salamun koulammirobirroqiim..sesepuh,pinisepuh,mas ts,dan teman2 semua...
ijin menyimak mbah...
Setelah menunjukkan kemampuannya kepada kedua orang tuanya, beberapa
bulan kemudian Gus MIek melanjudkan studinya di Lirboyo. Di
tengah-tengah penddidikannya di Lirboyo, Gus Miek justru pergi ke
Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang diasuh KH. Dalhar yang
terkenal sebagai seorang wali di Jawa Tengah.
KH. Dalhar adalah seorang di antara tiga wali yang termasyhur di Fawa
Tengah. Ketiga wali itu adalah KH. Hamid, Kajoran, Magelang, sebagai
wali dakwah; dan KH. Dalhar sendiri sebagai wali hakikat. Akan tetapi,
sejak KH. Dalhar wafat pada 1959, menurut sebagian pendapat, posisinya
digantikan KH. Mangli, Muntilan, Magelang.
Awal kedatangannya di Watucongol pada 1954, Gus Miek tidak langsung
mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok
yang dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada
setiap datang di Watucongol kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan,
terutama di kolam tempat para santri mandi dan mencuci pakean, membuat
Gus Miek terlihat seperti orang gila bagi orang yang belum mengenalnya.
Setelah beberapa bulan dengan hanya dating dan memancing di kolam
pemandian, ia lalu menemui KH. Dalhar dan meminta izin untuk belajar.
“Kiai, saya ingin ikut belajar kepada kiai,” kata Gus Miek ketika itu.
“Belajar apa tho, Gus, kok kepada saya,” tanya KH. Dalhar.
“Saya ingin belajar Al Qur’an dan Kelak ingin saya sebarkan,” jawab Gus Miek dengan mantap.
KH. Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk
belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ
saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijsah amalan untuk
menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah
ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada KH. Dalhar, terutama dalam
hal kepasitas KH. Dalhar sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan
pengajar Al Qur’an. Gus Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana
seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai
seorang mursyid, dan seorang pengajar Al Qur’an.
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, KH. Dalhar selalu menyuruh
dia membaca Al Fatehah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, KH. Dalhar
selalu menyuruhnya mengamalkan Al Fatehah.
Barangkali karena ajaran KH. Dalhar sersebut, Gus Miek banyak memberikan
ijasah bacaan Al Fatehah kepada para pengikutnya untuk segala urusan.
Bahkan apabila ingin berhubungan dengan Gus Miek, cukup dengan
membacakan Al Fatehah saja. Dan, bias jadi inilah yang mengilhami Gus
Miek (di samping ijasah yang diberikan oleh Imam Al Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin yang disampaikan kepada adiknya) menerapkan ajaran sejumlah
bacaan Al Fatihah dalam kegiatan wirid Lailiyah yang didirikannya pada
tahun 1961, yang kemudian berkembang menjadi Dzikrul Ghofilin pada
1973..
KH. Dalhar,bagi Gus Miek, adalah satu-satunya orang yang dianggap
sebagai guru dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di
Watucongol, Gus Miek dengan telaten selalu membersihkan terompah KH.
Dalhar, dan menatanya untuk lebih mudah dipakai ketika KH. Dalhar naik
ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu dilakukan sebagai upayanya untuk
belajar istiqamah. Sebab istiqamah, menurut ajaran KH. Djazuli, ayahnya,
adalah lebih utama dari 1000 karomah. Oleh karena itu, dalam rangka
melatih keistiqamahannya, Gus Miek memulai dengan istiqamah membersihkan
dan menata terompah KH. Dalhar gurunya.
Pernah, di suatu hari, Gus Miek menemukan trompah KH. Dalhar yang
biasanya ada di depan kamar ada dua buah yang sama persis baik ukuran
maupun bentuknya sehingga ia tidak bias membedakannya. Bungkul (tangkai
tempat menjepit antara jari kaki) terompah KH. Dalhar terbuat dari emas,
terompah yang satu juga sama. Akhirnya, ia membersihkan dan menata
keduanya sambil menunggu siapakah tamu gurunya itu. Sekian lama ia
menunggu sampai terkantuk-kantuk, tetapi terompah itu tetap dua buah
jumlahnya. Ketika sesaat ia terlena, terompah itu tinggal satu. Ia
terkejut, kemudian berlari jauh keluar pondok untuk melihat tamu
tersebut sepanjang jalan sehingga nafasnya tersengal-sengal. Tetapi,
jalan tampak sepi dan tidak ada seorang pun terlihat melintas. Padahal,
menurut perkiraan Gus Miek, orang tua yang berjalan memakai terompah itu
pasti belum jauh dan seharusnya sudah terkejar atau justru berada jauh
di belakangnya.
Esok harinya, Gus Miek menemui KH. Dalhar yang baru turun dari masjid
memimpin jama’ah shalat Zuhur, sesampai di kamarnya Gus Miek bertanya:
“Maaf, Guru, tamu Guru tadi malam itu siapa?”
