Menonton video di youtube penampilan Emha Ainun Nadjib dengan Kyai
Kanjeng-nya yang diadakan oleh Takmir di Masjid Al Azhar Fakultas Hukum
UII Yogyakarta pada Maret 2012, bersama Pak Busyro Muqoddas ( mantan ketua KPK ) sungguh menjadi tauziah menarik buat kami.
Judul tema yang cukup berat yaitu ”Membentuk Culture Kenabian dalam
Masa Kontemporer”, disajikan dengan ringan dan mengundang riuh gelak
tawa hadirin dan tentu saja kami, yang hanya menyaksikan di layar monitor komputer mengisi malming ( malam mingguan ) di rumah.
Tuesday, March 25, 2014
Mbah Sidiq.. Cerpen Gus Mus
Berita tentang Mbah Sidiq sudah sampai ke daerah
kami. Entah siapa yang mula-mula menyebarluaskannya. Yang jelas, kini
kebanyakan penduduk-sebagaimana penduduk di beberapa daerah lain-sudah
seperti mengenal Mbah Sidiq, meski belum pernah bertemu dengan orang
yang dianggap istimewa itu. Memang ada diantara mereka yang mengaku
sudah mengenalnya secara pribadi, bahkan mengaku sudah menjadi orang
dekatnya. Sering dibawa-bawa pergi keliling. Bila si Mbah datang ke
daerah kami, selalu singgah ke rumah mereka. Dari mereka inilah nama
Mbah Sidiq “melegenda”, termasuk di daerah kami.
Lukisan Kaligrafi... cerpen Gus MUs
Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya Hardi. Pelukis yang
capai mengikuti idealismenya sendiri lalu mengikuti jejak banyak seniman
yang lain: berbisnis; meski bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang
dikuasainya. Seperti kebanyakan bangsanya, Hardi sangat peka terhadap
kehendak pasar. Dia kini melukis apa saja asal laku mahal. Mungkin
karena kecerdasannya, dia segera bisa menangkap kela-kuan zaman dan
mengikutinya. Dia melukis mulai perempuan cantik, pembesar negeri,
hingga kaligrafi.
Lebaran tinggal 1 Hari Lagi... Cerpen Gus Mus
Oleh : A. Mustofa Bisri
Saat pamit dua minggu yang lalu, suaminya berjanji akan pulang
sebelum lebaran. Kini lebaran sudah tinggal satu hari dan belum ada
kabar berita dari suaminya itu. Hatinya jadi gelisah. Sebetulnya
suaminya pergi seminggu-dua minggu sudah biasa. Selama ini dia sama
sekali tidak pernah merasa gelisah. Tapi ini menjelang lebaran. Selama
ini mereka selalu berlebaran bersama. Mungkin juga berita-berita yang
selalu didengarnya, turut mempengaruhi batinnya.
Setelah ledakan bom di Bali, tampaknya semua orang
bisa saja diciduk aparat. Setiap rumah bisa digeledah polisi. Seperti
beberapa orang yang dicurigai polisi itu, dia juga tidak begitu
mengetahui kegiatan suaminya di luaran. Selama ini, sebagai orang yang
berasal dari desa yang dikawin orang kota, dia merasa tidak pantas bila
bertanya macam-macam urusan lelaki. Jika suaminya bilang bisnis, itu
sudah cukup baginya; dia tidak pernah kepingin tahu bisnis apa. Tapi
sekarang, dia mulai was-was. Jangan-jangan apa yang dibilang suaminya
bisnis itu merupakan kegiatan seperti yang dilakukan oleh mereka yang
saat ini dicurigai polisi itu. Ah, tapi tidak. Suaminya orangnya lembut
dan tidak neko-neko. Tidak mungkin. Tapi kebanyakan yang ditangkap
polisi itu sepertinya juga tidak tampak sangar dan neko-neko. Ah.
Sehabis menidurkan anak semata wayangnya, Siti sembahyang Isya’.
Tidak seperti biasanya, kali ini doanya panjang sekali. Semua doa yang
dihafalnya dibaca semua, bahkan ditambah doa dengan bahasa ibunya. Dia
pernah mendengar dari seorang kiai, doa menggunakan bahasa ibu, terasa
jauh lebih khusyuk. Ternyata benar. Air matanya sampai berlelehan saat
dia meminta keselamatan suaminya.Dia teringat semua kebaikan suaminya yang selama ini tidak begitu ia perhatikan. Bicaranya yang selalu lembut kepadanya. Jika pulang dari bepergian, jauh atau dekat, selalu tidak lupa membawa oleh-oleh untuk dirinya dan anak mereka. Bila memberi uang, suaminya tidak pakai hitungan. Seringkali, belum sempat dia meminta, suaminya seperti sudah tahu dan langsung memberikan uang yang ia perlukan. Tidak jarang suaminya, jika sedang di rumah, ikut membantunya; tidak hanya momong anak, tapi juga mencuci dan di dapur.
Siti tersenyum sendiri, teringat ketika suaminya berlelelahan air matanya saat membantunya merajang bawang merah. “Ya Allah, lindungilah suamiku! Jauhkanlah dia dari segala mara bahaya!”
Ketika kemudian Siti merebahkan badannya di sisi anaknya yang pulas, dia masih terus berzikir. Tiba-tiba terdengar suara orang menggedor-gedor pintunya. Buru-buru Siti meloncat turun. Sejenak dia merasa lega. Ini pasti suaminya. Alhamdulillah. Namun betapa kagetnya ketika baru saja dia membuka pintu, beberapa orang berhamburan masuk. Semuanya berwajah waspada atau lebih tepatnya angker.
“Kami petugas,” kata salah seorang di antara mereka, “Kami mendapat perintah mencari suami Anda. Anda istri Mat Soleh?”
Siti hanya mengangguk asal mengangguk. Pikirannya tak karuan. Ketika dilihatnya orang-orang itu menyebar ke seluruh ruang rumahnya, yang terpikir oleh Siti hanyalah anaknya yang sedang tidur. “Tolong jangan terlalu berisik!” pintanya, “anak saya baru saja tidur.”
Tapi tak ada gunanya. Dari biliknya, Intan, anaknya yang baru berumur lima tahun itu sudah keluar sambil menangis, memanggil-manggilnya. Siti segera menghambur memeluk buah hatinya itu sambil berusaha menenangkannya. “Bu, takut! Siapa mereka ini, Bu?” tanya si anak masih sesenggukan.
“Syhh, syhh, tidak ada apa-apa, sayang. Bapak-bapak ini petugas yang sedang mencari sesuatu.” Siti asal menjawab. “Bapal-bapak inilah yang sering ibu ceritakan sebagai pelindung-pelindung kita.”
Orang-orang itu mengobrak-abrik seisi rumah. Tak ada satu benda pun yang selamat dari pemeriksaan mereka. Bahkan grobok tempat makanan pun mereka udal-udal, entah mencari apa? Salah seorang di antaranya mencecar Siti dengan pertanyaan-pertanyaan tentang suaminya. Kapan kenal, kapan kawin, bagaimana kelakuannya selama ini; dan kapan terakhir bersama suaminya. Semua pertanyaan dijawab Siti apa adanya. Setelah puas dan tidak mendapatkan apa yang mereka cari, seorang di antara mereka pun memberi isyarat pergi. Namun sebelumnya dia masih sempat mengatakan kepada Siti bahwa mereka akan datang lagi.
Begitu mereka keluar, Siti buru-buru menutup pintunya sambil berdoa semoga mereka tidak berubah pikiran dan balik lagi. Dia kembali menidurkan anaknya dan berbaring di sampingnya dengan pikiran yang kalut. Ternyata apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Suaminya dicari polisi. Bagaimana mungkin. Seingatnya, suaminya tidak pernah bohong dan menyembunyikan sesuatu kepadanya. Kalau benar dugaan polisi, pastilah Mat Soleh, suaminya itu, aktor yang luar biasa. Atau dia yang terlalu lugu sebagai istri, sehingga suaminya merahasiakan sesuatu selama ini tanpa sedikit pun dia mengetahuinya. Jadi selama ini suaminya pergi tidak untuk bisnis seperti yang dikesankan kepadanya. Ah, terlalu kau, Kang. Tega benar kau mendustaiku.
Besok paginya, koran-koran memuat berita tentang temuan baru polisi dengan huruf besar di halaman depan. “Polisi Menemukan Tokoh Intelektual Pengeboman Bali”; “Diduga Otak Pengeboman Bali Berinitial MS”; “Polisi Sedang Mencari Mat Soleh, Otak Pengeboman di Bali”. Semua menceritakan pernyataan dari Tim Investigasi yang mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikan terhadap para tersangka, telah ditemukan tokoh intelektual pengeboman di Bali yang selama ini dicari-cari. Diceritakan juga bahwa polisi sudah melakukan penggerebekan di rumah tersangka, namun tidak menemukan tersangka yang dicari. Juga dilaporkan bahwa rumah tersangka juga telah digeledah, namun polisi tidak menemukan apa-apa.
Siti tidak bisa membendung tangisnya. Sambil mengelus-elus anaknya, dia terus mengucap doa, “Ya Tuhan, selamatkan suamiku! Selamatkan suamiku!” Tiba-tiba dirasanya ada seseorang yang memeluknya dari belakang.
“Hei, ada apa ini?” Terdengar suara lirih, “Ada apa dengan suamimu? Ini suamimu telah datang, sayang. Kenapa pintu tidak dikunci? Sengaja menungguku, ya? Lihat. Seperti janjiku, aku datang sebelum lebaran.”
Siti kaget. Dibalikkan tubuhnya dan masya Allah, dilihatnya suaminya tersenyum dengan lembut. Dipagutnya suaminya dan diciuminya kedua pipinya habis-habisan. Meski bingung, suaminya hanya tertawa-tawa saja melihat kelakuan istrinya yang tidak seperti biasanya. Mungkin rindu, pikirnya. Atau mungkin karena merasa bahagia karena dia menepati janji dan mereka bisa berlebaran bersama.
Setelah melepaskan suaminya, Siti tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika suaminya bertanya ada apa, Siti tidak menjawab. Hanya terus tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika suaminya keluar akan ke kamar mandi, Siti masih tersenyum-senyum sendiri; kali ini sambil mendesiskan syukur, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamdu! (*)
Kang Kasanun.. Cerpen Gus MUs
Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku
ceritakan ini, baik dari ayah atau kawan-kawannya seangkatan di
pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan seringkali aku
membayangkannya seperti Superman, Spiderman, atau si Pesulap Mandrake.
Wah, seandainya aku berkesempatan bertemu dengannya dan dapat satu ilmu
saja, lamunku selalu. Ayah maupun kawan-kawannya selalu menyebutnya
dengan Kang Kasanun. Tidak ada yang menyebut namanya saja. Boleh jadi
karena faktor keseniorannya atau karena ilmunya.
Bidadari Itu Di bawa Jibril ... Cerpen Gus mUs
Sebelum jilbab populer seperti sekarang
ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang
muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di
madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa
Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil
belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi
dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan
keagamaan.
Mbah Dullah
Berkenaan dengan haul Simbah KH.
Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat
itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25
Sya'ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
MBAH DULLAH
Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.
MBAH DULLAH
Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.
Mbok Yem... Cerprn Gus Mus
Oleh: A. Mustofa Bisri
Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.
Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.
Monday, March 24, 2014
Tawasulan ketika Menghadapi Ujian
Bismillahirrahmanirrahim
Saya Ijazahkan
Kepada Saudara yang saya terima dari ayah saya
Amlan ketika menghadapi ujian dan sebelum mengerjakan atau menjawab Tes
Kasyaf Kiai Kholil Terhadap Uang Haram
Al khidlir Ibn Abdullah Ibn Yahya Al Mushalli berkata : Ayahku
menceritakan kepadaku :’ bahwa kami (ayahku) pernah suatu ketika sedang
berada dimadrasah syaikh Abdul Qadir Al Jilani, dan khalifah
Al-Mustanjid datang untuk menghadap / bersilaturahim kepada beliau
(syaikh abdul qadir al jilani), dan meminta ridha / barokah beliau.
Gus Miek dan Nabi Khidir
salamun koulammirobirroqiim..sesepuh,pinisepuh,mas ts,dan teman2 semua...
ijin menyimak mbah...
Setelah menunjukkan kemampuannya kepada kedua orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus MIek melanjudkan studinya di Lirboyo. Di tengah-tengah penddidikannya di Lirboyo, Gus Miek justru pergi ke Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Jawa Tengah.
ijin menyimak mbah...
Setelah menunjukkan kemampuannya kepada kedua orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus MIek melanjudkan studinya di Lirboyo. Di tengah-tengah penddidikannya di Lirboyo, Gus Miek justru pergi ke Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Jawa Tengah.
Nasihat Nabi Khidir Ke[ada Pengasuh Pon Pes Lirboyo
Suatu saat Ponpes Lirboyo termasuk salah satu ponpes yang akan di bantu
oleh pemerintah Orba dengan Partai tunggalnya (Partai Beringin /
Golkar), Datanglah utusan dari Pemerintah pada saat itu untuk menawarkan
bantuan berbentuk pemberian dan pemasangan Listrik Ponpes secara gratis
tanpa di pungut biaya.
