POLITIK ISLAM (FIQIH SIYASAH)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah , segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, hidayah dan karunianya yang tiada ternilai kepada penyusun, shalawat serta salam semoga tercurah pada Rasululloh Muhammad SAW, keluarga dan segenap sahabat – sahabatnya, hingga akhir jaman, Amin.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telahmemberikan bantuan, dorongan dan do’a, semoga Allah membalas amal baik yang telah dilakukan umat-Nya atassesama.Amin
Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca makalah ini sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan makalah ini, karena penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna.
Akhirnya hanya kepada-Nyalah kita memohon semoga Allah SWT menjadikan berbagai amalan kita ikhlas karena-Nya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Magelang,17 Juni 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………………. 1
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….. 2
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang………………………………………………………………………….. 4
- Rumusan Masalah……………………………………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN
- Tujuan……………………………………………………………………………………….5
- Pengertian…………………………………………………………………………………. 5
- Istilah-istilah penting dalam fiqih siya…………………………………………….. 6
- Paradigma hubungan agama dan negara dalam islam…………………………. 10
- Sistem pemilihan khalifah……………………………………………………………………… 11
- Prinsip-prinsip ketatanegaraan dalam islam……………………………………………… 12
- Politik hubungan internasional………………………………………………………………. 15
- Persoalan politik islam kontemporer……………………………………………………….. 17
BAB III PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………………………………………………. 21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………… 22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di kalangan umat islam ada yang berpendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi meyakini bahwa ”Islam adalah agama yang serba lengkap”. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dan oleh empat Khulafa al-Rasyidin.
B. Rumusan Permasalahan
- Apa pengertian dari fiqih siyasah?
- Apa saja istilah penting dalam fiqih siyasah?
- Bagaimana paradigma hubungan agama dan negara dalam islam?
- Bagaimana sistem pemilihan khalifah?
- Apa saja prinsip-prinsip ketatanegaraan dalam islam?
- Bagaimana politik hubungan internasional?
- Apa saja persoalan politik islam kontemporer?
C. Tujuan Penulisan
- Memahami pengertian fiqh siyasah ( siyasah syar’iyyah )
- Dapat memahami istilah-istilah yang berhubungan dengan pemerintahan islam.
- Dapat memahami paradigma hubungan agama dan negara dalam islam.
- Dapat mengetahui sistem pemilihan khalifah.
- Dapat mengetahui Prinsip-prinsip ketatanegaraan dalam islam.
- Dapat mengetahui politik hubungan internasional.
- Dapat memahami tentang persoalan politik islam kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
Istilah politik berasal dari kata politics ( bahasa inggris) yang bermakna mengatur, strategi, cara, dan jalan untuk meraih kekuasaan. Dalam islam istilah politik dikenal dengan siyasah syar’iyyah yang kemudian populer diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan politik islam. Secara bahasa siyasat berasal dari kata sa-sa yang berarti mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, mengarahkan dan mengendalikan sesuatu. Definisi ini selaras dengan hadis nabi SAW, sebagai berikut
“ Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Ketika nabi yang satu meningggal, digantikan dengan nabi yang lain. Dan sesungguhnya tiada nabi setelahku (Nabi Muhammad), (tetapi) akan ada banyak khalifah (pemimpin). Mereka (para sahabat) bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan untuk kami? Nabi bersabda: “ Berikanlah bai’at kepada pemimpin pertama, kemudian hanya yang pertama. Dan berikanlah hak-hak mereka (pemimpin), karena sesungguhnya ALLAH akan meminta pertanggungjawaban mereka (pemimpin) terhadap apa yang mereka pimpin.”
Secara istilah, kajian tentang politik islam di dalam khasanah fiqih sangat beragam dan variatif. Antara satu ulama dengan ulama lain berbeda-beda di dalam penggunaan terminologi. Secara etimologis ( bahasa ) fiqh adalah keterangan-keterangan tentang pengertian atau paham dari maksud ucapan Si pembicara, atau pemahaman yang mendalam terhadap maksud – maksud perkataan dan perbuatan. Secara terminologis ( istilah ), menurut ulama – ulama syara, fiqh adalah pengetahuan tentang hukum – hukum yang sesuai dengan syara mengenai amal perbuatan yang diperoleh dari dalil yang tafshil (terinci, yakni dalil-dalil atau hukum-hukum khusus yang diambil dari dasar – dasarnya dan sunah). Jadi fiqh adalah pengetahuan mengenai hukum agama islam yang bersumber dari al quran dan sunah yang disusun oleh mujtahid dengan jalan penalaran dan ijtihad.
Dari uraian tentang pengertian istilah fiqh dan siyasat dari segi etimologis dan terminologis dapat disimpulkan bahwa pengertian Fiqh Siyasah atau Fiqh Syar’iyah ialah “ilmu yang mempelajari hal – ihwal seluk – beluk pengatur urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, pengaturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasan yang sejalan dengan dasar–dasar ajaran syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
ISTILAH PENTING DALAM FIQIH SIYASAH
1. Khilafah dan khalifah
Pembahasan Khilafah secara bahasa berkaitan erat dengan bentukan kata tersebut. Kata“khilafah” seakar dengan kata “khalifah” (mufrad), khaldif (Jama), Adan Khuldfa (Jama)”. Semua padanan kata tersebut berasal dari kata dasar (fi’il madi), kholafa.