KH. Dalhar tidak menjawab, sementara Gus Miek tidak mau beranjak sebelum
mendapatkan jawaban. Gus Miek tatap duduk menunggu jawaban dari KH.
Dalhar. Ketika KH. Dalhar beranjak ke masjid untuk mengimami shalat
Ashar, ia mengikutinya untuk menata terompah KH. Dalhar. Dan, ketika KH.
Dalhar kembali ke kamar, Gus Miek pun kembali mengikutinya dan duduk di
depan kamar untuk menunggu jawaban. Demikian juga ketika saat tiba
waktu shalat Maghrib dan Isya. Sehingga, baru ketika sesudah Isya, KH.
Dalhar menyuruh pembantunya memberi tahu bahwa tamunya semalam adalah
Nabi Khidir. Setelah mendapatkan jawaban itu, barulah ia mau beranjak
dari tempat duduknya. Menurut keterangan Nyai Dalhar, dari sekian banyak
santri KH. Dalhar, hanya Gus Miek yang berani dan diizinkan masuk ke
kamar KH. Dalhar.
Kegiatan Gus Miek di Watucongol selain mengaji Al Qur’an, Gus Miek juga
tetap sering bepergian ke pasar-pasr, tempat hiburan, dn mengadu ayam
jago. Kebiasaan ini membuat Gus Miek sering harus berhadapan dengan Gus
Mad, putra KH. Dalhar, yang kebetulan saat itu memegang tanggung jawab
sebagai keamanan pondok karena Gus Miek dianggap sering tidak disiplin.
Sedangkan santri yang sering menemani Gus Miek saat di Watucongol adalah
Bakri (KH.Bakri), kini pengasuh Pesantren Al Qur’an, Jampiroso,
Kacangan, Boyolali.
Pernah Gus Miek menyuruh beberapa gus di Kediri agar buru-buru mondok di
tempat KH. Dalhar karena dia akan meninggal. Semua berbondong ke tempat
KH. Dalhar. Saat itu, Gus Miek menyatakan bahwa KH. Dalhar akan
meninggal sekitar 23 Ramadhan 1959, begitu semua datang ke Watucongol,
ternyata KH. Dalhar masih sehat. Tercatat di antara orang-orang yang
pergi ke Watucongol adalah KH. Mubasyir Mundzir dan Gus Fu’ad (adik Gus
Miek).
Pernah KH. Djazuli menugaskan Gus Nurul Huda untuk datang ke Watucongol
mewakili KH. Djzuli untuk menyerahkan adik-adiknya yang mondok ke
Watucongol. Di Watucongol, Gus Huda di samping menyerahkan adik-adiknya
kepada KH. Dalhar sebagaimana amanat KH. Djazuli, juga meminta maaf bila
bila adiknya, Gus Miek, banyak melakukan kekeliruan di Watucongol.
Tetapi, jawab KH. Dalhar waktu itu justru sangat mengejutkan Gus Huda,
“Gus Miek itu difatihahi mental,” jawab KH. Dalhar. Gus Huda hanya
tersenyum karena dia sudah paham akan adiknya yang satu itu.
Dalam versi yang lain diceritakan bahwa bukan Gus Huda yang menyerahkan
Gus Miek, tetapi kebalikannya. Saat itu, Gus Huda dan Gus Fua’ad disuruh
KH. Djazuli agar mondok ke KH. Dalhar. Saat hendak berangkat, Gus Miek
masih duduk di teras dengan hanya memakai celana pendek.
“Mau ke mana, Mas Dah?” tanya Gus Miek.
“Aku disuruh bapak mondok ke Jawa Tengah dengan Fu’ad,” jawab Gus Huda.
Keduanya kemudian berangkat dengan naik kereta api. Sesampainya di
Watucongol, ternyata Gus Miek sudah berada di teras pondok dengan
pakaian masih seperti tadi pagi ketika di kediri.
“Kenapa di sini?” tanya Gus Huda yang sudah mengenal kelebihan adiknya.
“Mengantar kalian kepada Kiai Dalhar,” jawab Gus Miek.
“Aku tidak mau kalau pakaianmu seperti itu,” jawab Gus Huda sambil
memberikan pakaiannya ke pada Gus Miek untuk berganti pakaian.
Mereka bertiga kemudian sowan. Setelah sowan, Gus Miek mengantarkan
memilih kamar dan setelah itu hilang entah ke mana dengan meninggalkan
pakaian Gus Huda.
Akhirnya, semua memburu Gus Miek karena dianggap telah berbohong perihal
kematian KH. Dalhar. Tetapi semua menjadi terdiam ketika 25 Ramadhan
1959, KH. Dalhar benar-benar meninggal dunia.
sumber : Dzikrulghofilinboja.blogspot.com
No comments:
Post a Comment