Utusan tersebut menemui Mbah Yai Mahrus Aly sebagai salah satu sesepuh dan orang penting di lingkungan pondok.
Utusan tersebut menemui Mbah Yai Mahrus Aly sebagai salah satu sesepuh dan orang penting di lingkungan pondok.
Adab menuntut Ilmu
Dalam penulisan agung
“Ihya’ `Ulum al-Din” karangan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, beliau
telah membuat satu garis panduan adab pelajar dalam menuntut ilmu.
Dalam penulisannya, beliau telah mengenalpasti 10 panduan yang boleh
dijadikan asas pedoman kepada para pelajar. Asas-asas ini perlu
dihayati dan dicernakan dalam diri para pelajar dalam usaha mereka
menuntut ilmu sama ada di peringkat rendah atau di peringkat pengajian
tinggi.
Keutamaan Shalawat
Makna Kata ‘Shalawat’
Perkataan shalawat berasal dari bahasa Arab: ( الصلوات ), diambil dari perkataan shalat (الصلاة) yang bererti doa atau pujian. Shalawat Allah Subhanahu wa Ta’ala ialah pujian-Nya di sisi para malaikat. Shalawat malaikat ialah doa memohon tambahan gandaan pahala.
Perkataan shalawat berasal dari bahasa Arab: ( الصلوات ), diambil dari perkataan shalat (الصلاة) yang bererti doa atau pujian. Shalawat Allah Subhanahu wa Ta’ala ialah pujian-Nya di sisi para malaikat. Shalawat malaikat ialah doa memohon tambahan gandaan pahala.
Penting Maulid Nabi dan Amalan amalannya
Para sarjana sejarawan Islam berbeda pendapat tentang tanggal
sebenarnya kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sementara
hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Al Imam
Muslim hanya menyebut bahwa Beliau lahir pada hari Senin tanpa menyebut
hari bulannya. Siapa saja yang membaca karya-karya sejarah Islam yang
besar seperti Al Bidayah wa Al Nihayah oleh Al Imam Ibn Katsir
(meninggal 774H) akan melihat berbagai pendapat tentang tanggal dan
bulan kelahiran Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hukum Ziarah Kubur serta adab Ziarah
Beberapa hari belakangan ini banyak pemberitaan mengenai kubur salah
seorang da’i nasional yang diziarahi oleh masyarakat banyak. Namun,
ziarah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tersebut menuai
kontroversi dan kritik dikarenakan sudah melanggar batasan-batasan Islam
mengenai ziarah.
Berikut ini kami ringkaskan pembahasan mengenai hukum ziarah kubur dan adab-adabnya dari kitab Fiqih Islami wa Adilatuhu karangan Syaikh Prof. DR. Wahbah Az Zuhaili, seorang ulama fiqih dari Suriah yang sangat masyhur. Kami lengkapi juga dari sumber-sumber lain.
Berikut ini kami ringkaskan pembahasan mengenai hukum ziarah kubur dan adab-adabnya dari kitab Fiqih Islami wa Adilatuhu karangan Syaikh Prof. DR. Wahbah Az Zuhaili, seorang ulama fiqih dari Suriah yang sangat masyhur. Kami lengkapi juga dari sumber-sumber lain.
Ka'bah dari masa ke masa
Awalnya, Mekkah hanyalah sebuah hamparan kosong. Sejauh mata
memandang pasir bergumul di tengah terik menyengat. Aliran zamzamlah
yang pertama kali mengubah wilayah gersang itu menjadi sebuah komunitas
kecil tempat dimulainya peradaban baru dunia Islam.
Pendidikan Adab K.H Hasyim As'ary
Tidak banyak yang mengetahui jika KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang tokoh pendidikan yang sangat komplit. Kebanyakan masyarakat Indonesia,
baik warga Nahdatul Ulama (NU) lebih-lebih di luar NU hanya tau jika
KH. Hasyim Asy’ari hanyalah seorang ulama sekaligus aktivis. Pendiri NU
ini adalah sosok pendidik yang sumbangsihnya dalam dunia pendidikan
tidak bisa disepelekan.
The Concept of Beauty of Islam
Actually
such person, before pronouncing that judgment, should first of all
understand the message of Islam, that is, the true nature of the religion
itself. Is it a religion that goes against the very nature of the human
being or that creates a wedge between man and his nature?
Ketika Hidayah Menembus Jiwa
Namaku Erlina, aku ingin berbagi cerita kepada saudariku muslimah,
bukan untuk mengajarkan tentang fiqih atau hadits atau hal lainnya yang
mungkin ukhti muslimah telah jauh lebih dulu mengetahuinya daripada aku
sendiri. Karena di masa lalu, aku beragama Kristen…
Islam Kaffah
Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silmi secara utuh,
dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu
musuh yang nyata bagi kalian. (QS. Al-Baqarah: 208).
Ayat di atas selalu dijadikan rujukan oleh sekelompok muslim untuk mengkampanyekan istilah “Islam Kaffah” atau “Islam utuh”. Dalam pandangan mereka, ayat ini merupakan ajakan wajib bahwa setiap muslim harus menjalankan ajaran Islam secara utuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki; dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Ayat di atas selalu dijadikan rujukan oleh sekelompok muslim untuk mengkampanyekan istilah “Islam Kaffah” atau “Islam utuh”. Dalam pandangan mereka, ayat ini merupakan ajakan wajib bahwa setiap muslim harus menjalankan ajaran Islam secara utuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki; dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Pengalaman Mukzizat Sedekah
akang-akang, teteh-teteh, sebagai makhluk sosial kita pasti saling
membutuhkan kan yaaa, petani butuh tukang pupuk, tukang pupuk butuh
petani. penumpang butuh angkot, angkot butuh penumpang. dan perlu
disadari bahwa ternyata orang kaya butuh orang miskin, orang miskin
butuh orang kaya.
Pengalaman Puasa nabi Daud
Alhamdulillah, ternyata sudah hampir 2
bulan lebih saya menjalankan ibadah puasa sunnah yakni Puasa Dawud.
Kawan-kawan pasti tahu kan Puasa Dawud? Yup, betul sekali!! Puasa Dawud
adalah Puasa yang dilakukan secara selang-seling yakni sehari puasa dan
sehari tidak berpuasa, serta tentu saja tidak berpuasa pada hari
diharamkannya berpuasa yakni hari Tasyriq dan hari raya ‘idul Fitri
dan Hari Raya ‘Idul Adha. Sekali lagi Alhamdulillah Yaa Rabbii..Engkau
kuatkan aku, sehingga mampu menjalankan ibadah puasa sunnah yang paling
afdhol ini.
Sunday, March 23, 2014
Kementerian Agama Remunerasi 2014
Banyak
kalangan terus menanyakan kapan Kementerian Agama mendapatkan tunjangan
kinerja (remunerasi) sebagai implikasi dari pelaksanaan program
Reformasi Birokrasi? Menjawab pertanyaan seputar ini, pihak Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi memastikan akan
menuntaskan program Reformasi Birokrasi dengan implikasi pemberian
tunjangan remunerasi bagi seluruh Kementerian/Lembaga pada tahun 2014
ini.
Sumber : http://itjen.kemenag.go.id
“MenPAN
& RB bertanggung jawab untuk mengawal program Reformasi Birokrasi
ini. Sesuai kebijakan, pada 2014 ini remunerasi harus tuntas untuk semua
Kementerian/Lembaga, termasuk Kementerian Agama. Mudah-mudahan tidak
terlalu lama,” demikian ungkap Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan,
Pemantauan, dan Evaluasi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur,
dan Pengawasan III KementerianPAN & RB, Naptalina Sipayung, Jumat
(22/02/2014).
Penegasan
tersebut disampaikan Naptalina saat menjadi pemateri Kegiatan PMPRB
Kementerian Agama Tahun 2014 di Hotel Horison, Bogor, Jawa Barat. Di
hadapan 65 peserta kegiatan tersebut, Naptalina meminta agar pihak
Kementerian Agama tidak berkecil hati meski terlambat dalam program
remuerasi.
“Meski
terlambat, jangan berkecil hati. Sebenarnya Kementerian Agama sudah
masuk ke-7 rombongan Kementerian/Lembaga yang sudah beres, namun masih
ada yang perlu diperbaiki karena belum lengkap. Ada 14
Kementerian/Lembaga yang belum remun termasuk Kementerian Agama, tapi
Kementerian Agama sudah beres, tinggal diperbaiki yang kurang,”
tuturnya.
Naptalina
mengingatkan Kementerian/Lembaga yang sudah mendapat tunjangan
remunerasi agar menjaga kualitas pelayanan publik sebagai salah satu
indikator pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Selain itu, perlu dijaga agar
tidak lagi ada praktek korupsi dan menjaga akuntabilitas instansi
pemerintah.
“Kalau
sudah mendapat tunjangan remunerasi, jaga kualitas pelayanan kepada
masyarakat. Jangan sampai sudah remunerasi tapi pelayanan tidak baik.
Nanti digugat masyarakat,” tukasnya. []
Remunerasi Kemneterian Agama
Dengar-dengar kabar nih, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Agama akan mendapatkan tunjangan kinerja atau remunerasi
sekitar pertengahan tahun ini (Juni 2014). Tapi jangan senang dulu,
dananya belum masuk ke dalam DIPA 2014 hehehe. Kita tunggu aja. Tarif Remunerasi PNS Kemenag yang di dapat sebesar 50% dari yang di dapat oleh pegawai kementerian Keuangan (enak betul .. :) ).
Mengenai bentuk pembayarannya, saya tidak
paham betul. Tunjangan kinerja dibayarkan sesuai dengan kinerja
aparatur atau PNS di masing-masing instansi. Selanjutnya pengukuran
untuk pembayaran tunjangan kinerja diintegrasikan dengan sistem
kompensasi yang berbasis pada sejumlah kriteria. Diantaranya adalah
beban kerja, resiko pekerjaan, dan capaian kinerja PNS tertentu.
Selama ini aturan dalam pemberian
tunjangan kinerja atau remunerasi belum dikaitkan dengan capaian
kinerja. Pembayaran hanya dikaitkan dengan grade atau tingkatan jabatan
PNS tertentu. Jadi untuk sejumlah PNS yang berada di grade sama, akan
mendapatkan tunjangan kinerja sama. Terlepas dari seperti apa kinerja
mereka.
Selain mengevaluasi sistem pembayaran
remunerasi, juga akan mengubah peraturan pemerintah mengenai sistem
penggajian PNS. Dalam perubahan itu nantinya akan diatur kembali jumlah
honor yang bakal diterima PNS. Baik itu honor rutin bulanan atau yang
dibayar setiap ada kegiatan. Pemerintah juga akan membatasi besaran
honor bulanan yang dapat diterima pegawai, karena sudah ada tunjangan
kinerja. Nantinya tunjangan kinerja tidak untuk mendapatkan dana baru
melalui APBN setiap tahunnya. Tetapi didapat dari hasil efisiensi
anggaran di masing-masing kementerian atau lembaga. Semakin besar
efisiensi yang dihasilkan, maka anggaran untuk membayar tunjangan
kinerja bakal semakin besar.
Pemberian tunjangan kinerja yang terkait
dengan reformasi birokrasi harus dimaknai sebagai perubahan kinerja
secara nyata. Tunjangan kinerja merupakan insentif bagi pegawai untuk
melaukan perubahan-perubahan kinerjanya.
Bye the way, selamat yah buat teman-teman, berikut tarif yang insya Allah teman-teman dapat :) lihat yang 50% aja ya
Gus Jakfar. Cerpen Gus Mus
Karya GUS MUS
Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
Friday, March 21, 2014
Thursday, March 20, 2014
The memorial complex of Imam al-Bukhari
The memorial complex of Imam al-Bukhari
In the village Hartang (Payaryk district, 25 km from Samarkand) is one of the most revered pilgrimage sites in Islam - the mausoleum of Imam al-Bukhari. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari - the famous theologian, the hadith collector (Hadith - the science of Hadith, reports about the sayings and deeds of Prophet Muhammad) and the author of the second most important book of the Muslims after the Koran "Al-Jomiy al-Saheeh" ("Secure book ")
Thursday, March 6, 2014
Gus Mus: Mbah Maksum Meniru Kepribadian Nabi
Sepenggal kenangan, Nasional HAUL MBAH MAKSUM LASEM
Lasem, NU Online, Haul salah seorang pendiri NU Mbah Maksum Lasem sekaligus peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Jum’at (18/1) kemarin bertepatan dengan tanggal 6 Rabiul Awwal 1434 H berlangsung sangat ramai dan khidmat. Kegiatan didahului dengan hataman Al-Qur’an dan Tahlil di makam Mbah Maksum pada sore hari yang dihadiri sekitar 7000 umat Islam laki dan wanita. Lapangan parkir bis di belakang Masjid Jami Lasem dipenuhi mobil besar dan kecil. sejak ashar dari berbagai kota, terutama dari pulau Jawa dan Sumatera. Malam harinya dilanjutkan puncak acara, yaitu pengajian umum. Panggung dipasang di pelataran Pondok Pesantren Al-Hidayat Soditan. Bangku yang disediakan memanjang hingga pertigaan jalan terisi penuh oleh jamaah yang hadir semakin bertambah banyak. Pedagang yang masar memadati pinggir jalan dari bangjo hingga depan PP An-Nuriyah. Penceramah KH Musthofa Bisri (Gus Mus) menguraikan keistimewaan Nabi Muhammad yang tersebut dalam Al-Qur’an, yakni akhlaknya yang sangat luhur. Sedangkan Nabi Yusuf AS yang ditonjolkan kegantengannya, tetapi dalam perilaku yang tetap terpuji. Kepribadian para nabi yang mulia ini ditiru oleh Mbah Maksum. Sebagai contoh kecil, beliau sarapan menunggu kehadiran tamu. Jika tidak ada tamu, ia mengajak beberapa santrinya menemani makan bersama. Ia juga selalu istiqamah shalat subuh berjamaah. Tidak jarang dengan ia membangunkan santirinya yang banyak itu satu persatu seperti anak-anaknya sendiri. Mbah Maksum sangat memperhatikan semangat belajar dan kualitas pembelajaran santri-santrinya. Gus Mus sepulang belajar dari Universitas Al-Azhar Mesir diminta mengajari santri-santrinya mengasah kemampuan bahasa Arab. Bahkan putra Mbah Maksum sendiri, KH Ahmad Syakir ayah dari Gus Zaim yang sebenarnya sudah mumpuni disuruh ikut kursus juga.
