ Mboten usah’
Tamu X kontan merasa serba salah dan kebingungan atas penolakan kiai
padahal tidak biasanya kiai menolak pemberian bukannya hadiah dari tamu2
yang lain di terimanya tapi entah mengapa pas giliran beliau kiai tidak
kasokan / menolak.
Karena merasa ditolak dan beliau mengambil uang yang sedianya akan di
serahkan kepada kiai, dan memasukkan nya kedalam kantongnya kembali, dan
sama halnya dengan tamu2 yang lain tamu X tersebut memohon izin untuk
pulang dan meninggalkan ndalem kiai, setelah mohon izin dan meminta
pamit
Tamu X tersebut keluar berjalan.
Dengan membawa perasaan kebingung dan seribu pertanyaan dalam benaknya.
Sang tamu tersebut berpikir, kenapa kiai tidak mau menerima uang hadiah
atau salam tempel tersebut. Tiba2 dia merasakan ada sesuatu yang basah
yang merembes di saku/ kantong tempat dia menaruh uang tersebut.
Si Tamu X memeriksa apa yang merembes:....#$##$@^**&$#$@#@%&$#$@#@
Betapa kagetnya beliau ketika melihat ternyata uang / salam tempelnya sudah tidak ada, dan tiba2 berubah menjadi DARAH MANUSIA.
Setelah dia dapat menguasai keadaan dirinya atas apa yang terjadi,
termenunglah dia memikirkan hikmah apa yang sebenarnya terjadi sehingga
uang yang sedianya akan di berikan kepada kiai beubah menjadi barang
najis dan menjijikkan; “DARAH MANUSIA”
Setelah lama berpikir sadar dan inagtlahlah Tamu X tersebut ternyata
uang tersebut adalah uang hasil pembayaran / upah untuk pekerjaan
membunuh seseorang manusia. Pantas saja ketika itu Mbah yai kholil di
berikan kasyaf untuk melihat asal-muasal uang tersebut, dan dengan
karomahnya juga menjadikan asbab bagi seorang tersebut untuk
memberitahukan betapa buruknya uang2 dari jalan yang haram ketika akan
di nafkahkan di jalan Allah.
WALLAHU A’LAM BISSHAWAB
No comments:
Post a Comment