Jakarta, NU Online
Gelar “haji” tergolong cukup unik. Hanya di Indonesia saja kita
menemukan fakta pemberian gelar semacam itu. Mengenai hal ini, arkeolog
Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul
sejak tahun 1916.
“Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal
mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah
kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam
terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru
thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi ‘biang
kerok’ pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan,” beber
Agus Sunyoto di Pesantren Ats-tsaqafah, Ciganjur, Jakarta. Jumat (24/9)
Penulis buku “Atlas Wali Songo” itu menambahkan, para kolonialis
sampai kebingungan karena setiap ada warga pribumi pulang dari tanah
suci Mekkah selalu terjadi pemberontakan. “Tidak ada pemberontakan yang
tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu,”
tegasnya
Untuk memudahkan pengawasan, lanjut Wakil Ketua Pengurus Pusat
Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu, pada tahun 1916
penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang
pulang dari haji wajib menggunakan gelar “haji”.
“Untuk apa (ordonansi haji, red)? Supaya gampang mengawasi,
intelijen, sejak 1916 itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari
luar negeri diberi gelar haji,” ujar Agus.
Menurut Dosen STAINU Jakarta itu, adapun sebutan atau panggilan “Ya
Haj” yang ada di Timur Tengah hanya bersifat verbal atau ucapan
penghormatan saja, karena pemerintahan di sana tidak mengeluarkan
sertifikat haji. (Aiz Luthfi/Mahbib)
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,54744-lang,id-c,nasional-t,Asal+Usul+Gelar+%E2%80%9CHaji%E2%80%9D+di+Indonesia-.phpx
No comments:
Post a Comment