Kata ”khalifah”, dengan segala padanannya, telah mengalami perkembangan arti, baik arti khusus maupun umum. Dalam First Encyclopedia of Islam, khalifah berarti Vakil” (deputy), “pengganti” (successor), “penguasa” {vicegerent), “gelar bagi pemimpin tertinggi dalam komunitas muslim” (title of the supreme head of the muslim community)} dan bermakna. “pengganti Rasulullah”. Makna terakhir senada dengan Al-Maududi bahwa khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul.
Makna khalifah digunakan oleh Al~Quran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud [947-1000 SM] mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan. Mufassir lain, misalnya Al-Maraghi, mengartikan khalifahsebagai “sesuatu jenis lain dari makhluk sebelumnya, namun dapat pula diartikan, sebagai pengganti (waktu) Allah SWT. dengan misi untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap manusia”. Terhadap arti pertama, Al-Maraghi hampir senada dengan kebanyakanmufassir, dan terhadap arti yang kedua, ia menyandarkan kepada firman Allah kepada Nabi Daud agar menjadi pemimpin atas kaumnya, yaitu: Artinya: “Hat Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. (Q.S. Shad: 26).
Abdur Raziq berpandangan bahwa “agama Islam tidak mengenal lembaga kekhalifahan. Lembaga ini tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan, melainkan tugas-tugas peradilan dan lain-lain dari pelaksanaan kekuasaan dan negara. Agama tidak mengakui dan tidak mengingkati, tidak memerintah dan tidak melarang. Agama menyerahkan semua itu kepada pilihan yang bebas dan rasional. Pandangan senada diungkapkan Qamaruddin Khan, bahwa kata-kata khalifah di bumi ini bermakna memerintah di bumi ini adalah sesuatu yang dipaksakan terhadap Al-Quran
Politik dan tidak menunjukkan adanya teori ketatanegaraan apa pun. Demikian pula, ayat-ayat lain, tidak bisa dimanfaatkan untuk memolakan teori politik tata pemerintahan. Lebih lanjut, Qamarudiin Khan me-ngatakan bahwa, tidak ada satu ayat pun yang mengisyaratkan teori politik pemerintahan.Berbeda dengan yang lain, Ibnu Khaldun, berpandangan bahwa khalifah adalah “tuntutan syariah dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia (sosial politik), guna mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena kemaslahatan akhirat lebih utama, menurut Ibnu Khaldun, semua kepentingan dunia harus disesuaikan dengan hukum syariat agama. Di samping itu, khilafah pada hakikatnya menobatkan diri sebagai pengganti pembuat undang-undang (Nabi-Rasul) memelihara kewibawaan syariat dan mengatur urusan keduniawian”.
As-Suyuti mengutip pendapat Al-Farusi dan Muawiyyah, bahwa khilafah adalah “kepala pemerintahan umat Islam. Pendapat ini di-kemukakan pula oleh Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Al-Wahidi dan Asy-Syaukani. Keduanya membatasi masalah tersebut pada pergantian kepemimpinan Nabi secara bergantian menegakkan hukum Tuhan. Pendapat ketiga dikemukakan, misalnya oleh Al-Fairuzzabadi dari Ibnu Abbas, A2-Zamakhsyari, dan An-Nawawi. Mereka melihat kedudukan khalifah mencakup kedudukan raja-raja dan nabi-nabi sebagai pemerintah”. Batasan ini sarat dengan muatan politis.
Begitu pula, yang diungkapkan Al-Maududi, bahwa “khilafah pada hakikatnya merupakan manifestasi dari anugerah Allah, Sang Penguasa Tertinggi, Sang Hakim Agung yang sebenarnya kepada manusia yang men-jadi wakilnya dalam menegakkan kekuasaanrxlan hukum Allah di antara manusia. Konsekuensi logisnya, jika tidak, dan berlaku menegakkan hukum, selain Allah, adalah merupakan pemberontakan atau kudeta melawan Sang Penguasa, Sang Hakim Agung yang hakiki. Dengan kata lain, perilaku tersebut sama dengan mengubah anugerah menjadi musibah”.
2. Imamah
Kata “Imamah” dakm Al~Quran diulang tujuh kali dengan kandungan arti yang beragam,yakni:
Kepemimpinan
Dalam pandangan Thabathaba’i, imam atau pemimpin adalah gelar yang diberikan seseorang yang memegang kepemimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik atau pula suatu aliran pemikiran, keilmuan, juga keagamaan. Otoritas imamah juga memiliki dua sisi yang menyatu: pertama bersifat syar’i dan kedua bersifat siyasi.
