Wednesday, October 29, 2014

Hukum Tahlilan dan Ziarah Kubur

Tahlilan bukanlah sebuah kewajiban, jika ditinggalkan berdosa atau bukanlah perkara yang diwajibkanNya atau ditetapkanNya atau bukanlah perkara syariat, syarat sebagai hamba Allah.
Jika berkeyakinan bahwa tahlilan adalah sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa maka keyakinan seperti itu termasuk bid’ah dholalah karena yang mengetahui atau menetapkan sesuatu perkara atau perbuatan ditinggalkan berdosa (kewajiban) atau dikerjakan / dilanggar berdosa (larangan/pengharaman) hanyalah Allah ta’ala
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Tahlilan adalah amal kebaikan, perkara diluar apa yang diwajibkanNya dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Tahlilan adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselenggarakan oleh keluarga ahli kubur sedangkan peserta tahlilan bersedekah diniatkan untuk ahli kubur dengan tasbih, takbir, tahmid, tahlil, pembacaan surah Yasiin, Al Fatihah, dzikir dan doa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)
Tahlilan hukum asalnya adalah boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.
Tahlilan disyiarkan oleh para Wali Songo, Wali Allah generasi ke sembilan dan kebetulan berjumlah sembilan orang. Salah seorang Wali Songo, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati adalah Wali Allah keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya.
Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang da’i yaitu Walisongo.
Kematangan sosial dan kedewasaan intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Mereka yang melarang tahlilan dengan cara mengutip perkataan ulama seperti
Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i Rahimahullah, beliau berkata dalam I’anatuth Thalibin:
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin.” (Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i, I’anatuth Thalibin, 2/165. Mawqi’ Ya’sub.
Berikut teks lengkapnya;
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟
“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitumengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal , kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ?
أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.
“Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam serta umat Islam” Kitab I’anatuth Thalibin, Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i.
Apa yang mereka kutipkan sebenarnya adalah jawaban atas pertanyaan terhadap sikap pentakziyah yang menunggu disajikan makanan sehingga keluarga ahli kubur menyediakan makanan dengan terpaksa atau merasa terbebani.
Sedangkan keluarga ahli kubur yang mengadakan tahlilan atau mengundang tahlilan, biasanya pada malam harinya atau malam selanjutnya, pada umumnya mereka telah mempersiapkan dan tidak merasa terbebani karena mereka meniatkannya sebagai amal sedekah atau amal kebaikan atas nama ahli kubur.
Dapat juga kita temukan mereka melarang tahlilan dengan mengutip perkataan Imam Mazhab seperti
Pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan.”
Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan.
Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar.
Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya
Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.
Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.
Makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.
Begitupula mereka melarang tahlilan dengan mengutip hasil muktamar I Nahdlatul Ulama (NU) Keputusan masalah Dinniyah No. 18/13 Rabi’uts Tasaani 1345 H / 21 Oktober 1926 Di Surabaya
Tentang keluarga mayit menyediakan makan kepada pentakziah
Tanya:
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
Jawab:
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh , apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
Jelas dalam keputusan tersebut bahwa hukumnya makruh dengan penjelasan kemakruhan sebagaimana yang disampaikan di atas tetapi tidak menghilangkan pahala sedekahnya.
Madzhab Imam Syafii dlm membaca Alquran di kuburan/makam bagi si mayyit.
Dalam kitab fathul mu’in, satu kitab Syafiiyah yg masyhur.
و يسن كما نص عليه ان يقرأ من القران ما تيسر على القبر فيدعو له مستقبلا للقبلة
Dan disunnahkan sebagaimana digariskan Imam Syafi’I untuk membaca Alquran yg terasa mudah diatas makam, lalu menghadap kiblat memanjatkan do’a untuk si mayit.
Rosulullah saw bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.
(Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidz Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shollalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih)
Rosulullah saw bersabda,
(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)
Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya untuk mendoakannya, kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.
(HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rosulullah saw bersabda,
(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام)
Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.
(Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)
Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata:
Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.
(HR. Ahmad dalam musnadnya).
Ada juga yang menanggapinya dengan menyampaikan firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya
(QS Az Zumar [39]:3)
Ini dalil-dalil Tawwasul-Ziaroh kubur….
