KHILAFAH DI INDONESIA
Luthfi Bashori
Ada SMS pertanyaan yang masuk ke HP penulis, tampaknya layak juga untuk ditampilkan dalam bentuk artikel pendek, agar dapat dinikmati oleh para pembaca.
RIDHO : Assalamualaikum. Ustadz saya mau tanya. Apakah demokrasi yang ada di Indonesia adalah hukumnya kufur, karena saya melihat di TVRI dalam acara Muktamar Khilafah? Terima kasih wassalam.
LUTHFI : Itu hanya pandangan HTI semata yang tidak mutlak kebenarannya.
RIDHO : Oh ya Ustadz, maksudnya pandangan yang tidak mutlak kebenarannya itu bagaimana ?
LUTHFI : Mereka menolak fiqih 4 madzhab yang memperbolehkan hukumnya satu negara dipimpin oleh seorang presiden/raja/pedana menteri sebagai pemerintah yang sah menurut syariat, asalkan para pemimpinnya tidak melarang pemberlakuan syariat Islam. Mereka hanya memperjuangkan pendapat Taqyuddin Annabhani, tokoh HTI. Padahal dunia ini mayoritas dihuni umat Islam dari 4 madzhab.
RIDHO : Ustadz, siang, 16 Juni ini masih berlanjut Muktamar Khilafah di TVRI.
LUTHFI : Kami sudah tahu persis arah pemikiran mereka, karena kami sering berdiskusi dengan kelompok HTI yang tidak pernah ketemu ujung pangkalnya. Antara lain yang kami tanyakan, kalau Indonesia ini termasuk sistem (hukum) kufur, berarti semua produk pemerintah itu hukumnya haram (kafir). Lantas apakah anggota HTI masih memiliki KTP Indonesia, sertifikat rumah, surat-surat penting lainnya produk Indonesia? Ternyata hampir semua anggota HTI itu masih memiliki surat-surat yang dihukumi haram oleh mereka sendiri itu. Berarti mereka masih setengah hati dengan keyakinannya sendiri. Ini jelas-jelas hanya pertimbangan politik duniawi semata. Jika saja semua anggota HTI konsekwen dengan keyakinannya sendiri, maka pasti mereka tidak akan mengurus KTP, KK, Akte Kelahiran, Sertifikat tanah/rumah, surat nikah, dan surat-surat penting lainnya.
Belum lagi, di Indonesia ini sekalipun belum secara mutlak dapat mengamalkan formalisasi syariat dalam hukum positif negara yang memang tetap harus diperjuangkan, namun sudah ada beberapa hukum Islam yang diadopsi oleh negara, semisal hukum perkawinan dan perceraian, maka seharusnya umat Islam lebih dapat pro aktif memperjuangakan tambahan adopsian hukum Syariat dalam sistem hukum positif.
Coba, jika saja hukum Indonesia saat ini dihukumi tidak sah secara mutlak, maka berapa banyak pasangan suami istri yang telah dinikahkan lewat wali hakim (KUA) yang harus dihukumi batal, karena wali dari pihak keluarga wanita dinilai tidak memenuhi syarat secara syar`i, maka menurut madzhab Syafi`i harus berwali kepada hakim, dalam hal ini adalah pihak KUA. Apakah perkawinan suami istri yang dinikahkan oleh wali hakim (KUA) ini juga harus dihukumi batal, dan hubungan suami istrinya dihukumi berzina serta anak-anaknya juga dihukumi anak haram? Laa haula walaa quwwata illa billah.
RIDHO : Kalau kita menemui orang atau kelompok seperti itu kita harus bagaimana ?
LUTHFI : Dulu kami agak peduli dengan mereka. Namun, karena mereka seringkali tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, dan terkesan mau menang sendiri dalam berpendapat, bahkan terkesan tidak mau menghormati para ulama yang lebih tua dalam segala aspek, maka kami tidak begitu menghiraukan mereka lagi. Apalagi pemahaman mereka itu sangat tidak cocok dengan kultur umat Islam bangsa Indonesia sebagai penerus perjuangan dakwah para Walisongo.
RIDHO : Ya Ustadz, terimah kasih atas penjelasan yang saya kira sangat jelas.
No comments:
Post a Comment