Dalam ceramahnya Gus Mus juga menyatakan keprihatinanya, pengadilan di Indonesia yang belum menyentuh para koruptor, terutama yang dilakukan oknum pejabat.yang jelas-jelas melanggar hukum. Ironisnya malah yang tidak bersalah menjadi terdakwa yang sesungguhnya korban. Seperti yang dialami cicit Mbah Maksum sekarang ini, Ning Durrotun Nafisah Lasem.
Untuk itu, Gus Mus yang juga Wakil Rais Am PBNU menutup ceramahnya dengan memimpin doa kepada Allah SWT agar Ning Dur diselamatkan dari fitnah tersebut.
Gus Mus mengajak para hadirin membaca surat al-Fatihah dengan khusu’, sampai pada penggalan ayat 'waiyyaakanasta’iin' dibaca 11 kali, yang artinya 'dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.' Amalan doa ini diperolehnya sebagai ijazah dari Mbah Munawir Krapyak Yogyakarta.
Peringatan maulid di antero nusantara sudah lazim diadakan. hal ini dalam rangka mengenang jasa dan menteladani berliau Nabi Muhammad Saw , Ini bagian dari rasa cintaa, penting dilestarikan , kenalkan pada anak/ generasi muda, sementara budaya barat seperti KEMBANG API TAHUN BARU & VALENTIN DAY, dsb dll dst terus-menerus digelontor ke indonesia anehnya budaya ini sangat digemari oleh generasi kita, ya peringatan Maulid harus kita pertahankan. sebagai bagian rasa cinta
Belajar Keteladanan kepada Mbah Ali dan Mbah Hamid Pasuruan
Masih saja lamat-lamat membayang bila memandang wajah ini, saat masih sangat belia dulu, ayah (KH. Hasbullah; red.)memanggil saya utk diajak ke kamar tamu depan rumah mbah kakung, sebutan keluarga untuk kakek KH. Ali Maksum rahimahullah wa nafa’ana bi’ulumih. Ingatan masa lampau –entah kenapa, sering berujud gambaran yang blur dan agak ‘berkabut’. Termasuk saat itu.
Begitu masuk ke kamar tamu, ayah mengenalkan dan meminta doa restu untuk saya. Kontras dengan di dalam ruangan yang temaram, di depan saya adalah sesosok besar yang seperti diliputi cahaya, bersurban, wajah yang bersenyum. Masih saja saya ingat setelah itu tangan beliau memegang dan mengusap-usap kepala saya. Saya tak berkata apa-apa, hanya yang saya ingat di depan Mbah Hamid Pasuruan quddisasirruh, kyaigung waliyyullah ini (tentu setelah beberapa tahun setelah itu baru saya tahu), saat itu berlangsung suasana tenang.
Bila rawuh di Krapyak, sering terutama saat peringatan haul Mbah Munawwir akhir dekade 70-an dan awal 80-an, di luar kamar tamu selalu penuh dengan orang. Ada yang menunggu untuk sekedar dapat memandang wajah beliau atau untuk dapat bersalaman atau bahkan dapat matur untuk memohon doa. Beliau biasa rawuh, seingat saya, sore menjelang puncak acara Haul, untuk kemudian sudah kondur isya’ awal menjelang mulai pengajian Haul. Selama kerawuhan beliau, sekitar kamar tamu selalu “dikepung” orang-orang hingga beliau masuk ke mobil sedan untuk kondur pulang . Rubungan-rubungan seperti itu selalu berlangsung dengan dihinggapi suasana tenang dan hidmat. Jauh dari hiruk pikuk.
Peristiwa lampau yang terkenang,–entah kenapa, hampir selalu ikut menjadi konsiderasi dalam membuat gambaran-gambaran. Termasuk, dalam suatu majlis pengajian pasan terakhir beliau, ‘mbah Kakung, ketika menjelaskan hadis ra’sul hikmah, teringat dengan dialog beliau dengan Kyai Hamid :
Mbah Ali : Bagaimana sih kau bisa mencapai hal yang seperti ini?
Mbah Hamid : Dulu itu aku selalu merenung-renungkan sabda Nabi dalam hadits : رأس الحكمة مخافة الله. (Maknanya : Inti puncak hikmah adalah khasyah kepada Allah.)
Seperti ada yang mengganjal, mungkin Anda agak tidak nyaman dengan pertanyaan Mbah Ali dengan cara seperti itu. Tidak perlulah dialog ditulis dengan eufimisasi, atau penghalusan ekspresi dialog beliau berdua. Memang seperti itulah keadaannya. Mbah kakung dalam berbagai pengajian saat menyinggung konsep perwalian sangat kental dengan ajaran Imam Ghozali (Gazalian sufism) dan mengidolakan sosok seperti mbah Hamid, sebagai wali salik. Tapi apa dengan dengan cara seperti itu? Begitulah. Secara kebetulan, beliau berdua masih kerabat, sama-sama teman semenjak kecil, berguru dengan dua guru besar yang sama yakni Mbah Ma’shum Lasem (ayahanda beliau sendiri) dan Mbah Dimyati Abdullah (adik dan murid Syeikh Mahfudz) Termas. Akhirnya sama-sama ngiyai dan berbesanan. Watak, gaya, lingkungan daerah dan jenis bidang garapan yang berbeda tidak mengurangi sinergitas dan koneksitas yang kuat dan saling menguatkan.
Mbah Hamid bersuara lirih, tidak diketahui suka berpidato, tinggal di Pasuruan, daerah tapal kuda bagian Timur Jawa, dan tidak dikenal dalam struktur NU. Tapi beliau min abdaali Jawah pada zamannya. Di sisi lain, Mbah Ali dikenal sebagai kiyai ‘srengat’, dan cenderung berpembawaan rasional, bergaya penuh gengsi khas superioritas fuqaha dalam urusan otoritas ilmu dan ajaran Syari’ah di atas siapapun. Apalagi beliau saat itu menjadi lurahe kiyai-kiyai dan menjadi pengurus syuriah NU. Namun, yang tidak banyak diketahui publik umum, urusan-urusan dan keputusan penting NU dengan penuh hormat oleh beliau dan para kiyai di‘inapkan’ terlebih dulu di Pasuruan, kepada Mbah Hamid. Diam-diam, tenang, dan jauh dari publisitas. Adakah hal yang seperti itu berlangsung sekarang? Saya yakin (untuk berharap) seperti itu adanya.
Rahimahumullah wa askanahum fasiha jannatih wanafa’ana bi ‘ulumihim wa a’aada ‘alaina min asraarihim wa barakaatihim, wa ilaa hadlratin Nabiy alFaatihah.
Ribuan pelayat mengusung jenazah KH Ahmad Warson Munawwir, pengasuh PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta menuju masjid untuk disholatkan di sepajang Jalan DI. Panjaitan, Yogyakarta, Kamis (18/04/2013). KH Ahmad Warson Munawwir merupakan penulis dan menyusun Kamus Al-Munawwir, yakni kamus Bahasa Arab-Indonesia terlengkap dan paling tebal di Indonesia. Almarhum meninggal sekitar pukul 05.00. Jenazah dimakamkan di makam Dongkelan Bantul dengan upacara pemberangkatan di PP Al-Munawwir Krapyak kemarin sore.
Nahdliyin Gelar Doa untuk Mbah Warson, Jum'at, 19 April 2013 18:11 DUTAonline, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar kegiatan tahlilan selama 7 hari dan sembahyang ghaib untuk al magfurllah KH Achmad Warsun Munawwir yang akrab disapa Mbah Warson, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. “Tahlilan pertama di mulai sehabis sholat Jum’at tadi,” ujar Pengurus lakpesdam PBNU, Ahmad Satiri kepada Dutaonlin di Jakarta, Jum’at, (19/4).
Ratusan warga nahdliyin dan pengurus PBNU turut hadir dalam kegiatan yang dipusatkan di Masjid An-Nahdlah, Gedung PBNU, Kramat Raya nomor 164, Jakarta Pusat. Selain melakukan sholat ghaib berjamaah, nahdliyin juga menggelar tahlilan dan doa bersama selama 7 hari berturut-turut.
PBNU juga mengimbau kepada seluruh lembaga, lajnah, dan badan otonom NU untuk menggelar tahlilan dan doa bagi alm Mbah Warsun, seorang putra pengasuh pondok pesantren salafiyah tertua di Yogyakarta, KH Munawwir.
Mbah Warsun, merupakan penulis Kamus Bahasa Arab-Indonesia terkenal yang berjumlah sedikitnya 1600 halaman, menutup usia di kota Yogyakarta pada pukul 6.00, Kamis (18/4) pagi. Mbah Warson wafat pada usia kurang lebih 79 tahun (1934-2013). Jenazah Mbah Warsun dimakamkan di Desa Dongkelan, makam keluarga besar Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Saat pemakaman, Kamis, (18/4) kemarin, ribuan santri dan masyarakat saling berjubel untuk ikut menandu keranda jenazah dari Pesantren Krapyak menuju Dongkelan yang jaraknya lumayan jauh. Banser siap siaga, mengatur jalan dan keamanan. Para kiai tak mau kalah, ikut serta berebut keranda. Bahkan KH Musthofa Bisri (Gus Mus) juga ikut menandu keranda jenazah Kiai Warson.
Saat acara menjelang pemakaman, KH Asyhari Abta, Rais Syuriyah PWNU DIY, memberikan sambutan atas nama keluarga. Sedangkan atas nama masyarakat diwakili KH A Malik Madany, Katib Aam PBNU. Adapun doa dipanjatkan oleh KH Zainal Abidin Munawwir dan KH Musthofa Bisri.
Salah satu santri Kiai Warsun, KH Habib Syakur, merasa sangat kehilangan dengan kepergian beliau. Kiai Habib merasa sangat diperhatikan Kiai Warsun, bahkan sampai urusan rumah tangga sekalipun.
“Karena saya merasa bahwa saya adalah salah satu santri yang sangat diperhatikan oleh beliau. Mulai dari urusan kerumahtanggaan hingga hal-hal yang bersifat akademis,” kenangnya.
“Bermula dari saya mulai mondok di PP Al-Munawwir Krapyak, Hari Jum'at Wage, 6 Desember 1976, saya langsung ndherek di ndalem beliau, yang saat itu masih bersama almarhumah mbah Nyai (Nyai Hj. Sukis, istri almaghfurlah al-marhum KH M. Moenawwir, ibu beliau), al-Mukarram Romo KH Zainal Abidin Munawwir, dan al-marhumah Ibu Nyai Hj. Jamalah Munawwir (kakak beliau). Momong putra pertama beliau (Gus H. Muhammad Fairuz atau Gus Nanang) adalah salah satu pekerjaan harian saya,” lanjutnya.
Salah satu santri yang lain, KH Munawir AF, Musytasyar PWNU DIY, juga merasa sangat kehilangan. Untuk mengantarkan sang guru tercinta, Kiai Munawir menulis sebuah sajak yang sangat menyentuh.
GURU…
kalau tdk keliru...
sdh 53 tahun aku kenal denganmu
sdh 53 tahun Aku menjadi muridmu
dan seterusnya aku adalah santrimu
Kau isi sungsum balungku
Kau kupas jiwa benakku
Kau ikuti tangis dan tawaku
Sampai kurang seminggu kau meninggalkanku
Kau cad hijau kalbuku
kau batik kuning coklat benakku
kau lukis wajahku
aku jadi begini...
kau pernah kau tandingkan aku
kau pernah marahi daku
kau pernah perintahkan aku menulis
tetapi pernah juga kau perintahkan aku menangis
aku kacau
aku galau
kau tinggalkan daku sendiri
setelah 53 tahun aku tegak berdiri..