Kata “Imamah” merupakan turunan dari kata amama-amm. Menurut Louis Ma’luf, kata“amama” bermakna di depan, yang senantiasa diteladani. Orangnya disebut Imam^ sedangkan imamahnya menurutnya bermakna kepemimpinan umat. Pengertian ini sejalan dengan pengertian khilafah. Lebih jelas tentang definisi imamah yang hampir sulk dibedakan dengankhalifah, sebagaimana dikutip Suyuti Pulungan (1994:45), bahwa, kebanyakan imamah didefinisikan sebagai “kepemimpinan menyeluruh yang meliputi urusan keagamaan dan keduniaan, sebagai pengganti fungsi Rasul SAW. Begitu pun At-Taftzani seperti yang dikemukakan Rasyid Ridha, imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, yakni suatu khilafah yang diwarisi dari Nabi SAW. Senada pula dengan ini, pendapat Al-Mawardi yang menyatakan bahwa, “Imamah dibentuk untuk mengganti fungsi ke-Nabian memelihara agama dan mengatur dunia. (Munawir SadzaH, 1991:63).
Deretan definisi imamah sebagaimana disebut di atas, sulit untuk membedakannya dengan kata “khilafah”. Hal ini diakui oleh Qamaruddin Khan, bahwasanya penggunaan terma imamah dan khilaj“yang senantiasa dicampuradukkan sehingga membuat kebingungan tersendki. la sendiri mengusulkan agar hanya diartikan sebagai negara atau pemerintahan, lain tidak.
Adapun dari kalangan tokoh Syi’i yang banyak menggunakan terma imam ketimbang terma lainnya, antara lain Ali Syariati, menyatakan, “Imamah merupakan doktrin keagamaan yang mesti diterima dan diimani oleh seluruh umat. Imamah bukan saja pengelola dan pemelihara masyarakat dalam bentuk yang mandeg, tanggung jawab imamah yang paling utama dalam arti politik (siyasah)”.
3. Imarah dan Amir
Kata “imarah” merupakan bentuk turunan dari kata “Amira” yang berarti keamiran atau pemerintahan. Menurut Lois Maluf (1973:192), “Imarah merupakan sebutan jabatan untuk Amir dalam suatu negara kecil yang berdaulat, yang bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan’5. Sementara menurut Ensiklopedi Islam (t.t:l:128), “Amir memiliki makna beragam, yakni penguasa, pemimpin, komandan, dan raja”.
Kata “Amir” yang bermakna konotatif kepemimpinan politis tidak digunakan dalam Al-Quran, yang ada adalah Ulil Amri (Q.S. 4:59), yang memiliki wewenang dan kekuasaan dalam mengemban suatu urusan baik yang bersifat politik pemerintahan maupun yang bersifat profesi, ataupun urusan yang bersifat ilmiah, juga termasuk syariah.
Dalam sejarah periode Islam, yakni zaman Rasul SAW. khulafa ar rasyidin, istilah Amir (pemerintahan atau gubernur yang sinonim dengan arti yang sering dipakai untuk menyebut penguasa di daerah, atau sebagai Gubernur atau juga sebagai komandan milker Amir al-Jaisyatau Amir al-Jund. Adapun makna Amir yang berkonotasi sosio-politik, yakni sebagai pemimpin kaum muslimin, muncul di dalam pertemuan di bala Saqifa sebagaimana diulas dalamEnsiklopedi Islam (t.t: 138-139). Pertemuan itu dilakukan antara kaum Muhajirin dan Anshar untuk memusyawarahkan pemimpin pengganti Rasul SAW. yang telah wafat. Ketika keduanya herkumpul, kaum Anshar berkata: “Kami adalah Umara dan kamu .cbagai Wuzara”. Akhirnya, Abu Bakr disepakati untuk menjabat jabatan khalifah dengan gelar Khalifa al-Rasul, sedangkan gelar Amir Al-Mukmin iliscmatkan pertama kali oleh khalifah Umar bin Khaththak Akan tetapi kata Amir kebanyakan digunakan untuk jabatan di bawah umum (khalifah dan Imam) atau jabatan milker.
4. Ahlul halil wal ‘Aqdi
Secara bahasa, Ahlul halil wal ‘Aqdi berarti orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat. Sementara, secara istilah Ahlul halil wal ‘Aqdi adalh orang yang bertindak sebagai wakil umat menyuarakan hati nurani mereka, yang tugasnya antara lain memilih khalifah, imam,dan kepala negara secara langsung. Ahlul halil wal ‘Aqdi sering disebut pula sebagai Ahlul ihktiar ( golongan yang berhak memilih), Ulul amri (Orang yang memiliki dan ahli dalam suatu urusan), dan Ahlu As Syuro (orang-orang yang ahli dalam bermusyawarah).
5. Baiat (Teori Kontrak Sosial)
Baiat berasal dari kata Ba’a yang berarti menjual, perjanjian, janji setia atau saling berjanji. Secara istilah Baiat adalah ungkapan perjanjian antara dua buah pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya dan kesetiaanya kepada pihak kedua secara ikhlas dalma hal urusannya. Artinya dalam baiat terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan dan kewajiban pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak keduapun mempunyai hak dan kewajiban atas pihak pertama yang diterimanya.