وروى القشيري عن معروف الكرخي أنه قال لتلاميذه : إذا كانت لكم إلى الله حاجة فاقسموا عليه بي فإني الواسطة بينكم وبينه وذلك بحكم الوراثة عن المصطفى صلى الله عليه وسلم
Imam Qusyairi meriwayatkan dari Ma’ruf Al-karkhi , bahwsanya beliau berkata kpd murid2 beliau:
jika kalian ada hajat kepada Allah, maka tawassullah kpd ku, sesungguhnya Aku akan memperantarai antara kalian dgn Allah dan cara itu lah yg telah di wariskan Nabi kita Al-mushhofa.
قال القضاعي : إن الاستغاثة بالنبي صلى الله عليه وسلم من موجبات تنزل الرحمات وسرعة قضاء الحوائج
Imam Qodha’i mengatakan . Sesungguhnya bertawassul dgn Nabi muhammad dari penyebab pastinya turun Rohmat dan mencepatkan dlm mendapatkan hajat.
وقال السيد محمد بن علوي المالكي : إن الاستغاثة بأكابر المقربين من أعظم مفاتيح الفرج ومن موجبات رضي رب العالمين
Sayyid Muhammad bin Alwy Al-maliki berkata. bahwsanya tawassul dgn para npNabi, Syuhada , wali2 yg dekat dgn Allah, dari sebagian besar pembuka kesusahan dan penyebab pasti datangnya ridlo Allah.
وقال أيضا : إن التوجه إليه صلى الله عليه
وسلم ونداءه بقوله : يا سيدنا محمد ” والاستنجاد به ليس شركا ولا حراما ولا مكروها ولا خلاف الأولى بل ذلك أفضل في الأدب من الربوبية وأشد اجتلابا للرحمة واستنزالا للقبول وأقوى مظنة بالإجابة وأدنى للرشد وأبعد من الرد والحرمان
Dan Sayyid Muhammad mengatakan lagi. Sesungguhnya tawajjuh kpd Rasulullah dan memanggl beliau “ya sayyiduna muhammad” dan meminta tolong kpd beliau,itu bukan syirik,bkn haram,bkn makruh bkn jg khilaful aula (sahabat,tabi’in dan salaf2),tetapi itu bahkan paling afdhol adab kpd tuhan,dan paling kuat mendapat rahmat,dan plng cepat kabul,dan plng kuat sangkaan dgn dkabulkan,lbh dekat kpd dterima,dan jauh dari penolakan dan tegahan
وقال الكوثري : لا بد لأهل السلوك والرشاد
من التوسل والاستغاثة والاستمداد بأرواح الجلية والسادة الأمجاد، إذ هم المالك لأزمة الأمور في نيل ذلك المراد
Imam kautsari mengatakan: tdk boleh tdk untk orangyg suluk dan orang pintar agar bertawassul,minta tolong kpd arwah2 yg mulia,dan para imam2 yg mulia,krn mereka itu perantara bagi semua perkara2 penting,pd sampainya yg dkehendaki itu
وقال التقي الدين السبكي الشافعي الأشعري ومن تبعه من علماء أهل السنة ومنهم العلامة السمهودي والسيوطي والقسطلاني وابن حجر الهيتمي والزرقاني وابن جرجيس الحنفي العراقي والشيخ أحمد زيني دحلان والإمام يوسف النبهاني : واعلم أن الاستغاثة هي طلب الغوث ،فالمستغيث يطلب من المستغاث به أن يحصل له الغوث منه ، فلأ فرق بين أن يعبر بلفظ الاستغاثة أو التوسل أو التشفيع أو التوجه
لأنها من الجاه ومعناه علو القدر والمنزلة وقد يتوسل بصاحب الجاه إلى من هو أعلى منه
Imam subki ,imam samhudi,imam sayuti,imam qastalani,imam ibnu hajar,imam zarkani, dan yg sy tls diatas berpendapat bhw tdk ada perbedaan makna pd beberapa kalimat “tawassul,istigotsah,tawajjuh”
وقال قطب الإرشاد عبد الله بن علوي الحداد: الولي يكون اعتناؤه بقرابته واللائذين به بعد موته أكثر من اعتنائه بهم في حياته، لأنه في حياته مشغولا بالتكليف وبعد موته طرح عنه الأعباء وتجرد