Pengarang Kamus Al-Munawwir Meninggal : Dikenal Dekat Dengan Semua Kalangan
Kamis, 18 April 2013 18:09 WIB | Abdul Hamied Razak/JIBI/Harian Jogja | Dilihat: 252 Kali
JOGJA-Pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Jogja, KH Ahmad Warson Munawwir meninggal dunia pada Kamis (18/4/2013) pagi sekitar pukul 06.00 WIB. Pengarang Kamus Almunawwir (Arab-Indonesia) ini meninggal pada usia 80 tahun. Selain humoris, Almarhumah juga dikenal kesederhanaannya oleh para santri dan pengurus.
Dwi Kristina, Pengurus Harian Komplek Q Pondok Pesantren Putri Krapyak mengatakan mbah Warson sangat dekat dengan semua kalangan. Tidak hanya para santrinya, orang-orang yang bukan santri langsung pun tetap diayomi mbah Warson.
“Sebelum jatuh dulu, mbah Warson menguasai sembilan bahasa termasuk bahasa Arab. Beliau itu orangnya netral, semua kalangan masuk dan tidak dibeda-bedakan. Jiwa sosialnya tinggi, dan sangat sederhana,” jelas Dwi.
Kesederhanaan mbah Warson, lanjutnya, tidak hanya tampak dari pakaian yang dikenakan tetapi juga makanan yang dikonsumsi. Bakwan saja disukai mbah Warson.
Semasa hidup, mbah Warson sempat menjadi pengasuh generasi Hybrid NU. Ia memadukan pendidikan umum dan pesantren. Dia juga sempat menjadi Ketua Dewan Syuro DP PKB DIY dan membidani kelahiran Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
Salah satu karya besar mbah Warson, katanya adalah Kamus Almunawwir (Arab-Indonesia). Saking tersohornya, kamus tersebut tidak hanya menjadi ‘kamus wajib’ kalangan pesantren di Indonesia bahkan mancanegara.
“Kamus itu juga diakui oleh Universitas Kairo Mesir. Pak kyai selalu berpesan agar santri-santrinya selalu belajar dan belajar. Selain itu, mbah Warson dikenal humoris. Meski sudah sepuh, pak Kyai bilang pakaian yang dikenakannya trendi,” kata Dwi.
Sekretaris Pengurus Wilayah NU DIY, Mukhtar Salim menilai, jasa-jasa mbah Warson sangat besar bagi warga DIY, khususnya warga NU. Dia mengatakan, banyak santri-santri mbah Warson yang sudah berkiprah dan memberikan manfaat kepada bangsa dan negara.
“Kami dan warga NU DIY sangat kehilangan. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi Allah,” tuturnya singkat
Mbah Warson meninggalkan istri Nyai Hj. Khusnul Khotimah, Muhammad Fairus (anak pertama) dan Qurry’Aina (anak kedua). Ia dimakamkan di Pemakaman Umum Dongkelan, Bantul.
Mengenang Mbah Munawir pada Haul ke 74 KHM.MOENAWIR
(AHLI QURAN PENDIRI PON-PES KRAPYAK JOGJAKARTA)
biasanya Kondisi Kepadatan dari setiap Sudut kawasan Pondok dari Ujung Jalan Sampai Ujung Jalan sampai Ujung Jalan yang Lainnya dan tiap Perempatan Akses Menuju Ponpes sudah ditutup karena ndak bisa dilewati lagi, oleh Karena Berjubel Manusia yang berduyun duyun Hadir! sampai Puluhan ribuan lebih Jumlahnya Yaa! Kompleks Ponpes seluas hampir 5 Hektar itu sudah mulai
semakin Sempit Rasanya tak muat lagi menampung Jumlah Ledakan para Hadirin dan Hadirat, Terutama pada Event Tertentu
seperti acara Haul Mbah Munawwir ini, Pada Puncaknya Hari ini,
Siapa yang tak kenal dengan pondok pesantren Munawir Krapyak Jogjakarta yang telah banyak melahirkan ulama-ulama ahli quran terkemuka. Semula pesantren yang didirikan sekitar tahun 1909 oleh kh Moenawir hanya dihuni 10 santri , kini pesantren krapyak berkembang pesat dengan jumlah santri yang mencapai ratusan. Sosok Kh Moenawir atau yang akrab dipanggil Mbah Moenawir merupakan sosok ulama yang oleh Rosululloh saw disebut Sebagai “Keluarga Alloh” atau “waliyulloh”, karena kemampuannya sebagai ahlul qur’an ( penghapal qur’an dan mengamalkan kandungan alqur’an)
Para Ulama peserta Mukta’mar Di Pon-pes Munawir Krapyak Jogja
peserta muktamar NU DI PONPES MUNAWIR KRAPYAK JOGJAKARTA
Sejak usia 10 tahun Kh Moenawir telah Hapal Quran 30 Juz dan Beliau gemar sekali menghatamkan alquran , beliau dikirim ayahnya KH.Abdul Rosyad untuk belajar kepada seorang Ulama terkemuka di Bangkalan Madura KH.Muhammad Kholil , Bakat kepasihan Mbah Moenawir dalam Pembacaan Alquran memberi kesan tersendiri dihati Gurunya (Kh.Muhammad Kholil ) dan suatu ketika gurunya menyuruh Kh Moenawir untuk menjadi imam Sholat sedangkan Gurunya Kh Kholil menjadi Mak’mum.
Tahun 1888 Kh Moenawir bermukim di Mekkah dan memperdalam ilmu-ilmu Alquran kurang lebih 20 tahun, kesempatan tersebut Beliau gunakan untuk mempelajari Ilmu Tahfizul quran , qira’at sab’ah dengan Ulama -ulama setempat. Hingga Kh Moenawir memperoleh Ijazah Sanad Qira’at yang bersambung ke urutan 35 sampai ke Rosululloh SAW dari Seorang Ulama Mekkah yang termashur Syech Abdul Karim bin Umar Al Badri Addimyati .
KhMoenawir Mampu menghatamkan Alquran hanya dalam Satu rakaat sholat, dan sebagai orang awan mungkin itu Mustahil dilakukan tapi bagi Kh Moenawir itu mampu . Bahkan Kh Moenawir dalam menjaga hapalannya beliau melakukan Riyadhoh dengan membaca alquran secara terus menerus selama 40 hari 40 malam sampai terlihat oleh beberapa murid nya Mulut Kh Moenawir terluka dan mengeluarkan darah.
Kedisiplinan Kh.Moenawir dalam mengajar Alquran kepada murid-muridnya sangat ketat bahkan pernah muridnya membaca Fatiha samapi dua tahun diulang-ulang karena menurut Kh Moenawir belum Tepat bacaannya baik dari segi makhrajnya maupun tajwidnya, maka tak heran bila murid murid beliau menjadi Ulama-ulama yang Hufadz ( hapal quran) dan mendirikan Pesantren Tahfizul quran seperti Pon-pes Yanbu’ul Qur’an kudus (Kh.Arwani Amin) , Pesantren Al Muayyad solo ( KH Ahmad Umar) dll.
Peristiwa menarik pernah dialami oleh murid KH Moenawir, sewaktu beliau disuruh oleh istri Mbah Moenawir untuk meminta sejumlah uang kepada Mbah Moenawir yang akan digunakan sebagai keperluan belanja sehari hari, Kh moenawir selalu merogoh sejadahnya dan diserahkan uang tersebut kepada Muridnya, padahal selama ini muruid-muridnya hanya tahu bahwa sepanjang waktu mba moenawir hanya duduk saja di serambi masjid sambil mengajar alquran.
Lasem, NU Online, Haul salah seorang pendiri NU Mbah Maksum Lasem sekaligus peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Jum’at (18/1) kemarin bertepatan dengan tanggal 6 Rabiul Awwal 1434 H berlangsung sangat ramai dan khidmat. Kegiatan didahului dengan hataman Al-Qur’an dan Tahlil di makam Mbah Maksum pada sore hari yang dihadiri sekitar 7000 umat Islam laki dan wanita. Lapangan parkir bis di belakang Masjid Jami Lasem dipenuhi mobil besar dan kecil. sejak ashar dari berbagai kota, terutama dari pulau Jawa dan Sumatera. Malam harinya dilanjutkan puncak acara, yaitu pengajian umum. Panggung dipasang di pelataran Pondok Pesantren Al-Hidayat Soditan. Bangku yang disediakan memanjang hingga pertigaan jalan terisi penuh oleh jamaah yang hadir semakin bertambah banyak. Pedagang yang masar memadati pinggir jalan dari bangjo hingga depan PP An-Nuriyah. Penceramah KH Musthofa Bisri (Gus Mus) menguraikan keistimewaan Nabi Muhammad yang tersebut dalam Al-Qur’an, yakni akhlaknya yang sangat luhur. Sedangkan Nabi Yusuf AS yang ditonjolkan kegantengannya, tetapi dalam perilaku yang tetap terpuji. Kepribadian para nabi yang mulia ini ditiru oleh Mbah Maksum. Sebagai contoh kecil, beliau sarapan menunggu kehadiran tamu. Jika tidak ada tamu, ia mengajak beberapa santrinya menemani makan bersama. Ia juga selalu istiqamah shalat subuh berjamaah. Tidak jarang dengan ia membangunkan santirinya yang banyak itu satu persatu seperti anak-anaknya sendiri. Mbah Maksum sangat memperhatikan semangat belajar dan kualitas pembelajaran santri-santrinya. Gus Mus sepulang belajar dari Universitas Al-Azhar Mesir diminta mengajari santri-santrinya mengasah kemampuan bahasa Arab. Bahkan putra Mbah Maksum sendiri, KH Ahmad Syakir ayah dari Gus Zaim yang sebenarnya sudah mumpuni disuruh ikut kursus juga.
Dalam ceramahnya Gus Mus juga menyatakan keprihatinanya, pengadilan di Indonesia yang belum menyentuh para koruptor, terutama yang dilakukan oknum pejabat.yang jelas-jelas melanggar hukum. Ironisnya malah yang tidak bersalah menjadi terdakwa yang sesungguhnya korban. Seperti yang dialami cicit Mbah Maksum sekarang ini, Ning Durrotun Nafisah Lasem.
Untuk itu, Gus Mus yang juga Wakil Rais Am PBNU menutup ceramahnya dengan memimpin doa kepada Allah SWT agar Ning Dur diselamatkan dari fitnah tersebut.
Gus Mus mengajak para hadirin membaca surat al-Fatihah dengan khusu’, sampai pada penggalan ayat 'waiyyaakanasta’iin' dibaca 11 kali, yang artinya 'dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.' Amalan doa ini diperolehnya sebagai ijazah dari Mbah Munawir Krapyak Yogyakarta.
Peringatan maulid di antero nusantara sudah lazim diadakan. hal ini dalam rangka mengenang jasa dan menteladani berliau Nabi Muhammad Saw , Ini bagian dari rasa cintaa, penting dilestarikan , kenalkan pada anak/ generasi muda, sementara budaya barat seperti KEMBANG API TAHUN BARU & VALENTIN DAY, dsb dll dst terus-menerus digelontor ke indonesia anehnya budaya ini sangat digemari oleh generasi kita, ya peringatan Maulid harus kita pertahankan. sebagai bagian rasa cinta
Belajar Keteladanan kepada Mbah Ali dan Mbah Hamid Pasuruan
Masih saja lamat-lamat membayang bila memandang wajah ini, saat masih sangat belia dulu, ayah (KH. Hasbullah; red.)memanggil saya utk diajak ke kamar tamu depan rumah mbah kakung, sebutan keluarga untuk kakek KH. Ali Maksum rahimahullah wa nafa’ana bi’ulumih. Ingatan masa lampau –entah kenapa, sering berujud gambaran yang blur dan agak ‘berkabut’. Termasuk saat itu.
Begitu masuk ke kamar tamu, ayah mengenalkan dan meminta doa restu untuk saya. Kontras dengan di dalam ruangan yang temaram, di depan saya adalah sesosok besar yang seperti diliputi cahaya, bersurban, wajah yang bersenyum. Masih saja saya ingat setelah itu tangan beliau memegang dan mengusap-usap kepala saya. Saya tak berkata apa-apa, hanya yang saya ingat di depan Mbah Hamid Pasuruan quddisasirruh, kyaigung waliyyullah ini (tentu setelah beberapa tahun setelah itu baru saya tahu), saat itu berlangsung suasana tenang.
Bila rawuh di Krapyak, sering terutama saat peringatan haul Mbah Munawwir akhir dekade 70-an dan awal 80-an, di luar kamar tamu selalu penuh dengan orang. Ada yang menunggu untuk sekedar dapat memandang wajah beliau atau untuk dapat bersalaman atau bahkan dapat matur untuk memohon doa. Beliau biasa rawuh, seingat saya, sore menjelang puncak acara Haul, untuk kemudian sudah kondur isya’ awal menjelang mulai pengajian Haul. Selama kerawuhan beliau, sekitar kamar tamu selalu “dikepung” orang-orang hingga beliau masuk ke mobil sedan untuk kondur pulang . Rubungan-rubungan seperti itu selalu berlangsung dengan dihinggapi suasana tenang dan hidmat. Jauh dari hiruk pikuk.