PARADIGMA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM
Secara sederhana, paradigma dimaknai sebagai cara pandang. Sehingga paradigma mirip jenis kaca mata yang digunakan manusia, hanya saja paradigma bukan kacamata fisik, tetapi kacamata batin, persepsi, dan akal. Paradigma sangat menentukan apa yang terjadi keyakinan manusia yang pada akhirnya menentukan perilaku mereka. Sementara secara istilah, paradigma berarti sebagai asumsi-asumsi dasar (basic asumption) yang dimiliki oleh seorang intelektual sebagai dasar pemahaman realitas.
Dalam pemikiran politik islam, menurut kajian prof. Din Syamsudin, paling tidak terdapat tiga paradigma tentang hubungan islam dan negara yang berkembang di kalangan kaum itelektual muslim atau ulama.
1. Paradigma integralistik
Paradigma ini berpandangan tentang kebersatuan antara islam dan negara (integral). Dengan kata lain, Agama dan Negara, dalam pandangan ini tidak dapat dipisahkan, wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Untuk itu pemerintahan negara harus diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (divine soveragnity), karena hal ini merupakan amanah agama. Islam tanpa negara tidak akan tegak, dan hukum-hukumnya tidak akan dapat direalisasikan, karena negara merupakan instrumen penting untuk tegaknya tatanan islam. Demikian juga, suatau negara dimana masyarakat muslim bernaung dibawahnya, kalu negara tidak manggunakan hukum agama (islam) sebagai rujukan di dalam menata dan mengurus kaum muslimin, maka negara akan rusak dan salah arah dalam mengurus kaum muslimin
Dalam konteks modern, paradigma integralistik dianut oleh beberapa negar islam modern. Negara tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa konstitusi negara tersebut adalah islam, atau berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Contoh nyata aplikasi paradigma integralistik ini dalam konteks kenegaraan adalah Iran dan Kerajaan Saudi Arabia. Sementara Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikh Muhammad rasyid Ridha, dan Imam Khomeini, adalah bebrapa tokoh intelektual Muslim yang sangat populer sebagai pendukung gagasan integralistik tersebut.
2. Paradigma Simbiotik
Paradigma ini memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik saling memerlukan. Walaupun paradigma ini memandang bahwa negara adalah bukan agama dan agama bukan negara, tetapi paradigma ini berpandangan bahwa untuk bisa tegaknya negara yang baik diperlukan prinsip-prinsip moral yang baik, dimana prinsip-prinsip tersebut hanya ada dalam ajaran agama. Pengelola negara untuk dapat mengelola negara dengan baik sangat bergantung dengan moralitas yang menjadi pijakan dan keyakina mereka. Untuk itulah agama memainkan peran penting bagi terciptanya tatanan negara yang baik, walaupun agama (islam) tersebut tidak menjadi rujukan dan tidak dilembagakan secara resmi bagi konstitusi negara.
Implementasi paradigma simbiotik ini, dapat dilihat dari beberapa negara muslim yang tidak mendasarkan secara resmi konstitusinya pada (agama) Islam atau Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Paradigma Sekularistik
Paradigma ini mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Negara berdiri harus terlepas dari pengaruh agama sama sekali, demikian juga sebaliknya agama juga harus terlepas dengan negara sama sekali. Agama dalam paradigma ini hanya sebatas urusan publik (negara), islam tidak menyinggung tentang pendirian suatau negara, baik itu dalam Al-Qur’an maupun hadits. Islam lebih banyak menyinggung tentang persoalan moral yang bersifat umum. Untuk itulah posisi islam dan negara sangat jelas, yaitu bahwa islam diturunkan oleh Allah dala rangka untuk memperbaiki moralitas masyarakat manusia yang bersifat umum apakah mereka itu memiliki negara ataukah tidak.
Contoh kongkrit dari implementasi paradigma ini adalah negara Turki modern. Dan keberhasilan Turki dalam melakukan pemisahan antara agama dan negara, memperkokoh keyakinan sebagian intelektual muslim terhadap paradigma tersebut. Ahmed Abdullah An-na’im dalam bukunya islam dan negara sekular merepresentasikan salah seorang contoh yang sangat yakin dengan paradigma sekularisme bagi masyarakat muslim.
SISTEM PEMILIHAN KHALIFAH
Permasalahan politik yang pertama kali muncul sepeninggal Rasulullah adalah siapakah yang akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan dan bagaimana sistem pemerintahannya. Masalah tersebut diserahkan kepada kaum muslimin. Rasul mengajarkan suatu prinsip, yaitu musyawarah, sesuai dengan ajaran islam itu sendiri. Prinsip musyawarah ini, dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam setiap pergantian pimpinan dari empat khalifah periode Khulafa’ al-Rasyidun, meski dengan versi yang beragam.
1. Pemilihan
Abu bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di Muktamar Tsaqifah Bani Saidah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini.
2. Penunjukan
Umar bin Khatab ditunjuk oleh Abu Bakar atas persetujuan para pemuka masyarakat dan jamaah kaum muslimin.