Wali qutub habib abdullah alhaddad berkata: bermula wali itu,keadaan pertolonganx dgn orang2 terdekatnya stlh wafatnya,lbh kuat dari pertolonganx wkt hidupnya,krn wkt hidupnya keadaanx sibuk dgn taklif syariat agama,dan stlh wafat,maka hilanglah darinya taklif itu,
فهم أحياء في قبورهم وإذا كان الولي حيا في قبره فإنه لم يفقد شيئا من علمه وعقله وقواه الروحانية بل تزداد أرواحهم بعد الموت بصيرة وعلما وحياة روحانية وتوجها إلى الله، فإذا توجهت أرواحهم إلى الله تعالى في شيء قضاه سبحانه وتعالى وأجراه إكراما لهم
فأهل البرزخ من الأولياء في حضرة الله تعالى فمن توجه إليهم وتوسل بهم فإنهم يتوجهون إلى الله تعالى في حصول مطلوبه
Mereka hidup dalam kubur mereka,keadaan mereka hdp dalam kuburnya itu tdk mengurangi sdkt pun dari ilmunya,aqalnya,dan kekuatan rohnya,bahkan bertambah kuat penglihatan,ilmu,dan roh mereka,hal mereka slalu tawajjuh kpd Allah,jika mereka tawajjuh kpd Allah meminta sesuatu,maka lgsg Allah qabulkan,dan memberi mereka pahala,krn memuliakan mereka,
Para aulia di alam barzakh mereka berada di hadrat Allah,sangat dekat,maka brangsiapa tawassul kpd mereka ,maka mereka akan menyampaikan nya kpd Allah untk dterima permintaan nya,
وقال أبو المواهب : ومعلوم أن الأولياء أحياء في قبورهم إنما ينقلون من دار إلى دار
Abul mawahib mengatakan: sdh dketahui bhw para wali itu hidup dalam kubur mereka,hanya sanya mereka brpindah dari negri ke negri lain
وقال الفخر الرازي : إن تلك النفوس لما فارقت أبدانها فقد زال الغطاء والوطاء وانكشف لها عالم الغيب
Imam fakhrurrazi mengatakan: sesungguhnya itu roh2,manakala memisahi badan nya,maka hlng lah kesusahan dan terbukalah alam gaib untk nya.
Ini adalah contoh hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi. Perkataan orang kafir ditimpakan kepada kaum muslim. Kaum Zionis Yahudi memotong firman Allah sehingga timbul kesalahpahaman yang akan menimbulkan perselisihan di antara kaum muslim.
BAROKAH…!!!
كان النبي صلى الله عليه وسلم يَدْخُلُ بَيْتَ أُمِّ سُلَيْمٍ فَيَنَامُ على فِرَاشِهَا وَلَيْسَتْ فيه قال فَجَاءَ ذَاتَ يَوْمٍ فَنَامَ على فِرَاشِهَا فَأُتِيَتْ فَقِيلَ لها هذا النبي صلى الله عليه وسلم نَامَ في بَيْتِكِ على فِرَاشِكِ قال فَجَاءَتْ وقد عَرِقَ وَاسْتَنْقَعَ عَرَقُهُ على قِطْعَةِ أَدِيمٍ على الْفِرَاشِ فَفَتَحَتْ عَتِيدَتَهَا فَجَعَلَتْ تُنَشِّفُ ذلك الْعَرَقَ فَتَعْصِرُهُ في قَوَارِيرِهَا فَفَزِعَ النبي صلى الله عليه وسلم فقال ما تَصْنَعِينَ يا أُمَّ سُلَيْمٍ فقالت يا رَسُولَ اللَّهِ نَرْجُو بَرَكَتَهُ لِصِبْيَانِنَا قال أَصَبْتِ ،رواه مسلم واحمد
Rasulullah SAW masuk rumah Ummi Sulaim dan tidur di ranjangnya sewaktu Ummi Sulaim tidak ada di rumah, lalu di hari yang lain Beliau datang lagi, lalu Ummi Sulaim di beri kabar bahwa Rasulullah tidur di rumahnya di ranjangnya. Maka datanglah Ummi Sulaim dan mendapati Nabi berkeringat hingga mengumpul di alas ranjang yang terbuat dari kulit, lalu Ummi Sulaim membuka kotaknya dan mengelap keringat Nabi lalu memerasnya dan memasukkan keringat beliau ke dalam botol, Nabi pun terbangun:
“Apa yang kau perbuat wahai Ummi Sulaim”, tanyanya.” “Ya Rasulullah, kami mengharapkan berkahnya untuk anak-anak kami,”
jawab Ummi Sulaim. Rasulullah berkata: “Engkau benar”
(H.R. Muslim dan Ahmad)
عن أَنَسٍ قال لقد رأيت رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْحَلَّاقُ يَحْلِقُهُ وَأَطَافَ بِهِ أَصْحَابُهُ فما يُرِيدُونَ أَنْ تَقَعَ شَعْرَةٌ إلا في يَدِ رَجُلٍ ، رواه مسلم وكذا رواه احمد والبيهقي في السنن الكبرى
Aku melihat tukang cukur sedang mencukur Rasulullah SAW dan para sahabat mengitarinya. Tidaklah mereka kehendaki satu helai pun dari rambut beliau terjatuh kecuali telah berada di tangan seseorang.”
(H.R Muslim, Ahmad dan Baihaqi)
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي قُبَّةٍ حَمْرَاءَ مِنْ أَدَمٍ وَرَأَيْتُ بِلَالًا
أَخَذَ وَضُوءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يَبْتَدِرُونَ الْوَضُوءَ فَمَنْ أَصَابَ مِنْهُ شَيْئًا تَمَسَّحَ بِهِ وَمَنْ لَمْ يُصِبْ مِنْهُ شَيْئًا أَخَذَ مِنْ بَلَلِ يَدِ صَاحِبِهِ ، رواه البخاري ومسلم واحمد
Aku mendatangi Rasulullah sewaktu beliau ada di kubah hamra’ dari Adam, aku juga melihat Bilal membawa air bekas wudhu’ Rasulullah dan orang-orang berebut mendapatkannya. Orang yang mendapatkannya air bekas wudhu’ itu mengusapkannya ke tubuhnya, sedangkan yang tidak mendapatkannya, mengambil dari tangan temannya yang basah”
(H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Hajjaj ibn Hassan berkata: “Kami berada di rumah Anas dan dia membawa cangkir Nabi SAW dari suatu kantong hitam. Dia (Anas) menyuruh agar cangkir itu diisi air dan kami minum air dari situ dan menuangkan sedikit ke atas kepala kami dan juga ke muka kami dan mengirimkan solawat kepada Nabi SAW.”
[Hadits riwayat Ahmad, dan Ibn Katsir].
‘Asim berkata: “Aku melihat cangkir itu dan aku minum pula darinya.”
[Hadits Riwayat Bukhari]
abir berkata: “Nabi SAW datang setelah ‘Abdullah bin Ubay dikuburkan dalam makamnya. Beliau SAW memerintahkan agar mayatnya diangkat lagi. Beliau SAW menaruh kedua tangannya pada kedua lutut ‘Abdullah, bernafas atasnya dan mencampurnya dengan air liurnya serta mengenakan pakaian beliau padanya.”
[Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahihnya Bab al-Libaas pernah bahwa Asma’ binti Abu Bakr pernah menunjukkan pada Abdullah, bekas budaknya jubah Rasulullah yang terbuat dari kain Persia dengan kain leher dari kain brokat, dan lengannya juga dibordir dengan kain brokat seraya berkata
“Ini adalah jubah Rasulullah SAW yang disimpan ‘Aisyah hingga wafatnya lalu aku menyimpannya. Nabi SAW dulu biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk orang yang sakit hingga mereka dapat sembuh karenanya.”
Imam Nawawi mengomentari hadits ini dalam Syarah Sahih Muslim, karya beliau, juz 37 bab 2,
وفي هذا الحديث دليل على استحباب التبرك بآثار الصالحين وثيابهم
Hadits ini adalah bukti dianjurkannya mencari barokah lewat bekas dari orang-orang saleh dan pakaian mereka”

No comments:

Post a Comment