Peristiwa lampau yang terkenang,–entah kenapa, hampir selalu ikut menjadi konsiderasi dalam membuat gambaran-gambaran. Termasuk, dalam suatu majlis pengajian pasan terakhir beliau, ‘mbah Kakung, ketika menjelaskan hadis ra’sul hikmah, teringat dengan dialog beliau dengan Kyai Hamid :
Mbah Ali : Bagaimana sih kau bisa mencapai hal yang seperti ini?
Mbah Hamid : Dulu itu aku selalu merenung-renungkan sabda Nabi dalam hadits : رأس الحكمة مخافة الله. (Maknanya : Inti puncak hikmah adalah khasyah kepada Allah.)
Seperti ada yang mengganjal, mungkin Anda agak tidak nyaman dengan pertanyaan Mbah Ali dengan cara seperti itu. Tidak perlulah dialog ditulis dengan eufimisasi, atau penghalusan ekspresi dialog beliau berdua. Memang seperti itulah keadaannya. Mbah kakung dalam berbagai pengajian saat menyinggung konsep perwalian sangat kental dengan ajaran Imam Ghozali (Gazalian sufism) dan mengidolakan sosok seperti mbah Hamid, sebagai wali salik. Tapi apa dengan dengan cara seperti itu? Begitulah. Secara kebetulan, beliau berdua masih kerabat, sama-sama teman semenjak kecil, berguru dengan dua guru besar yang sama yakni Mbah Ma’shum Lasem (ayahanda beliau sendiri) dan Mbah Dimyati Abdullah (adik dan murid Syeikh Mahfudz) Termas. Akhirnya sama-sama ngiyai dan berbesanan. Watak, gaya, lingkungan daerah dan jenis bidang garapan yang berbeda tidak mengurangi sinergitas dan koneksitas yang kuat dan saling menguatkan.
Mbah Hamid bersuara lirih, tidak diketahui suka berpidato, tinggal di Pasuruan, daerah tapal kuda bagian Timur Jawa, dan tidak dikenal dalam struktur NU. Tapi beliau min abdaali Jawah pada zamannya. Di sisi lain, Mbah Ali dikenal sebagai kiyai ‘srengat’, dan cenderung berpembawaan rasional, bergaya penuh gengsi khas superioritas fuqaha dalam urusan otoritas ilmu dan ajaran Syari’ah di atas siapapun. Apalagi beliau saat itu menjadi lurahe kiyai-kiyai dan menjadi pengurus syuriah NU. Namun, yang tidak banyak diketahui publik umum, urusan-urusan dan keputusan penting NU dengan penuh hormat oleh beliau dan para kiyai di‘inapkan’ terlebih dulu di Pasuruan, kepada Mbah Hamid. Diam-diam, tenang, dan jauh dari publisitas. Adakah hal yang seperti itu berlangsung sekarang? Saya yakin (untuk berharap) seperti itu adanya.
Rahimahumullah wa askanahum fasiha jannatih wanafa’ana bi ‘ulumihim wa a’aada ‘alaina min asraarihim wa barakaatihim, wa ilaa hadlratin Nabiy alFaatihah.
Ribuan pelayat mengusung jenazah KH Ahmad Warson Munawwir, pengasuh PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta menuju masjid untuk disholatkan di sepajang Jalan DI. Panjaitan, Yogyakarta, Kamis (18/04/2013). KH Ahmad Warson Munawwir merupakan penulis dan menyusun Kamus Al-Munawwir, yakni kamus Bahasa Arab-Indonesia terlengkap dan paling tebal di Indonesia. Almarhum meninggal sekitar pukul 05.00. Jenazah dimakamkan di makam Dongkelan Bantul dengan upacara pemberangkatan di PP Al-Munawwir Krapyak kemarin sore.
Nahdliyin Gelar Doa untuk Mbah Warson, Jum'at, 19 April 2013 18:11 DUTAonline, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar kegiatan tahlilan selama 7 hari dan sembahyang ghaib untuk al magfurllah KH Achmad Warsun Munawwir yang akrab disapa Mbah Warson, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. “Tahlilan pertama di mulai sehabis sholat Jum’at tadi,” ujar Pengurus lakpesdam PBNU, Ahmad Satiri kepada Dutaonlin di Jakarta, Jum’at, (19/4).
Ratusan warga nahdliyin dan pengurus PBNU turut hadir dalam kegiatan yang dipusatkan di Masjid An-Nahdlah, Gedung PBNU, Kramat Raya nomor 164, Jakarta Pusat. Selain melakukan sholat ghaib berjamaah, nahdliyin juga menggelar tahlilan dan doa bersama selama 7 hari berturut-turut.
PBNU juga mengimbau kepada seluruh lembaga, lajnah, dan badan otonom NU untuk menggelar tahlilan dan doa bagi alm Mbah Warsun, seorang putra pengasuh pondok pesantren salafiyah tertua di Yogyakarta, KH Munawwir.
Mbah Warsun, merupakan penulis Kamus Bahasa Arab-Indonesia terkenal yang berjumlah sedikitnya 1600 halaman, menutup usia di kota Yogyakarta pada pukul 6.00, Kamis (18/4) pagi. Mbah Warson wafat pada usia kurang lebih 79 tahun (1934-2013). Jenazah Mbah Warsun dimakamkan di Desa Dongkelan, makam keluarga besar Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Saat pemakaman, Kamis, (18/4) kemarin, ribuan santri dan masyarakat saling berjubel untuk ikut menandu keranda jenazah dari Pesantren Krapyak menuju Dongkelan yang jaraknya lumayan jauh. Banser siap siaga, mengatur jalan dan keamanan. Para kiai tak mau kalah, ikut serta berebut keranda. Bahkan KH Musthofa Bisri (Gus Mus) juga ikut menandu keranda jenazah Kiai Warson.
Saat acara menjelang pemakaman, KH Asyhari Abta, Rais Syuriyah PWNU DIY, memberikan sambutan atas nama keluarga. Sedangkan atas nama masyarakat diwakili KH A Malik Madany, Katib Aam PBNU. Adapun doa dipanjatkan oleh KH Zainal Abidin Munawwir dan KH Musthofa Bisri.
Salah satu santri Kiai Warsun, KH Habib Syakur, merasa sangat kehilangan dengan kepergian beliau. Kiai Habib merasa sangat diperhatikan Kiai Warsun, bahkan sampai urusan rumah tangga sekalipun.
“Karena saya merasa bahwa saya adalah salah satu santri yang sangat diperhatikan oleh beliau. Mulai dari urusan kerumahtanggaan hingga hal-hal yang bersifat akademis,” kenangnya.
“Bermula dari saya mulai mondok di PP Al-Munawwir Krapyak, Hari Jum'at Wage, 6 Desember 1976, saya langsung ndherek di ndalem beliau, yang saat itu masih bersama almarhumah mbah Nyai (Nyai Hj. Sukis, istri almaghfurlah al-marhum KH M. Moenawwir, ibu beliau), al-Mukarram Romo KH Zainal Abidin Munawwir, dan al-marhumah Ibu Nyai Hj. Jamalah Munawwir (kakak beliau). Momong putra pertama beliau (Gus H. Muhammad Fairuz atau Gus Nanang) adalah salah satu pekerjaan harian saya,” lanjutnya.
Salah satu santri yang lain, KH Munawir AF, Musytasyar PWNU DIY, juga merasa sangat kehilangan. Untuk mengantarkan sang guru tercinta, Kiai Munawir menulis sebuah sajak yang sangat menyentuh.
GURU…
kalau tdk keliru...
sdh 53 tahun aku kenal denganmu
sdh 53 tahun Aku menjadi muridmu
dan seterusnya aku adalah santrimu
Kau isi sungsum balungku
Kau kupas jiwa benakku
Kau ikuti tangis dan tawaku
Sampai kurang seminggu kau meninggalkanku
Kau cad hijau kalbuku
kau batik kuning coklat benakku
kau lukis wajahku
aku jadi begini...
kau pernah kau tandingkan aku
kau pernah marahi daku
kau pernah perintahkan aku menulis
tetapi pernah juga kau perintahkan aku menangis
aku kacau
aku galau
kau tinggalkan daku sendiri
setelah 53 tahun aku tegak berdiri..
Pengarang Kamus Al-Munawwir Meninggal : Dikenal Dekat Dengan Semua Kalangan
Kamis, 18 April 2013 18:09 WIB | Abdul Hamied Razak/JIBI/Harian Jogja | Dilihat: 252 Kali
JOGJA-Pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Jogja, KH Ahmad Warson Munawwir meninggal dunia pada Kamis (18/4/2013) pagi sekitar pukul 06.00 WIB. Pengarang Kamus Almunawwir (Arab-Indonesia) ini meninggal pada usia 80 tahun. Selain humoris, Almarhumah juga dikenal kesederhanaannya oleh para santri dan pengurus.
Dwi Kristina, Pengurus Harian Komplek Q Pondok Pesantren Putri Krapyak mengatakan mbah Warson sangat dekat dengan semua kalangan. Tidak hanya para santrinya, orang-orang yang bukan santri langsung pun tetap diayomi mbah Warson.
“Sebelum jatuh dulu, mbah Warson menguasai sembilan bahasa termasuk bahasa Arab. Beliau itu orangnya netral, semua kalangan masuk dan tidak dibeda-bedakan. Jiwa sosialnya tinggi, dan sangat sederhana,” jelas Dwi.
Kesederhanaan mbah Warson, lanjutnya, tidak hanya tampak dari pakaian yang dikenakan tetapi juga makanan yang dikonsumsi. Bakwan saja disukai mbah Warson.
Semasa hidup, mbah Warson sempat menjadi pengasuh generasi Hybrid NU. Ia memadukan pendidikan umum dan pesantren. Dia juga sempat menjadi Ketua Dewan Syuro DP PKB DIY dan membidani kelahiran Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
Salah satu karya besar mbah Warson, katanya adalah Kamus Almunawwir (Arab-Indonesia). Saking tersohornya, kamus tersebut tidak hanya menjadi ‘kamus wajib’ kalangan pesantren di Indonesia bahkan mancanegara.
“Kamus itu juga diakui oleh Universitas Kairo Mesir. Pak kyai selalu berpesan agar santri-santrinya selalu belajar dan belajar. Selain itu, mbah Warson dikenal humoris. Meski sudah sepuh, pak Kyai bilang pakaian yang dikenakannya trendi,” kata Dwi.
Sekretaris Pengurus Wilayah NU DIY, Mukhtar Salim menilai, jasa-jasa mbah Warson sangat besar bagi warga DIY, khususnya warga NU. Dia mengatakan, banyak santri-santri mbah Warson yang sudah berkiprah dan memberikan manfaat kepada bangsa dan negara.
“Kami dan warga NU DIY sangat kehilangan. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi Allah,” tuturnya singkat
Mbah Warson meninggalkan istri Nyai Hj. Khusnul Khotimah, Muhammad Fairus (anak pertama) dan Qurry’Aina (anak kedua). Ia dimakamkan di Pemakaman Umum Dongkelan, Bantul.
Mengenang Mbah Munawir pada Haul ke 74 KHM.MOENAWIR
(AHLI QURAN PENDIRI PON-PES KRAPYAK JOGJAKARTA)
biasanya Kondisi Kepadatan dari setiap Sudut kawasan Pondok dari Ujung Jalan Sampai Ujung Jalan sampai Ujung Jalan yang Lainnya dan tiap Perempatan Akses Menuju Ponpes sudah ditutup karena ndak bisa dilewati lagi, oleh Karena Berjubel Manusia yang berduyun duyun Hadir! sampai Puluhan ribuan lebih Jumlahnya Yaa! Kompleks Ponpes seluas hampir 5 Hektar itu sudah mulai
semakin Sempit Rasanya tak muat lagi menampung Jumlah Ledakan para Hadirin dan Hadirat, Terutama pada Event Tertentu
seperti acara Haul Mbah Munawwir ini, Pada Puncaknya Hari ini,
Siapa yang tak kenal dengan pondok pesantren Munawir Krapyak Jogjakarta yang telah banyak melahirkan ulama-ulama ahli quran terkemuka. Semula pesantren yang didirikan sekitar tahun 1909 oleh kh Moenawir hanya dihuni 10 santri , kini pesantren krapyak berkembang pesat dengan jumlah santri yang mencapai ratusan. Sosok Kh Moenawir atau yang akrab dipanggil Mbah Moenawir merupakan sosok ulama yang oleh Rosululloh saw disebut Sebagai “Keluarga Alloh” atau “waliyulloh”, karena kemampuannya sebagai ahlul qur’an ( penghapal qur’an dan mengamalkan kandungan alqur’an)
Para Ulama peserta Mukta’mar Di Pon-pes Munawir Krapyak Jogja
peserta muktamar NU DI PONPES MUNAWIR KRAPYAK JOGJAKARTA
Sejak usia 10 tahun Kh Moenawir telah Hapal Quran 30 Juz dan Beliau gemar sekali menghatamkan alquran , beliau dikirim ayahnya KH.Abdul Rosyad untuk belajar kepada seorang Ulama terkemuka di Bangkalan Madura KH.Muhammad Kholil , Bakat kepasihan Mbah Moenawir dalam Pembacaan Alquran memberi kesan tersendiri dihati Gurunya (Kh.Muhammad Kholil ) dan suatu ketika gurunya menyuruh Kh Moenawir untuk menjadi imam Sholat sedangkan Gurunya Kh Kholil menjadi Mak’mum.