3. Formatur
Usman bin Affan dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang ditunjuk oleh Khalifah Umar saat menjelang ajalnya karena pembunuhan, Umar menempuh cara sendiri yang berbeda dengan cara Abu Bakar.
4. Bai’at
Ali bin Abi Thalib tampil memegang puncak pimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. Khalifah Ali dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di Madinah dalam suasana yang sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan diangkat, maka keadaan akan semakin bertambah kacau.
PRINSIP-PRINSIP KETATANEGARAAN DALAM ISLAM
1. Prinsip al-Musawah dan al-ikha (Persamaan dan Persaudaraan)
Dalam sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah, prinsip persamaan dan persaudaraan ini oleh nabi SAW dipraktekkan ketika ia menyusun piagam Madinah. Islam menganut prinsip persamaan dihadapan hukum dan penciptanya, yang menjadi pembedanya adalah kualitas ketaqwaan individu. Keberpihakan islam pada prinsip persaudaraan dan persamaan didasarkan pada tujuan yang hendak diraih yakni adanya pengakuan terhadap persaudaraan semesta dan saling menghargai diantara sesama umat manusia sehingga dapat tercipta kehidupan yang toleran dan damai.
2. Prinsip al-amanah (akuntabilitas)
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , amanah merupakan amanah rakyat yang diberikan kepada seorang pemimpin untuk menjalankan roda pemerintah yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kontrak sosial. Bagi pengemban amanah harus mampu manjalankan titah rakyat sekaligus harus mampu menjadi pelayan rakyat dan wajib hukumnya untuk bersikap adil.
3. Prinsip as-Salam (perdamaian)
Islam sebagai agama rahmatan lilalamin mengedepankan prinsip perdamaian dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan tujuan risalah yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW tersebut.
4. Prinsip at-Tasamuh (toleransi)
Sikap toleran merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap individu didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam suatu negara akan terdiri dari berbagai macam agama, suku, dan bangsa. Prinsip Toleransi berlaku universal, sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama warga negara bukan saja terhadap sesama orang islam, tetapi juga harus berlaku lintas agama dan suku.
5. Prinsip al-Huriyah (kebebasan)
Secara fitrah manusia sudah dibekali dengan daya intelektualitas dan kebebasan untuk memilih suatu keyakinan serta kebebasan untuk berpikir. Dalam islam prinsip kekebasan dalam menentukan suatu keyakinan atau memeluk suatu agama mendapatkan perhatian dalam al-Qur’an seperti dalam surat Q>S al-Baqarah (2):256.
Kebebasan dapat diperinci sebagai berikut:
- Kebebasan berfikir
- Kebebasan beragama
- Kebebasan menyampaikan pendapat
- Kebebasan menuntut ilmu
- Prinsip at-Tasyawur/ as-Syura (musyawarah)
Prinsip musyawarah merupakan prinsip yang diajarkan oleh al-Qur’an dan nabi Muhammad yang dijadikan etika politik didalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang menjadi media untuk mufakat apabila ada perselisihan pendapat.
6. Prinsip al-Adalah (keadilan, keseimbangan, dan moderasi)
Prinsip ini mengandung pengertian penegakan keadilan. Keadilan merupakan prinsip yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik di bidang hukum, ekonomi, politik, dan budaya. Karena sikap adil tersebut merupakan bagian dari pentingnya keberadaan suatu hukum dan menjadi etika politik.
7. Prinsip al-Tha’ah (ketaatan)
Ketaatan adalah suatu hal yang sangat penting bagi tegaknya sebuah pemerintahan yang baik dan teratur. Tanpa adanya kepatuhan dan ketaatan dari seluruh elemen masyarakat dan juga penyelenggara negara, maka tidak akan terwujud negara dengan pemerintahan yang baik.
PRINSIP DASAR DALAM POLITIK ISLAM
Untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, menurut Salim (1994 : 306), terdapat empat prinsip dasar dalam politik islam. Keempat prinsip itu adalah:
1. Prinsip amanat
Prinsip pertama mengandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimilikioleh pemerintahan merupakan amanat Allah dan juga amanat rakyat yang telah mengangkatnya melalui baiat.Sebagaimana amanat Allah SWT , kekuasaan politik itu dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manuasia. Penganugrahan itu dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Perjanjian itu terjalin antara sang penguasa Allah di satu pihak, dan dengan masyarakat di pihak lain. Karena itu, prinsip ini menghendaki agar pemerintahan melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi hak–hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum Allah, termasuk di dalamnya amanat yang dibebankan oleh agama dan yang dibebankan oleh individu dan masyarakt sehinggatercapai masyarakat yang sejahtera dan sentosa. Amanat yang dimaksud dengan banyak hal, salah satu di antaranya adil.
2. Prinsip keadilan
Adil menjadi prinsip kedua dalam pengelolahan kekuasaan politik. Keadilan yang dituntut itu bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat al-Qur’an yang mencakup hal ini amat banyak, salah satunya berupa teguran kepada Nabi SAW yang hampir menvonis salah seorang Yahudi, karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam kontek inilah turun firman Allah dalam Q.S al-Nisa’:105 .
“Janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah, karena(membela) orang-orang yang khianat”.
Keadilan juga mengandung arti bahwa pemerintahan berkewajiban mengatur masyarakatat dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak beraturan secara rinci atau didiamkan oleh hukum Allah. Dengan demikian, penyelenggaran pemerintahan berjalan di atas hukum dan bukan atas dasar kehendak pemerintahan atau penjabat.
3. Prinsip ketaatan
Prinsip ketaatan mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’qn dan sunnah ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan kewajiban pemerintahan wajib ditaati. Kewajiban ini tidak haya dibebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada pemerintahan. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil pemerintahan harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebijakan dinyatakan telah gugur, karena agama melarang ketaatan pada kemaksiaatan. Rakyat harus menaati pemerintah selama pemerintahan itu menaati Allah SWT dan rasul-Nya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S al-Nisa’:59 berikut.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan para pemimpinu!”.
Menutur Quraish Shihab (1999, 427), “Tidak disebutkan kata perintah taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.
4. Prinsip musyawarah
Prinsip musyawarah menghendaki agar hukum perundang-undangan dan kebijakan politik diterapkan melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang diperselisihkan para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara yang terkandung alam al-Qur’an dan sunnah Rasul Allah SAW. Prinsip musyawarah ini diperlukan agar para penyelenggara negara dapat melaksanakn tugasnya dengan baik dan bertukar pikiran dengan siapa saja yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua’ (Shihab, 1999: 429)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar golongan (non Muslim), karena mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi kamu. Mereka ingin menyusahkanmu. Telah tampak dari ucapanmu mereka kebencian, sedang apa yang disembunyikan oleh dada mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelsakan kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahaminya”.
Ayat di atas, ditulis Rasyid Ridha (dalam Shihab, 1999), mengandung larangan dan penyebabnya.
Adapun cita-cita politik Islam-seperti dikemukakan secara implisit oleh al-Qur’an-adalah:
- Terwujudnya sebuah sistem politik
- Berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap
- Terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Cita-cita politik tersebut tersimpul dalam ungkapan“baldatun thayibbatun wa rabbun ghafur”, yang mengandung konsep “negeri sejahtera dan sentosa. Dari sini tampak kedudukan kekuasaan politik sebagai srana dan wahana,sedangkan pemerintahan merupakan pelakasana bagi tegaknya ajaran agama (Salim.1994: 298).
POLITIK HUBUNGAN INTERNASIONAL
Pembagian wilayah dunia:
1. AL-‘Alam Al-Islami (dunia islam)
Al-‘alamul islami adalah negara-negara baik secara idiologis konstitusional ataupun berdasarkan komunitas memiliki afiliasai kepada islam dan kaum muslimin yang sangat nyata. Al-‘Alam islami ini terdiri dari dua kelompok, yaitu:
a) Dawlah Islamiyah (Negara Islam), yaitu negara-negara yang secara idiologis-konstitusional menyatakan dirinya sebagai negara islam. Contoh: kerajaan Saudi Arabia, Republik Islam Iran, dan Republik Islam Pakistan.
b) Baldah Islamiyah (negeri muslim/ negara-negar yang mayoritas penduduknya beragama islam), yaitu negara yang berdasarkan jumlah penduduk muslimnya adalh mayoritas.
2. Al-‘Alam al-‘Ahdi
Al-‘Alam al-‘Ahdi adalah negara-negara diluar al-alam al-islami yang berdamai dengan negara islam dan juga kaum muslimnya.
3. Al-‘Alam al-Harbi
Al-‘Alam al-Harbi adalh negara-negara yang mengambil sikap permusuhan dengan negara-negara muslim. Dan permusuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk peperangan yang bersifat ofensif kepada negara-negara muslim.
Pembagian dunia tersebut bukanlah pembagian yang permanen, artinya bisa terjadi perubahan status dari negara-negara yang ada di dunia tergantung kepada perubahan-perubahan yang terjadi didalam negeri masing-masing.
Dasar-Dasar Siyasah Dauliyah
1. Kesatuan Umat Manusia (wihdatul ummah)
Meskipun manusia berbeda suku bangsa, warna kulit, tanah air bahkan agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah. Dengan demikian, perbedaan antar manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling memberikan kelebihannya masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing.
2. Al-‘Adalah (keadilan)
Hidup berdampingan dengan damai akan terlaksana apabila didasarkan pada keadilan baik antar manusia maupun diantara manusia maupun diantara berbagai negara, bahkan perangpun terjadi karena salah satu pihak merasa diperlakukan dengnan tidak adil.
3. Al-Musawah (persamaan)
Manusia memiliki hak-hak kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia dihadapan hukum kerjasama internasional sulit dilaksanakan apabila tidak didalam kesederajatan antar negara dan antar bangsa.
4. Karunia Insaniah (kehormatan Manusia)
Kerjasama internasional tidak mungkin dikembangkan tanpa landasan saling hormat menghormati antar manusia.