Tahun 1888 Kh Moenawir bermukim di Mekkah dan memperdalam ilmu-ilmu Alquran kurang lebih 20 tahun, kesempatan tersebut Beliau gunakan untuk mempelajari Ilmu Tahfizul quran , qira’at sab’ah dengan Ulama -ulama setempat. Hingga Kh Moenawir memperoleh Ijazah Sanad Qira’at yang bersambung ke urutan 35 sampai ke Rosululloh SAW dari Seorang Ulama Mekkah yang termashur Syech Abdul Karim bin Umar Al Badri Addimyati .
KhMoenawir Mampu menghatamkan Alquran hanya dalam Satu rakaat sholat, dan sebagai orang awan mungkin itu Mustahil dilakukan tapi bagi Kh Moenawir itu mampu . Bahkan Kh Moenawir dalam menjaga hapalannya beliau melakukan Riyadhoh dengan membaca alquran secara terus menerus selama 40 hari 40 malam sampai terlihat oleh beberapa murid nya Mulut Kh Moenawir terluka dan mengeluarkan darah.
Kedisiplinan Kh.Moenawir dalam mengajar Alquran kepada murid-muridnya sangat ketat bahkan pernah muridnya membaca Fatiha samapi dua tahun diulang-ulang karena menurut Kh Moenawir belum Tepat bacaannya baik dari segi makhrajnya maupun tajwidnya, maka tak heran bila murid murid beliau menjadi Ulama-ulama yang Hufadz ( hapal quran) dan mendirikan Pesantren Tahfizul quran seperti Pon-pes Yanbu’ul Qur’an kudus (Kh.Arwani Amin) , Pesantren Al Muayyad solo ( KH Ahmad Umar) dll.
Peristiwa menarik pernah dialami oleh murid KH Moenawir, sewaktu beliau disuruh oleh istri Mbah Moenawir untuk meminta sejumlah uang kepada Mbah Moenawir yang akan digunakan sebagai keperluan belanja sehari hari, Kh moenawir selalu merogoh sejadahnya dan diserahkan uang tersebut kepada Muridnya, padahal selama ini muruid-muridnya hanya tahu bahwa sepanjang waktu mba moenawir hanya duduk saja di serambi masjid sambil mengajar alquran.
Al Hikam itu Kitab Tua
KH Shihab Ahmad Syakir dari Lasem Rembang, Jawa Tengah, mengatakan
kitab al-Hikam itu kitab orang tua. “Istilae wong niku, al-Hikam niku
kitabe wong tuo,” ujar Gus Shihab, panggilan cucu KH Ma’shum Lasem, di
Jakarta belum lama ini.
Sebutan al-Hikam sebagai kitab orang tua dimaksudkan untuk mengatakan, kitab tersebut diperuntukkan pada orang-orang yang sudah tinggi ilmunya dan terjaga tingkah lakunya.
Di banyak tempat di pesantren atau komunitas santri, al-Hikam memang hanya diajarkan untuk santri tingkat atas. Jika santri nahwunya sudah mrapal, kitab fiqih yang besar sudah dilampoi serta kitab akhlak atau tasawufnya sudah banyak yang dikaji, baru seorang santri boleh ikut ngaji al-Hikam.
Di pesantren Rinungagung, Kediri, Jawa Timur, misalnya, Mbah Khozin membuka pengajian al-Hikam untuk para alumninya, yang sudah maqom kiai, nyai, dan guru-guru.
Di pesantren memang dikenal semacam hirarkhi antara satu kitab dengan kitab lainnya. Bahkan, ada istilah kitab yang ‘diakui’ dan kitab yang ‘tidak diakui’. Dalam tradisi dirosah islamiyah yang ‘resmi’, hirarkhi kitab hanya dikenal pada kitab-kitab hadits.
Tentang istilah kitab orang tua tadi, KH Lukmanul Hakim berkomentar, “Istilah boleh-boleh saja. Mau disebut tua atau muda, sakti atau tidak sakti, boleh-boleh saja.”
“Tapi semua orang tua selalu menyesal kenapa tidak sejak muda dulu mengenal kitab Al-Hikam,” ujar Lukman yang mengaku kenal al-Hikam sejak duduk di bangku madrasah tsanawiyah.
Dikatakan banyak orang, Lukmanul Hakim termasuk kiai yang menghayati al-Hikam dengan sungguh-sungguh. Bahkan dia mengajarkan kitab tersebut di banyak kota. “Saya membuka al-Hikam Jabodetabek, Bandung, Surabaya dan Malang,” katanya.
Di Jakarta ia mengajarkan al-Hikam tiap Rabu Sore, di masjid Baitul Ihsan, masjid mewah di kompleks Bank Indonesia, jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Lukman sudah mengaji di sana sudah berjalan sekitar empat tahun. Jama’ahnya, dari ragam kalangan, santri hingga pejabat. Dan mereka tidak hanya datang dari sekitar Jakarta, tapi juga Sukabumi, Jawa Barat.
Siapakah yang menulis al-Hikam?
Tak lain Syekh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atho’illah As-Sakandari, ada yang membaca al-Iskandari. Ibnu Atho’illah lahir di Iskandariah-Mesir, tahun 648 H atau 1250 M. Ia wafat di Kairo, 1309 M.
Ibnu Atho’illah yang dalam bidang fiqih bermadzhab Maliki adalah guru ketiga dalam thoriqoh asy-Syadzaliah, setelah Abul Hasan asy-Syadzili dan Abul Abbas Ahmad Ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi.
seperti ulama pada zamannya yang ensiklopedis, Ibnu Atha’illah juga menulis karya yang meliputi banyak kajian. Mulai dari tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, ushul fiqh hingga nahwu. Selain al-Hikam, ini berapa karyanya, at-Tanwir fi Isqoth at-Tadbir, Unwanut Taufiq fi’dabit Thoriq, Miftahul Falah dan Al-Qaulul Mujarrad fil Ismil Mufrad.
Tapi, yang ngetop memang al-Hikam yang hingga kini dikaji di banyak pusat-pusat kajian Islam di seluruh dunia. Banyak ulama juga menulis syarah atas al-Hikam, di antaranya Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ibad ar-Rasyid, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad Ibnu Ajiba.
Mengenai isi al-Hikam, Lukmanul Hakim mengatakan, “Kitab ini adalah potret perjalan spiritual para Sufi ketika menempuh (suluk) menuju Allah. Semuanya mengalami seperti yang dipotret oleh Al-Hikam. Bukan sekadar potret dramatisnya, tetapi juga panduan-panduan, simbol, peringatan, nasehat dan sekaligus aturan-aturan ruhani yang luar biasa.”
Begitu istimewanya kitab ini di mata kiai yang mengikuti thoriqoh Sadziliyah, qodiriyah, naqsyabandiyah, sampai-sampai menyarankan bagi pembacanya harus suci, atau punya wudlu.
“Dan jika Anda mau baca, hadiah fatihah dulu ke rasulullah dan Ibnu Athaillah,” katanya.
Boleh baca sendiri, kata Lukman, tapi dianjurkan tetap dimusyawarhkan kepada ahlinya. “Kalau tidak mengerti jangan ditafsiri menurut selera Anda, nanti Anda malah jauh dari esensinya, dan tersandung-sandung,” sambungnya.
Masih ada yang lebih berat lagi dari statemen kiai yang dibaiat Mbah Abdul Jalil dari Tulungagung, Jawa Timur ini, “Usahakan membaca, tapi hati Anda tetap berdzikir. Bacalah menurut hati Anda sendiri-sendiri, bukan menurut pikiran Anda.”
Sebutan al-Hikam sebagai kitab orang tua dimaksudkan untuk mengatakan, kitab tersebut diperuntukkan pada orang-orang yang sudah tinggi ilmunya dan terjaga tingkah lakunya.
Di banyak tempat di pesantren atau komunitas santri, al-Hikam memang hanya diajarkan untuk santri tingkat atas. Jika santri nahwunya sudah mrapal, kitab fiqih yang besar sudah dilampoi serta kitab akhlak atau tasawufnya sudah banyak yang dikaji, baru seorang santri boleh ikut ngaji al-Hikam.
Di pesantren Rinungagung, Kediri, Jawa Timur, misalnya, Mbah Khozin membuka pengajian al-Hikam untuk para alumninya, yang sudah maqom kiai, nyai, dan guru-guru.
Di pesantren memang dikenal semacam hirarkhi antara satu kitab dengan kitab lainnya. Bahkan, ada istilah kitab yang ‘diakui’ dan kitab yang ‘tidak diakui’. Dalam tradisi dirosah islamiyah yang ‘resmi’, hirarkhi kitab hanya dikenal pada kitab-kitab hadits.
Tentang istilah kitab orang tua tadi, KH Lukmanul Hakim berkomentar, “Istilah boleh-boleh saja. Mau disebut tua atau muda, sakti atau tidak sakti, boleh-boleh saja.”
“Tapi semua orang tua selalu menyesal kenapa tidak sejak muda dulu mengenal kitab Al-Hikam,” ujar Lukman yang mengaku kenal al-Hikam sejak duduk di bangku madrasah tsanawiyah.
Dikatakan banyak orang, Lukmanul Hakim termasuk kiai yang menghayati al-Hikam dengan sungguh-sungguh. Bahkan dia mengajarkan kitab tersebut di banyak kota. “Saya membuka al-Hikam Jabodetabek, Bandung, Surabaya dan Malang,” katanya.
Di Jakarta ia mengajarkan al-Hikam tiap Rabu Sore, di masjid Baitul Ihsan, masjid mewah di kompleks Bank Indonesia, jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Lukman sudah mengaji di sana sudah berjalan sekitar empat tahun. Jama’ahnya, dari ragam kalangan, santri hingga pejabat. Dan mereka tidak hanya datang dari sekitar Jakarta, tapi juga Sukabumi, Jawa Barat.
Siapakah yang menulis al-Hikam?
Tak lain Syekh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atho’illah As-Sakandari, ada yang membaca al-Iskandari. Ibnu Atho’illah lahir di Iskandariah-Mesir, tahun 648 H atau 1250 M. Ia wafat di Kairo, 1309 M.
Ibnu Atho’illah yang dalam bidang fiqih bermadzhab Maliki adalah guru ketiga dalam thoriqoh asy-Syadzaliah, setelah Abul Hasan asy-Syadzili dan Abul Abbas Ahmad Ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi.
seperti ulama pada zamannya yang ensiklopedis, Ibnu Atha’illah juga menulis karya yang meliputi banyak kajian. Mulai dari tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, ushul fiqh hingga nahwu. Selain al-Hikam, ini berapa karyanya, at-Tanwir fi Isqoth at-Tadbir, Unwanut Taufiq fi’dabit Thoriq, Miftahul Falah dan Al-Qaulul Mujarrad fil Ismil Mufrad.
Tapi, yang ngetop memang al-Hikam yang hingga kini dikaji di banyak pusat-pusat kajian Islam di seluruh dunia. Banyak ulama juga menulis syarah atas al-Hikam, di antaranya Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ibad ar-Rasyid, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad Ibnu Ajiba.
Mengenai isi al-Hikam, Lukmanul Hakim mengatakan, “Kitab ini adalah potret perjalan spiritual para Sufi ketika menempuh (suluk) menuju Allah. Semuanya mengalami seperti yang dipotret oleh Al-Hikam. Bukan sekadar potret dramatisnya, tetapi juga panduan-panduan, simbol, peringatan, nasehat dan sekaligus aturan-aturan ruhani yang luar biasa.”
Begitu istimewanya kitab ini di mata kiai yang mengikuti thoriqoh Sadziliyah, qodiriyah, naqsyabandiyah, sampai-sampai menyarankan bagi pembacanya harus suci, atau punya wudlu.
“Dan jika Anda mau baca, hadiah fatihah dulu ke rasulullah dan Ibnu Athaillah,” katanya.
Boleh baca sendiri, kata Lukman, tapi dianjurkan tetap dimusyawarhkan kepada ahlinya. “Kalau tidak mengerti jangan ditafsiri menurut selera Anda, nanti Anda malah jauh dari esensinya, dan tersandung-sandung,” sambungnya.
Masih ada yang lebih berat lagi dari statemen kiai yang dibaiat Mbah Abdul Jalil dari Tulungagung, Jawa Timur ini, “Usahakan membaca, tapi hati Anda tetap berdzikir. Bacalah menurut hati Anda sendiri-sendiri, bukan menurut pikiran Anda.”