5. Tasamuh (toleransi)
Dasar ini tidak mengandung arti harus menyerah kepada kejahatan atau memberi peluang kepada kejahatan. Kehidupan tidak bisa dikembangkan atas dasar dendam, kebencian, dan paksaan. Kehidupan bersama bisa dibina dan dikembangkan atas dasar pemaaf, kasih sayang, dan dialog.
6. Kerhasama Kemanusiaan
Kehidupan individu dan antar bangsa akan harmonis apabila didasarkan pada kerjasama, bukan karena saling menghancurkan satu sama lain.
7. Kebebasan, Kemerdekaan (al-huriyah)
Kebebasan yang dimaksuddisini adalah hubungan antar negara tersebut didasarkan pada kebebasan dan kemerdekaan masing-masing negara.
8. Perilaku Moral yang Baik (a-akhlak al-karimah)
Perilaku moral yang baik merupakan dasar moral didalam hubungan antar manusia, antar umat dan antar bangsa di dunia.
Hubungan Internasional Diwaktu Damai
Asas hubungan internasional adalah perdamaian dan saling membantu dalam kebaikan. Konsekuensi dari asas damai tersebut, hubungan antar satu negara dengan negara lainnya adalh saling membantu dalam kebaikan dan menghormati. Untuk itu, maka:
- Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
- Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
- Segera menghentikan peperangan apabila salah satu pihak cenderung kepada damai.
- Memperlakukan tawanan perang dengan manusiawi.
Pada saat situasi damai, negara-negra Islam yang lainnya dapat melakukan kerjasama dan perjanjian dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang menguntungkan kedua belah pihak.
Hubungan Internasional Di Waktu Perang
Peperangan antar negara dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya:
- Perang untuk mempertahankan diri. Perang dilakukan karena negaraIslam diserang oleh negara lain dan kepentingan kaum muslimin dan negara menjadi terancam.
- Perang dalam rangka dakwah. Perang juga dapat terjadi dalam rangka menjamin jalannya dakwah, artinya dakwah kepada kebenaran dan keadilan serta kepada prinsip-prinsip yang mulai tidak boleh dihalangi dan ditindas oleh penguasa manapun.
- Etika dan Aturan Perang
Menurut Prof. Dr. Djazuli paling tidak ada 10 perilaku mulia yang wajib dipegang oleh seorang muslim di dalam peperangan dengan musuh, yaitu:
1) Dilarang membunuh anak-anak.
2) Dilarang membunuh wanita
3) Dilarang membunuh orang yang sudah tua.
4) Dilarang memotong dan merusak pohon-pohon dan tanaman di ladang dan sawah.
5) Dilarang membunuh binatang ternak.
6) Dilarang menghancurkan gereja, biara, dan tempat beribadah.
7) Dilarang mencincang mayat musuh dan mayat binatang.
8) Dilarang membunuh para pendeta dan para pekerja.
9) Bersikap sabar, berani, dan ikhlas.
10) Tidak melampaui batas.
Menyangkut tawanan perang, islam mengatur untuk tidak sewenang-wenang kepada tawanan, tetapi sangat menekankan tentang nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Tawanan perang dapat dibagi dalam dua kelomok, yaitu:
1) Tawana perang wanita dan anak-anak. Mereka tidak boleh dihukum, tetapi dilepaskan, atau ditukar dengan tawanan musuh.
2) Tawanan laki-laki dewasa. Status hukum mereka diserahkan kepada kebijakan negara (penguasa) menurut kemaslahatan yang ada.
- Penghentian Peperangan dan Penyelesaian Persengketaan
Untuk menyelesaikan persengketaan, islam mengajarkan beberapa cara sebagai instrumen untuk mengakhiri konflik yang ada, yaitu:
- Perwasitan (hakam). Perwasitan dapat dilakukan manakala kedua belah piahk sepakat untuk menunjuk wasit yang mana masing-masing pihak rela menyerahkan masalah sengketanya kepada wasit yang mereka tunjuk dan mereka setujui.
- Pengadilan internasional. Yaitu pengadilan yang mengadili persengketaan antar bangsa dan mampu memaksakan keputusannya untuk ditaati oleh negara yang bersangkutan.
- Perundingan.
Di dalam fiqih siyasah, penghentian peperangan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
- Peperangan dapat berhenti karena telah tercapainya tujuan perang, yaitu menangnya salah satu pihak.
- Perjanjian damai antara kedua belah pihak yang berperang. Perjanjian damai dapat berbentuk sementara, abadi, maupun keamanan.
PERSOALAN-PERSOALAN POLITIK ISLAM KONTEMPORER
A. Kepemimpinan Wanita
1. Wanita tidak memiliki hak dalam kekuasaan politik
Pandangan ini pada umumnya dianut oleh kaum fundamentalis dan literalis. Mereka mengguanakan nash-nash baik al-Qur’an maupun as-Sunah dengan pemahaman yang bersifat literalis, bukan kontekstual, sehinggga mereka berkesimpulan kaum wanita tidak memiliki otoritas kepemimpinan.