Ngaji Alhikam Bersama K.H Mustopa Bisri (Gus Mus)
Selepas Taraweh, aula Pesantren Raudhotut Tholibin, Rembang, Jawa
tengah, penuh. Ruangan-ruangan di sekitar aula juga dipadati para
santri, termasuk di emperan dekat kamar mandi. Sebagian santri duduk di
halaman pesantren beralaskan terpal atau sajadah. Serambi rumah almarhum
KH Cholil Bisri juga dipenuhi para santri.
Malam itu, para santri sedang pengikuti ‘Pasaran’, istilah di pesantren untuk ngaji khusus di bulan Ramadhan. Mereka semua pegang kitab. Al-Hikam namanya.
Peserta pengajian bukan saja santri yang sehari-hari ngaji di situ, tapi juga orang umum yang datang dari luar pesantren, bahkan dari luar kota. Mereka datang dengan sepeda motor, ada juga sepeda ontel.
Pengajian al-Hikam sangat istimewa. Para santri terlihat antusias memperhatikan huruf demi huruf. Mereka ngesahi, menuliskan makna di lembaran kitab berwarna kuning itu. Bahkan, dua orang santri yang sedang jaga parkiran ikut membuka kitab.
Load speaker yang dipasang khusus selama bulan Puasa, membantu suara sang pembaca al-Hikam, KH A. Musthofa Bisri atau Gus Mus (66 tahun), terdengar jelas dari luar aula, bahkan hingga di jalan.
“Secara badani masih bisa makan lan sa’piturute. Sembayange yo ora gotang, apa-apane yo ora gotang. Kok ujug-ujug pengen sibuk. La opo, kan sudah cukup? Sebaliknya, dia bekerja, di pasar misalnya, tapi ketika di pasar itu, dia tidak terganggu, sembayange ya ora terganggu, wiridane ya jalan terus, pikirane tidak terganggu, apa-apane ora terganggu, lho kok dandak kepengen melepas pekerjaannya di pasar. Sudahlah, aku lepas semua pekerjaan ini, ben koyo wali-wali. Begini ini yang gak keno. Ngono kui bodoh. Mergo menyalahi kersane Gusti Allah.
Kalau sedang leluasa, tidak boleh kepengen rupek. Kalau sedang rupek, gak boleh kepengen leluasa. Ne pindah karepe dewek, ora ndue toto kromo karo gusti allah, bodoh jenenge.
Orang itu ada waktunya masing-masing. Ne waktune lagi sinau yo sinau, ojo ngiyai. Engko ngrusak masyarakat.”
Demikian petikan-petikan yang dikemukakan Gus Mus dalam pengajian. Meski al-Hikam tergolong kitab tua, suasana pengajian tampak hidup. “allahumm sholi ‘alai,” begitu suara santri kompak ketika Gus Mus menyebut nama Nabi Muhammad. Dan tak jarang para santri tertawa dengan guyonan yang dilontarkan Gus Mus.
Al-Hikam Lintas Agama
Sebelum Gus Mus, al-hikam dibaca almarhum KH Cholil Bisri, kakak Gus Mus, tiap bulan puasa. Di keluarga pesantren Raudhotut Tholibin, al-Hikam tampaknya mendapat perhatian khusus. Almarhum Kiai Cholil, selain ngaji al-Hikam bertahun-tahun, ia juga menerjemahkan, dalam bahasa Indonesia. Adik Gus Mus, almarhum KH Adib Bisri juga menerjemahkan, juga dalam bahasa Indonesia.
Almarhum KH Misbah Musthofa, paman dari Gus Mus yang tinggal di Tuban-Jawa Timur, juga menerjemahkan al-Hikam dalam bahasa Jawa, menulisnya dalam aksara Pego.
Karya Ibnu Athoillah as-Sakandari ini memangtelah menyebar luas di seluruh dunia. Al-Hikam bahkan tidak saja dibaca umat Islam lintas madzhab, tapi juga oleh kalangan di luar Islam.
“Al-Hikam itu ada di luar lintasan. Sehingga semua orang membacanya. Orang yang perhatian pada dunia spiritualitas, pasti membacanya, pun orang di luar Islam,” kata Gus Mus.
Gus Mus bercerita, Syekh Ahmad Zarrouk dari Pes Maroko, mensyarahi 30 versi al-Hikam. “Orang ini ke mana-mana bawa Hikam.” Katanya.
Di sela-sela kesibukan mengisi Pasaran, Gus Mus, yang juga Wakil Rais Aam PBNU, menerima NU Online di kediamannya, kompleks pesantren Raudhotut Tholibin, Kamis (4/8). Ditemani dua menantunya, Wahyu dan Rizal, Gus Mus menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan santai. Teh hangat, krupuk dan kurma ikut menambah keakraban pertemuan yang berlangsung dari pukul 10.00-23.40 itu.
Apa pandangan Gus Mus tentang al-Hikam?
Menurut saya, al-Hikam ini kitab aporisma yang luar biasa, prosa yang tak ada bandingannya. Kalimatnya padu antara satu dengan yang lainnya. Kandungan maknanya luar biasa dalam. Tidak heran banyak orang yang suka, baik yang di Timur ataupun yang di Barat.
Dari siapa Gus Mus mengenal al-Hikam?
Ketika di Mesir, guru tasawuf saya itu Syekh Abdul Halim Mahmud, allah yarham. Belakangan setelah saya pulang, beliau jadi Syekh Azhar. Beliau doktor dari Perancis. Konon beliau itu disepakati sebagai orang teralim pada abad 20. Beliau pengamal thoriqoh syadziliyah.
Berapa kali ziarah ke Ibnu Atho’illah?
Terakhir bareng teman-teman itu, ada Nusron segala (Nusron Wahid, Ketua Umum PP GP Ansor NU, red.).
Ingin nerjemah juga, Gus?
Ya, saya punya juga. Ditambahi ulasan-ulasan. Tapi mandeg.
Kapan mulai membuka al-Hikam untuk umum?
Dulu yang ngaji di sini kakak saya, Kiai Cholil. Ketika beliau sakit, saya disuruh neruskan. Sebelum ini ya baca untuk diri sendiri saja.
Saya dapat cerita, yang istimewa itu Mbah Dullah (KH Abdullah Salam, Pati). Wiridan beliau itu ya Hikam. Saya pengen ngajji Hikam ke beliau tapi ndak kesampaian. Istilahnya Mbah Dullah itu ya ngaji bareng.
Al-Hikam dikatakan sebagai kitab tua. Apa artinya, Gus?
Ya di sini kalau soal tasawuf itu disebut tua. Karena memang tatarannya tua. Segala macam kitab, yang dikaji belakangan yo tasawuf.
Kenapa santri muda di sini ngaji al-Hikam?
Ya saya bebaskan saja untuk semua santri. Karena untuk ngalap berkah saja. Kita ini ahlis sunnah kan percaya barokah. Karena jelas gak mudeng mereka. Memang bicara tua. Isi al-Hikam memang diperuntukkan bagi yang tua, para salikin, bukan orang awam. Salikin itu orang yang mau menuju ke Allah. Kaya kita ini bingung semua.
Lha gimana, wong gak boleh minta pada Allah. Kiai-kiai, ustadz-ustadz itu minta, berdoa pada Allah. Di al-Hikam, yang minta pada Allah itu sama saja menuduh Allah yang bukan-bukan, menganggap Allah tidak tahu. Jadi, gak dapat ilmunya ya dapat berkahnya. Apalagi orang-orang menyebut Ibnu Atho’illah minal ‘arifin, ma’rifat. Ya wali lah kalau di sini. Gak mungkin bukan wali bicara seperti itu. Nah, kalau wali kan mbarokai. Apalagi beliau itu punya sanda ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan, tidak comot sana comot sini, bukan dari orang-orang yang gak jelas.
Mengapa al-Hikam lintas madzahab, bahkan lintas agama?
Karena ada yang berpendapat mengatasi persoalan manusia ini cari yang spiritualitasnya, jangan yang fiqihnya. Kalau sudah menggunakan fiqih, banyak perbedaan, karena fiqih itu zdonni, menggunakan akal pikiran, tidak bisa menghindar dari perbidaan pendapat orang tanya dulu, iki madzhab opo?
Nah, al-Hikam itu spiritualitas. Kadang-kadang disebut ilmu tua, karena dia di atas syari’ah. Kalau syari’ah tamat, ya naik. Kalau sudah di atas, tidak bermadzhab lagi dia. Kalaua sudah tingkatan tasawuf ya peduli, Maliki, Syafi’i sama semua. Wong sudah tidak melihat apa-apa, kecuali Gusti Allah.
Apa yang penting dari al-Hikam?
Bahwa di al-Hikam itu diajarkan untuk tidak mengandalkan amal perbuatan. Bukan untuk meninggalkan amal, tapi untuk tidak mengandalkan amal. Di dalam tasawuf, yang begitu tidak hanya Hikam, Imam al-Ghozali juga demikian. Yang diandalkan ya hanya Gusti Allah.
Al-hikam ini memberi informasi pada kita, istilah saya, ‘kaya dari dalam’. Kaya itu menurut bahasa Arab, Ghoni. Ghoni itu asal maknanya tidak butuh. Kebalikan dari faqir, butuh. Jadi setiap orang yang masih butuh, itu faqir. Meskipun punya gedung banyak, mobil banyak, punya istri banyak, tapi butuh, itu masih faqir. Sebaliknya, kalau orang ndak punya apa-apa, dan tidak butuh apa-apa, itu orang kaya.
Konteksnya dengan al-Hikam apa, Gus?
Nah, al-Hikam berlawanan dengan definisi kaya yang umum, yang ‘kaya dari luar’ itu, bukan ‘kaya dari dalam’.
Menurut saya, ‘kaya dari dalam’ ini, seperti yang diajarkan dalam al-Hikam, sekarang ini penting sekali. Sangat penting sebagai imbangan arus umum, yang mementingkan ‘kaya dari luar’, yang ternyata sangat menyusahkan sekarang ini. Semua orang ingin kaya dari luar itu.
Pada hakikatnya, kaya dari luar itu tidak ada. Sebab, orang masih korupsi sekian milyar itu ya masih kurang. Kebutuhan-kebutuhan terus berkembang, sehingga tidak pernah kaya.
Di mana titik temu Imam al-Ghozali dengan Syekh Ibnu Atho’illah?
Ya keduanya sama-sama mengajarkan kepasrahan pada Tuhan, sampai ke Allah. Jadi dari sekian banyak ilmu yang dipelajari al-Ghozali itu, wa akhiru da’wana, emmm… wa akhiru da’wahum, ya hanya ingin dekat pada Allah saja. Sampai kepada Allah ini, macam-macam caranya. Ada ayng pakai ilmu, pakai riadloh. Ada yang diam saja, tapi dipilih oleh Allah, Allah menghendaki.
Perbedaannya di mana, Gus?
Imam al-Ghozali itu mempunyai kepedulian terhadap orang-orang yang tidak di kelasnya. Maksud saya begini. Ada orang yang terlalu ke tasawuf ada yang terlalu ke fiqih. Orang fiqih memandang orang tawuf itu terlalu jauh. Orang tasawuf juga punya penilaian miring ada orang fiqih.
Nah, Imam al-Ghozali menjembatani dua macam orang ini. Sehingga orang fiqih tidak merasa jauh dengan tasawuf, dan orang tasawuf, tidak merasa jauh dengan fiqih. Sebelum ada al-Ghozali mereka bertentangan tajam sekali mereka. Karena perkiraan orang fiqih ini, orang tasawuf ini mengandalkan batin saja, tidak melakukan apa-apa. Sementara orang tasawuf menganggap orang fiqih ini ngurusi kulit saja, isinya tidak. Imam al-Ghozali menyatukan, isi dan kulit menjadi satu. Tidak boleh dipisah-pisah. Karena itu Imam al-Ghozali bisa diterima orang banyak.
Sedangkan, Syekh Ibnu Atho’illah memang bertugas sebagai juru bicaranya orang tasawuf, tidak berpretensi mendekatkan ini dengan itu. Dia hanya bicara tasawuf. Kalau ada orang yang tidak cocok dengan tasawuf, dia bisa berhadapan dengan Ibnu Atho’illah. Beliau akan memberi pemahaman bahwa tasawuf itu bukan untuk dimusuhi, tapi jalan hidup yang harus dipilih.
Pengajian malam itu, Gus Mus banyak menerangkan tentang waktu, Allah dan hamba. Gus Mus membaca kitab tersebut macam membaca puisi, ada tekanan-tekanan tertentu, kadang lirih, keras, juga datar.
“La tarhal min kaunin ila kaunin, fa takunu kahimarir roha yasiru wal makanul ladzi irtahala ilaih. Hual ladzi irtahala minhu, walakin irtahala minal akwani ilal mukawwini. Wa inna ila robbikal muntaha.”
“Janganlah Engkau pergi dari alam ke alam lain. Sehingga Engkau menjadi seperti keledai penggilingan, tempat yang dituju adalah tempat dia beranjak. Tapi, pergilah Engkau dari alam-alam menuju Sang Pencitpa Alam. Dan kepada Tuhanmulah berakhir.”
Pengajian selesei tepat pukul sepuluh malam. Usai ngaji, Gus Mus yang malam itu mengenakan kemeja hitam dan rambut putihnya ditutupi dengan udeng-udeng, disalami para santri. Mereka ngantri mencium tangannya, perempuan dan laki-laki, tua dan muda.