2. Wanita memiliki hak terbatas dalam kekuasaan politik
Pandangan ini merupakan pandangan umum ulama islam klasik. Menurut mereka, perempuan bisa menduduki semua jabatan politik, kecuali kepemimpinan agung. Sedangkan untuk cakupannya lebih terbatas keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
3. Wanita memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki dalam masalah kekuasaan politik
Pandangan ini banyak dikemukakan oleh para ahli kontemporer. Secara substantif, Allah memberi beban yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, setiap lelaki dan perempuan sama-sama memiliki kewajiban patuh kepada Allah. Konsekuensi dari sistem ilahi ini adalah bahwa masing-masing lelaki dan permpuan bersam dan setar dalam keseluruhan Hak Asasi Manusia, tanpa diskriminasi.
Oposisi dalam Islam
- Pengertian dan Fungsi Oposisi
Oposisi berasal dari bahasa inggris opposition dan bahasa latin, oppositus, opponere, yang bermakna memperhadapkan, membantah, menyanggah, dan menentang. Di dalam islam opsisi dikenal dengan istilah “mu’aradhoh” yang berarti behadap-hadapan, mencegah, berbeda, menjauhi, dan persaingan. Dalam bahsa politik oposisi adalah partai yang memiliki kebijakan atau pendirian yang bertentangan dengan garis kebijakn kelompok yang menjalankan pemerintahan.
Umat islam dianjurkan untuk menjadi oposisi yang loyal, konstruktif, dan reformatif. Hal ini berkaitan dengan amar ma’ruf nahi mungkar (nasihat menasihati dan mencegah kemungkaran).
- Prinsip-prinsip oposisi dalam Islam
Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf nahi mungkar, disamping etika perbedaan pendapat. Karena, tujuan oposisi adalh meluruskan, memberikan hasil positif, dan memperbaiki bukan menjatuhkan. Landasan-landasan moral oposisi adalah sebagaimana yang dirangkum Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Ikhtilaf-nya adalah:
1) Ikhlas karena Allah serta demi kemaslahatan umat dan bangsa bukan karena nafsu.
2) Meninggalkan fanatisme terhadap individu, partai, maupun golongan.
3) Berprasangka baik dan berfikiran positif kepada orang lain.
4) Tidak menyakiti dan mencela.
5) Menjauhi debat kusir dan ngotot tanpa argumentasi jelas.
6) Dialog dengan cara sebaik-baiknya.
7) Bersikap adil dalam menilai dan bersikap.
8) Memperhatikan skala prioritas.
9) Mengedepankan persatuan dan menjauhi perpecahan.
Demokrasi Dalam Islam
Penentang Demokrasi Barat
1) Al-Maududi
Al-Maududi menganggap demokrasi modern (barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurtnya islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).
2) Mohammad Iqbal
Menurutnya, demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Karenanya, islam tidak dapat menerima model demokrasi tersebut yang telah kehilangan basis moral dan spiritual.
3) Muhammad Imarah
Menurutnya, wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihat untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syari (legislator) sementara manusia sebagai faqih (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
- Pendukung Demokrasi
1) Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya:
- Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tirani juga sejalan dengan islam.
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip islam.
2) Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarahkan pada sikap menghalalkan yang haram. Karena itu dia menawarkan adanya islamisasi demokrasi, yaitu:yanhttps://evilprincekyu.wordpress.com/wp-admin/post-new.phpg duduk di parlemen.
KESIMPULAN
Secara bahasa siyasat berasal dari kata sa-sa yang berarti mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, mengarahkan dan mengendalikan sesuatu.
Permasalahan politik yang pertama kali muncul sepeninggal Rasulullah adalah siapakah yang akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan dan bagaimana sistem pemerintahannya. Masalah tersebut diserahkan kepada kaum muslimin. Rasul mengajarkan suatu prinsip, yaitu musyawarah, sesuai dengan ajaran islam itu sendiri.
Adapun cita-cita politik Islam-seperti dikemukakan secara implisit oleh al-Qur’an-adalah:
- Terwujudnya sebuah sistem politik
- Berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap
- Terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Oposisi berasal dari bahasa inggris opposition dan bahasa latin, oppositus, opponere, yang bermakna memperhadapkan, membantah, menyanggah, dan menentang. Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf nahi mungkar, disamping etika perbedaan pendapat. Karena, tujuan oposisi adalAh meluruskan, memberikan hasil positif, dan memperbaiki bukan menjatuhkan.
Asas hubungan internasional adalah perdamaian dan saling membantu dalam kebaikan. Konsekuensi dari asas damai tersebut, hubungan antar satu negara dengan negara lainnya adalh saling membantu dalam kebaikan dan menghormati. Untuk itu, maka:
- Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
- Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
- Segera menghentikan peperangan apabila salah satu pihak cenderung kepada damai.
- Memperlakukan tawanan perang dengan manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA
- P3SI UMM 2013, pranata sosial dalam islam, Magelang
- http://languagecommunity.blogspot.com/
- http://kamalsukses.blogspot.com/
- http://syukronjamils.blogspot.com/2013/04/
No comments:
Post a Comment