Malam itu, para santri sedang pengikuti ‘Pasaran’, istilah di pesantren untuk ngaji khusus di bulan Ramadhan. Mereka semua pegang kitab. Al-Hikam namanya.
Peserta pengajian bukan saja santri yang sehari-hari ngaji di situ, tapi juga orang umum yang datang dari luar pesantren, bahkan dari luar kota. Mereka datang dengan sepeda motor, ada juga sepeda ontel.
Pengajian al-Hikam sangat istimewa. Para santri terlihat antusias memperhatikan huruf demi huruf. Mereka ngesahi, menuliskan makna di lembaran kitab berwarna kuning itu. Bahkan, dua orang santri yang sedang jaga parkiran ikut membuka kitab.
Load speaker yang dipasang khusus selama bulan Puasa, membantu suara sang pembaca al-Hikam, KH A. Musthofa Bisri atau Gus Mus (66 tahun), terdengar jelas dari luar aula, bahkan hingga di jalan.
“Secara badani masih bisa makan lan sa’piturute. Sembayange yo ora gotang, apa-apane yo ora gotang. Kok ujug-ujug pengen sibuk. La opo, kan sudah cukup? Sebaliknya, dia bekerja, di pasar misalnya, tapi ketika di pasar itu, dia tidak terganggu, sembayange ya ora terganggu, wiridane ya jalan terus, pikirane tidak terganggu, apa-apane ora terganggu, lho kok dandak kepengen melepas pekerjaannya di pasar. Sudahlah, aku lepas semua pekerjaan ini, ben koyo wali-wali. Begini ini yang gak keno. Ngono kui bodoh. Mergo menyalahi kersane Gusti Allah.
Kalau sedang leluasa, tidak boleh kepengen rupek. Kalau sedang rupek, gak boleh kepengen leluasa. Ne pindah karepe dewek, ora ndue toto kromo karo gusti allah, bodoh jenenge.
Orang itu ada waktunya masing-masing. Ne waktune lagi sinau yo sinau, ojo ngiyai. Engko ngrusak masyarakat.”
Demikian petikan-petikan yang dikemukakan Gus Mus dalam pengajian. Meski al-Hikam tergolong kitab tua, suasana pengajian tampak hidup. “allahumm sholi ‘alai,” begitu suara santri kompak ketika Gus Mus menyebut nama Nabi Muhammad. Dan tak jarang para santri tertawa dengan guyonan yang dilontarkan Gus Mus.
Al-Hikam Lintas Agama
Sebelum Gus Mus, al-hikam dibaca almarhum KH Cholil Bisri, kakak Gus Mus, tiap bulan puasa. Di keluarga pesantren Raudhotut Tholibin, al-Hikam tampaknya mendapat perhatian khusus. Almarhum Kiai Cholil, selain ngaji al-Hikam bertahun-tahun, ia juga menerjemahkan, dalam bahasa Indonesia. Adik Gus Mus, almarhum KH Adib Bisri juga menerjemahkan, juga dalam bahasa Indonesia.
Almarhum KH Misbah Musthofa, paman dari Gus Mus yang tinggal di Tuban-Jawa Timur, juga menerjemahkan al-Hikam dalam bahasa Jawa, menulisnya dalam aksara Pego.
Karya Ibnu Athoillah as-Sakandari ini memangtelah menyebar luas di seluruh dunia. Al-Hikam bahkan tidak saja dibaca umat Islam lintas madzhab, tapi juga oleh kalangan di luar Islam.
“Al-Hikam itu ada di luar lintasan. Sehingga semua orang membacanya. Orang yang perhatian pada dunia spiritualitas, pasti membacanya, pun orang di luar Islam,” kata Gus Mus.
Gus Mus bercerita, Syekh Ahmad Zarrouk dari Pes Maroko, mensyarahi 30 versi al-Hikam. “Orang ini ke mana-mana bawa Hikam.” Katanya.
Di sela-sela kesibukan mengisi Pasaran, Gus Mus, yang juga Wakil Rais Aam PBNU, menerima NU Online di kediamannya, kompleks pesantren Raudhotut Tholibin, Kamis (4/8). Ditemani dua menantunya, Wahyu dan Rizal, Gus Mus menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan santai. Teh hangat, krupuk dan kurma ikut menambah keakraban pertemuan yang berlangsung dari pukul 10.00-23.40 itu.
Apa pandangan Gus Mus tentang al-Hikam?
Menurut saya, al-Hikam ini kitab aporisma yang luar biasa, prosa yang tak ada bandingannya. Kalimatnya padu antara satu dengan yang lainnya. Kandungan maknanya luar biasa dalam. Tidak heran banyak orang yang suka, baik yang di Timur ataupun yang di Barat.
Dari siapa Gus Mus mengenal al-Hikam?
Ketika di Mesir, guru tasawuf saya itu Syekh Abdul Halim Mahmud, allah yarham. Belakangan setelah saya pulang, beliau jadi Syekh Azhar. Beliau doktor dari Perancis. Konon beliau itu disepakati sebagai orang teralim pada abad 20. Beliau pengamal thoriqoh syadziliyah.
Berapa kali ziarah ke Ibnu Atho’illah?
Terakhir bareng teman-teman itu, ada Nusron segala (Nusron Wahid, Ketua Umum PP GP Ansor NU, red.).
Ingin nerjemah juga, Gus?
Ya, saya punya juga. Ditambahi ulasan-ulasan. Tapi mandeg.
Kapan mulai membuka al-Hikam untuk umum?
Dulu yang ngaji di sini kakak saya, Kiai Cholil. Ketika beliau sakit, saya disuruh neruskan. Sebelum ini ya baca untuk diri sendiri saja.
Saya dapat cerita, yang istimewa itu Mbah Dullah (KH Abdullah Salam, Pati). Wiridan beliau itu ya Hikam. Saya pengen ngajji Hikam ke beliau tapi ndak kesampaian. Istilahnya Mbah Dullah itu ya ngaji bareng.
Al-Hikam dikatakan sebagai kitab tua. Apa artinya, Gus?
Ya di sini kalau soal tasawuf itu disebut tua. Karena memang tatarannya tua. Segala macam kitab, yang dikaji belakangan yo tasawuf.
Kenapa santri muda di sini ngaji al-Hikam?
Ya saya bebaskan saja untuk semua santri. Karena untuk ngalap berkah saja. Kita ini ahlis sunnah kan percaya barokah. Karena jelas gak mudeng mereka. Memang bicara tua. Isi al-Hikam memang diperuntukkan bagi yang tua, para salikin, bukan orang awam. Salikin itu orang yang mau menuju ke Allah. Kaya kita ini bingung semua.
Lha gimana, wong gak boleh minta pada Allah. Kiai-kiai, ustadz-ustadz itu minta, berdoa pada Allah. Di al-Hikam, yang minta pada Allah itu sama saja menuduh Allah yang bukan-bukan, menganggap Allah tidak tahu. Jadi, gak dapat ilmunya ya dapat berkahnya. Apalagi orang-orang menyebut Ibnu Atho’illah minal ‘arifin, ma’rifat. Ya wali lah kalau di sini. Gak mungkin bukan wali bicara seperti itu. Nah, kalau wali kan mbarokai. Apalagi beliau itu punya sanda ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan, tidak comot sana comot sini, bukan dari orang-orang yang gak jelas.
Mengapa al-Hikam lintas madzahab, bahkan lintas agama?
Karena ada yang berpendapat mengatasi persoalan manusia ini cari yang spiritualitasnya, jangan yang fiqihnya. Kalau sudah menggunakan fiqih, banyak perbedaan, karena fiqih itu zdonni, menggunakan akal pikiran, tidak bisa menghindar dari perbidaan pendapat orang tanya dulu, iki madzhab opo?
Nah, al-Hikam itu spiritualitas. Kadang-kadang disebut ilmu tua, karena dia di atas syari’ah. Kalau syari’ah tamat, ya naik. Kalau sudah di atas, tidak bermadzhab lagi dia. Kalaua sudah tingkatan tasawuf ya peduli, Maliki, Syafi’i sama semua. Wong sudah tidak melihat apa-apa, kecuali Gusti Allah.
Apa yang penting dari al-Hikam?
Bahwa di al-Hikam itu diajarkan untuk tidak mengandalkan amal perbuatan. Bukan untuk meninggalkan amal, tapi untuk tidak mengandalkan amal. Di dalam tasawuf, yang begitu tidak hanya Hikam, Imam al-Ghozali juga demikian. Yang diandalkan ya hanya Gusti Allah.
Al-hikam ini memberi informasi pada kita, istilah saya, ‘kaya dari dalam’. Kaya itu menurut bahasa Arab, Ghoni. Ghoni itu asal maknanya tidak butuh. Kebalikan dari faqir, butuh. Jadi setiap orang yang masih butuh, itu faqir. Meskipun punya gedung banyak, mobil banyak, punya istri banyak, tapi butuh, itu masih faqir. Sebaliknya, kalau orang ndak punya apa-apa, dan tidak butuh apa-apa, itu orang kaya.
Konteksnya dengan al-Hikam apa, Gus?
Nah, al-Hikam berlawanan dengan definisi kaya yang umum, yang ‘kaya dari luar’ itu, bukan ‘kaya dari dalam’.
Menurut saya, ‘kaya dari dalam’ ini, seperti yang diajarkan dalam al-Hikam, sekarang ini penting sekali. Sangat penting sebagai imbangan arus umum, yang mementingkan ‘kaya dari luar’, yang ternyata sangat menyusahkan sekarang ini. Semua orang ingin kaya dari luar itu.
Pada hakikatnya, kaya dari luar itu tidak ada. Sebab, orang masih korupsi sekian milyar itu ya masih kurang. Kebutuhan-kebutuhan terus berkembang, sehingga tidak pernah kaya.
Di mana titik temu Imam al-Ghozali dengan Syekh Ibnu Atho’illah?
Ya keduanya sama-sama mengajarkan kepasrahan pada Tuhan, sampai ke Allah. Jadi dari sekian banyak ilmu yang dipelajari al-Ghozali itu, wa akhiru da’wana, emmm… wa akhiru da’wahum, ya hanya ingin dekat pada Allah saja. Sampai kepada Allah ini, macam-macam caranya. Ada ayng pakai ilmu, pakai riadloh. Ada yang diam saja, tapi dipilih oleh Allah, Allah menghendaki.
Perbedaannya di mana, Gus?
Imam al-Ghozali itu mempunyai kepedulian terhadap orang-orang yang tidak di kelasnya. Maksud saya begini. Ada orang yang terlalu ke tasawuf ada yang terlalu ke fiqih. Orang fiqih memandang orang tawuf itu terlalu jauh. Orang tasawuf juga punya penilaian miring ada orang fiqih.
Nah, Imam al-Ghozali menjembatani dua macam orang ini. Sehingga orang fiqih tidak merasa jauh dengan tasawuf, dan orang tasawuf, tidak merasa jauh dengan fiqih. Sebelum ada al-Ghozali mereka bertentangan tajam sekali mereka. Karena perkiraan orang fiqih ini, orang tasawuf ini mengandalkan batin saja, tidak melakukan apa-apa. Sementara orang tasawuf menganggap orang fiqih ini ngurusi kulit saja, isinya tidak. Imam al-Ghozali menyatukan, isi dan kulit menjadi satu. Tidak boleh dipisah-pisah. Karena itu Imam al-Ghozali bisa diterima orang banyak.
Sedangkan, Syekh Ibnu Atho’illah memang bertugas sebagai juru bicaranya orang tasawuf, tidak berpretensi mendekatkan ini dengan itu. Dia hanya bicara tasawuf. Kalau ada orang yang tidak cocok dengan tasawuf, dia bisa berhadapan dengan Ibnu Atho’illah. Beliau akan memberi pemahaman bahwa tasawuf itu bukan untuk dimusuhi, tapi jalan hidup yang harus dipilih.
Pengajian malam itu, Gus Mus banyak menerangkan tentang waktu, Allah dan hamba. Gus Mus membaca kitab tersebut macam membaca puisi, ada tekanan-tekanan tertentu, kadang lirih, keras, juga datar.
“La tarhal min kaunin ila kaunin, fa takunu kahimarir roha yasiru wal makanul ladzi irtahala ilaih. Hual ladzi irtahala minhu, walakin irtahala minal akwani ilal mukawwini. Wa inna ila robbikal muntaha.”
“Janganlah Engkau pergi dari alam ke alam lain. Sehingga Engkau menjadi seperti keledai penggilingan, tempat yang dituju adalah tempat dia beranjak. Tapi, pergilah Engkau dari alam-alam menuju Sang Pencitpa Alam. Dan kepada Tuhanmulah berakhir.”
Pengajian selesei tepat pukul sepuluh malam. Usai ngaji, Gus Mus yang malam itu mengenakan kemeja hitam dan rambut putihnya ditutupi dengan udeng-udeng, disalami para santri. Mereka ngantri mencium tangannya, perempuan dan laki-laki, tua dan muda.
Subscribe to:
Posts (Atom)